Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan (Luxemburg dkk, 1989:86). Dari pengertian tersebut dapat diartikan teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu.
Menurut Baried (1985:56), teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak hanya dapat dibayangkan saja. Teks terdiri atas isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Dan bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Kita harus ketahui teks merupakan sebuah produk hasil kerja manusia. Teks kemudian menjelaskan bagaimanakah sebuah proses dialektis antara manusia dengan dunia, ataupun manusia dengan manusia lainnya terlaksana, catatan sejarah menjadi coretan yang kemudian mempelajari bagaimana kebutuhan manusia dapat “terpenuhi” melalui sebuah faktor produksi.
Herwono dalam bukunya berjudul mengikat makna menyebutkan bahwa teks adalah sebuah vitamin bagi manusia, yang di mana dengan vitamin tersebut dapat memberi kesehatan bagi manusia. Menulis juga dalam pandangannya adalah sebuah proses memperoleh makna dalam hidup. Menulis & membaca aalah sebuah relasi yang tak dipisahkan. Itulah yang kemudian menjadi betapa penulis hebat seperti Antonio Gramsci, Tan Malaka, Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, JK. Rowlings, dll kemudian dapat mentransformasikan pencarian makna hidup mereka ke dalam bentuk tulisan kepada orang – orang yang membaca. Tulisan tersebut kemudian menjadi sebuah informasi yang kemudian perombak pola pikir manusia bahkan menjadi monumental akan sebuah gerakan sosial di masyarakat.
Ketika teks sebagai content diinsert ke dalam perangkat ruang dan waktu manusia, sebenarnya di situ terdapat sebuah aksioma yang melekat pada sifat teks itu. Yaitu kemampuannya untuk menembus sekat-sekat ruang dan waktu manusia. Teks ini adalah narasi yang abadi. Kemampuan itu tersimpan rapi pada fakta bahwa ia menggabungkan antara keteguhan dan kelenturan. Ia teguh pada kebenaran dasarnya, tapi lentur pada proses manusiawinya.
Ruang dari sistem kehidupan yang terangkai dalam teks ini adalah bumi. Sementara waktunya adalah waktu manusia sejak mereka menghuni bumi. Jadi sejarah adalah waktunya. Bumi adalah panggungnya. Manusia adalah aktornya. Teks ini adalah skenarionya. Dari situ sebuah cerita kehidupan dirakit. Itu sebabnya mengapa dua pertiga dari isi teks ini adalah ceirta kehidupan beragam manusia tentang bagaimana mereka melakoni hidup. Sisanya adalah hukum-hukum normatif yang jika diterapkan akan melahirkan sebuah cerita kehidupan yang indah. Karena sebagian besar isi teks ini adalah sejarah, maka konteks menjadi sangat penting sebagai faktor penjelas.
Sejarah adalah penulisan perjalanan aktivitas penting manusia dalam kurun tertentu. Penulisannya dilakukan berdasarkan temuan tertulis, fakta berupa peninggalan benda, hasil karya masa lalu. Belajar sejarah sepantasnya belajar pada teks sejarah tsb, tidak pada sejarah tanpa teks atau sejarah tanpa prinsip. Bangsa yang kehilangan teks sejarah tak lepas dari kondisi warga negara yang saat ini kehilangan nurani dan akal sehatnya.
Peristiwa sejarah adalah hasil dari interaksi antara manusia, ruang dan waktu. Jika kita memasukkan teks ke dalam struktur dimana manusia bertindak dalam konteks ruang dan waktunya sesuai dengan alur hidup yang tertera dalam teks.
Sejarah kehidupan Rasulullah SAW adalah ruang dan waktu di mana teks ini diimplementasikan. Dengan begitu kita mendapatkan referensi hidup untuk memahami teks melalui kehidupan Rasulullah SAW. Jika kehidupan Rasulullah kita peroleh secara valid melalui narasi beliau atau narasi sahabat-sahabat beliau tentang beliau, maka sekarang kita mendapatkan dua teks. Dan kedua teks saling menafsirkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud oleh para mufassirin dengan metode at tafsir bir riwayah (menafsir teks dengan teks). Misalnya tafsir Imam Ath-Thabari, Ibu Katsir dan lainnya.
Sebagian dari kehidupan Rasulullah SAW itu adalah riwayat atas kata. Sebagiannya lagi adalah riwayat atas tindakan dan sikap. Tapi keseluruhannya adalah riwayat kehidupan yang lengkap sekaligus kompleks. Jika riwayat-riwayat itu tidak dirangkai dalam suatu konstruksi yang komprehensif maka hasilnya wajah kehidupan yang boleh jadi bopeng. Misalnya, jika kita hanya mengangkat riwayat peperangan Rasulullah SAW, maka yang akan tampak adalah seorang komandan perang yang seluruh hidupnya hanya diabadikan untuk peperangan. Sisi lain tentang kehidupan keluarga dan kemasyarakatan serta ekonomi mungkin hilang. Lalu lahirlah pemahaman yang cacat atas teks, dan lahirlah selanjutnya penerapan atas teks yang juga pincang.
Tapi itu tantangan besarnya. Karena sebuah rekonstruksi sejarah yang komprehensif pada dasarnya adalah kerja intelektual dan spiritual yang disamping berbasis pada fakta-fakta sejarah yang akurat, juga bertumpu pada kemampuan imajinasi yang kompleks. Inilah yang menjelaskan mengapa Sayyd Quthb menggunakan imajinasi sebagai salah satu tools dalam menafsir teks.
Jika sahabat-sahabat yang beriman dan hidup bersama Muhammad SAW berinteraksi dengan wahyu secara langsung bersama penerima wahyu, maka pembelajaran mereka menjadi jauh lebih mudah dan sempurna. Karena mereka mendengarkan teks, mendengarkan penjelasan atas teks, dan yang lebih penting dari itu semua, adalah melihat contoh hidup yang menerapkan teks itu. Ada kaidah ada contoh. Ada teori ada praktek. Ada ide ada gerak. Ada berita ada peristiwa. Ada bunyi ada rupa. Ada yang terdengar ada yang terlihat. Itu karunia yang merupakan takdir mereka. Takdir kita mungkin tidak sebagus mereka. Kita sekarang kehilangan satu aspek dari proses dan metode pembelajaran itu, yaitu contoh hidup yang bersanding bersama teks. Tapi kekurangan itu bisa tertutupi oleh fakta bahwa semua gerak dan kata contoh hidup tersebut tetap sampai kepada kita melalui riwayat dan metodologi periwayatan yang sangat akurat yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun di dunia. Sedemikian akuratnya metodologi periwayatan itu, sehingga jika ia diterapkan, misalnya, pada sejarah bangsa Yunani, maka semua riwayat tentang Plato atau Aristoteles atau Socrates, takkan kita percayai seperti sekarang kita mempercayainya.
Suatu saat di masa kecilnya Muhammad Iqbal, penyair abadi dari benua India, membaca Al-Qur’an. Ayahnya yang kebetulan melihatnya lantas berpesan: “Anakku, bacalah Al-Qur’an ini sebagaimana ia dulu diturunkan kepada Muhammad. Bacalah ia seakan-akan ia diturunkan hanya untukmu”.
- Seri Pembelajaran, Anis Matta, Majalah Tarbawi
- Teks, Sejarah dan Perubahan, Kompasiana
- Sumber gambar dari google