ASAS, PRINSIP DAN HAMBATAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Agar layanan konseling lintas budaya efektifitas dan efisien sehingga berfungsi secara optimal, maka layanan konseling lintsas budaya harus diselenggarakan berdasarkan suatu tumpuan berfikir yang disebut asas layanan dan berpedoman pada prinsip-prinsip lainya, yang merupakan kajian teori dan telah lapangan mengenai konseling lintas budaya , serta memahami berbagai hambatan-hambatan dalam layanan konseling lintas budaya.
A. Asas-asas Konseling Lintas Budaya
Layanan konseling lintas budaya merupakan layanan profesional, maka harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah tersebut didasarkan atas tuntutan keilmuan layanan, kondisi masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, dan tuntutan optimal proses penyelenggaraan lainya. Kaidah-kaidah tersebut disebut asas-asas layanan.
Terdapat sejumlah asas l;ayanan bimbingan dan konseling, yaitu:
1. Asas kerahasiaan
2. Asas kesukarelaan
3. Asas keterbukaan
4. Asas kegiatan
5. Asas kemandirian
6. Asas kekinian
7. Asas keterpaduan
8. Asas kedinamisan
9. Asas kenormatifan
10. Asas keahlian
11. Asas alih tangan
B. Prinsip-Prinsip Konseling Lintas Budaya
Sebgai gerakan keempat dalam konseling yang relatif masih baru, maka prinsip-prinsip konseling lintas budaya banyak yang bersifat hipotesis, berupa pemikiran, dan masih terus berkembang.
Dragum (1996) mencatat sejumlah kesepakatan dari para prfaktisi,peneliti, dan ahli-ahli teori tentang prinsip-prinsip konseliing lintas budaya adalah :
1) Teknik atau aktifitas para konselor semakin berubah,
2) Permasalahan dalam proses konseling akan cenderung meningkat,
3) Permasalahan atau problem,
4) Norma, harapan prilaku setress memiliki keragaman antara kebudayaan.
5) Konsep-konsep konseling dan pola-pola membantuperkaitan dengan suatu kebudayaan.
C. Permasalahan Konseling Lintas Budaya
Prayetno dan Erman Amati (1994) mengutip Pedersen dkk, yang mengetengahkan yang lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi non ferbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan kecemasan. Presepei atau pandangan yang terpola (stereotipe) menyebabkan orang memandang orang lain menurut kemauanya diri sendiri atau berdasar asumsi-asumsi yang sudah tertanam pada dirinya. Kecenderungan menilai seringkali didasarkan pada setandar subyektif. Kecemasan sering muncul karena seseorang harus berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budayanya.
Sue (1981:1) mencatat tiga hal yang menjadi sumber hambata atau kegagalan konseling lintas budaya, yaitu :
1. Program pendidikan dan latihan konselor
2. Literatur koneling dan kesehatan mental
3. Proses dan praktek
Di samping aspek-aspek diatas,Sue (1981:28) juga mencatat tiga hambatan konseling linyas budaya, yaitu:
1. Hambatan bahasa
2. Hambatan kelas, setatus antara konselor dan klien
3. Hambatan perbedaa nilai budaya antara konselor dengan klien
1. Isu etic dan emic
Pendekatan etic melibatkan penelitian yang berasal dari budaya tertentu. Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling lintas budaya harus dilihat dari sudut pandang budaya subyek yang diteliti,atau budaya asli dan uniks.
Dikotimoi etic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan suatu kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya klien. Isu ini sering menjadi perdebatan karena pada akhirnya berkaitan dengan hubungan konselor-klien.
2. Isu hubungan konseling-klien versus teknik-teknik konseling
Para ahli konseling cenderung memberikan pernyataan yang sifatnya umum sebagai berikut : konselor perlu penyiapan diri untuk mengadaptasi teknik-teknik konseling sesuai dengan latar budaya klien, menggunakan tehnik-tehnik acceptance dan attending sesuai dengan latar budaya klien, serta terbuka terhadap semua kemungkinanuntuk melakukan interfensi langsung terhadap kehidupan klien. Dengan demikian konseling lintas budaya lebih merupakan pengadaptasian tehnik-tehnik yang dipakai konselor sesuai dengan latar belakang budaya klien.
3. Isu hubungan bilateral antara konselor-klien
Hubungan bilateral yang dimaksud adalah hubungan hubungak konselor denagn klien yang mengacu pada tingkat proses belajar dalam konseling yang mempengaruhi dengan konselor maupun klien.
4. Isu dilema autoplastic-alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pad bagaimana mengakomodasikan seseorang pada suatu latar dan setruktur sosial yang bersifat given( jadi). Konsep alloplastic mengacu pada pembentukan relatif eksternal yang sesuai dengan tujuan proses konseling, karena konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor dapat membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor dapat mendorong terbentuknay realita yang sama dengan realiatas yang ada pada diri konselor.
Beberapa sumber konflik dan salah interpretasi dalam konseling sering terjadi dalam konseling lintas budaya, mengingat konselor umumnya masih mengacu pada teori konseling yang bersumber dari Amerika-Eropa. Sumber konflik da salah iterpretasi tersebut antara lain :
1. Adapun upaya menyatukan klien kebudaya klien ke budaya yang dominan yang dimiliki konselor.
2. Berpusat pada individu. Padahal budaya merupakan identitas seseorang yang tidak dapat dipisahkan dari kelompoknya.
3. Konselor menghindari agar klien mau mengekspresikan perasaan melalui bahasa dan tingkah laku, seperti assertifve, punya pendirian tidak pasif.
4. Pengguna insight atau pencerahan dalam konseling didasarkan pada asumsi bahwa klien mencapai insight pada dirinya sendiri akan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
5. Sebagian besar konseling menginginkan keterbukaan dan kekariban yaitu klien yang mau terbuka dan berbicara tentang aspek-asoek kehidupan dirinya.
6. Pola komunikas dalam konseling umumnya menhendaki komunikasi yang bergerak dari klien ke konselor, atau klien lebih aktif.
7. Hambatan bahasa. Di Ameriak umunya di guinakan Inggris bahasa yang baku. Oleh karena itu kelompok minoritas yang belum menguasai bahasa Inggris dengan baik, dalam dalam konseling akan mengalami hambatan.
sumber:pbk