Menu Close

Jenderal Soedirman : Kisah Panglima Besar Pejuang Bersahaja

Jenderal Soedirman : Kisah Panglima Besar Pejuang Bersahaja


Ia mungkin
telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri
telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada
sehelai uang kertas.
Di Jakarta,
tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter
di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang
kedodoran, ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali,
hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan
dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama,
orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang
akut–tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia
remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif
dalam gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih
melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan
Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945,
Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah
ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan
banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam
tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk
Oerip Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer
Belanda.

Kisah Seorang Perokok Berat 

Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya
meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman
memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh
Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya,
Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak
dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak
bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan
meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut
Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol,
tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada Ahad
pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di
rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman
tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa
petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu itu,
menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak.
Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai
Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah
salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil
istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat.
Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya
mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.

Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman

 
Soedirman
lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari
1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota
Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri
Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan
tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan
istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu
diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di
Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal
di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia
menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda
Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo
sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah
Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya.
Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk
Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung
Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap,
Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu
kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi,
anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh
bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya
menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku
tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar
Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius
Pour terbitan 2005.
“Walau bukan
buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar
bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal
asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan
pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo,
Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini
tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis
soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo
wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada
sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah,
istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah
ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya
meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala
itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang
masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada
satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar.
Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan
demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut
Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia
menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan
keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran
Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.

Bintang Lapangan Sepak Bola 

Soedirman
memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden
Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh
pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat
sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini,
ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah
inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat
olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya
memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai
penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria
62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata
cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur,
Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola
ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.

Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji

Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012,
Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya
dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti
pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah
kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama,
Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul
ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa
memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan
dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa
berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato,”
ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah
Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman
lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo,
Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah
di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia
mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif
di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo
Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.

Kisah Asmara di Wiworo Tomo 

 
Soedirman
memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang
Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibunya pernah bercerita
bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana.
“Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal
mengenakan,” ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan
agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya
sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa
cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton
Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu
rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, “Kamu senang, ya? Kalau begitu
mau lagi?” Soedirman langsung menjawab, “Ya tidak, kan aku sudah punya
kamu.”
Kisah asmara
Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap.
Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau
teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua,
Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang
teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada
ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip
Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman
berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu
berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk
pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah
pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi
guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap
dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan
Pangan, lembaga penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak
memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan.
“Nenek tahu
betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada
kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi
menantu. Saat itu, usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun.”
Menurut
Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel,
sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman.
Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya.
Adapun Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. “Akhirnya,
menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan Nenek. Strategi
itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek.”
Dari ibunya,
Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin
menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu
tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah
setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke
Cilacap, dia
melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.

Soedirman Mengajar dari Kisah Pewayangan

Soedirman,
Panglima Besar TNI itu adalah seorang pengajar. Sebagai pendidik, ia tak
hanya sekedar memandu murid dari depan kelas. Dia juga menggunakan
aneka metode yang membuat murid tertarik belajar.
Soedirman
tak tamat HIK. Dia kembali ke Cilacap setahun kemudian. Soedirman lantas
bertemu R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru
pribadinya itu, dia diangkat menjadi guru sekolah dasar di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap.
Bangunan
HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas.
Sejak 1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu
dirobohkan. Sebagai gantinya, tepat di lokasi tersebut berdiri Taman
Kanak-kanak Aisyiah 1.
Sekolah
usia dini yang terdiri dari dua kelas dan satu ruang guru tersebut
bersembunyi di balik Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas
Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap. “Ini untuk mengenang sekaligus
tak mengubah fungsi lokasi tersebut sebagai tempat pendidikan,” kata
Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap, Ahad lalu.
Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik perhatian murid-muridnya saat mengajar.
Marsidik,
salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997,
menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil
bercanda dan acap diselingi pesan agama dan nasionalisme. “Soedirman
juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan,” kata Sardiman kepada Tempo pada Ahad lalu.

Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang

Nama
Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia
juga simbol untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang
pendidik, memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih turun ke medan
perang. Dalam edisi khusus tentang Soedirman di majalah TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan Soedirman membangkitkan semangat para muridnya.
Dua lelaki
tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa
Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender
saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya
berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di
antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian
mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu
memperkenalkan diri. “Saya Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang
murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah
kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti
teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun.
“Saya mau
pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria
berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di
bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih,
Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum
meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak
berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang
69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh
kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan
sekaligus doa. “Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo,
Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang
berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman
kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947.
Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II
Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara
sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dari cerita
kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat
Organisasi Angkatan ’45 Cilacap, mengetahui bahwa Soedirman dan Isdiman
juga berpamitan ke beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan
tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). “Pak Dirman
memang guru,” katanya.

Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara

 
Kebesaran
nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang
terungkap di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya
dengan bertandu, Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena
kondisi kakinya.
Ditinggal
Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi
mendengar cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah.
Termasuk kisah tentang Soedirman ketika mengawali karier militernya.
Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk dunia militer. “Saya cacat, tak
layak masuk tentara,” kata Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari
ibunya.
Bukan tanpa
alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah
terkilir pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang
lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat
mengkhawatirkan kondisi suaminya.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman,
Soekanto menuliskan dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman
ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944,
Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah
Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman
mengangguk, seolah meminta pengertian dari sang istri.
Tak
langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata
kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu
main bola itu….”
“Tidak
apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu
berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke
kamar untuk salat tahajud.
Pilihan
menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman
mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial
Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan
penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik
Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati
berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara
tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang
lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya,
Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang
sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga
pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal
orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai,
yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar
mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta
rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke
tentara Jepang.

Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama

 
Soedirman
mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut
pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun
menempa pendidikan kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar
pertamanya.
Pada 3
Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun
2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah
Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut
bergabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho
kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama
Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata
Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho.
Muhammad Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya
tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota
Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara
Jepang. “Namun, saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan
bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu,” katanya.
Sebelum
membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan
pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama
bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan,
mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho
ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri
dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda
Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara
mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda
Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih
berhasil.
Pemisahan
tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di
Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat
pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan
pembentukan Peta.
Untuk
menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat
kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi
dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang
kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan
kesehatan.

Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.

Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho
latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda,
700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama
Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan
kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka
diberi samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa.
Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi daidancho di sini (Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa
itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap
pemberontakan Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan
pemberontakan Gumilir.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho
itu sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum
bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu
menunda gerakan. Kata dia, “Kita harus bergerak pada waktu yang tepat.”

Soedirman dan Keris Penolak Mortir 

 
Desing
pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal
Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah
berada di sawah, halaman, dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau
bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga
Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan
dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah.
Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya
dihujani peluru.Di rumahnya ada
sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani
makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga
mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia
melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi
delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi
dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki
pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai
itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya.
Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris
itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian
dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu
perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine
menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari
ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris
dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari
penglihatan tentara Belanda.
Dari
curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar
tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam
dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal
Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau
meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu
Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang
secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun
setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu–yang berjumlah 77
orang–datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya,
Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo,
Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah
tetangga.
Selama lima
hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki
penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman
seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu,
operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.

Cerita Kesaktian Soedirman 

Soedirman
terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak
bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita ”kesaktian”
ayahnya. Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton
Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak sempat bertemu dengan
ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia lahir, dan hanya mendengar
kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.
Ceritanya
ketika Soedirman sampai di Gunung kidul. Ia tak mengizinkan pasukannya
beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan
Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang
dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka jalan
lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi pasukan Bapak
kalah,” kata Teguh.
Soedirman,
yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati
orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan
pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari. Mau
meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan
ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air
mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang
Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri
lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun
menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan
pelbagai makanan. “Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri,” kata
Teguh.

Sang Jenderal Klenik 

Kepercayaan
dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat
gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem
punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi
beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17
Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden
meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman
di rumahnya. “Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat,”
kata Presiden. “Temuilah segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya
menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya,
Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang
ia kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang
dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan “memperkuat jiwa”
Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas.
“Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara,” kata Soedirman. “Kalau
hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.”
Jimat itu
menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau
hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi
penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah
kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya
dengan legalistik juga. You are wonderful,” katanya, seperti ditulis
Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum)
di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi,
cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh
Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak,
Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut
bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut
santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk
merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”

Soedirman Penganut Kejawen Sumarah

Soedirman
terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal
dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam
kesaktian.
Soedirman
disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi
keris. Ia juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa
melindunginya.
Anak bungsu
Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di
lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan
pasukannya. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah
meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman
tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di
Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam
bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun
turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan
Soedirman selamat.
Cundrik itu
ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman
meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang
ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut
Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak
mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu
gerilya. “Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran
Timur, Yogya,” ujar Teguh. “Tapi sekarang hilang.

Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru

Sejak
remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok
berat. Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing dewe, yang artinya
”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman
mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun
sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Diceritakan
bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah
dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang
istri, Siti Alfiah, menyambutnya.
“Bapak
pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,”
kata Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang
mendapat cerita itu dari ibunya.
Pada akhir
September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur
selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan
darah di antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin
Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia ini nelangsa. “Selain
kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu,” ujar
Teguh.
Malam itu,
kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air
dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah
awal petaka bagi Bapak,” kata Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat
tidur.”
Kendati
sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali,
sembari terbaring, Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu,
istrinya hanya diam, tak berani melarang.
Karena
bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara
mendiagnosis ia menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya
akan hasilnya, keluarga meminta pemeriksaan ulang oleh dua dokter
tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay. Dan jawabannya sama
dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit Panti
Rapih, Yogyakarta.
Menurut
Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya
ada di Jakarta. Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui
jalur penyelundupan. Di lain pihak, Soedirman butuh penanganan cepat.
“Akhirnya tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya tak berfungsi,” kata Soegiri.

Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman.
Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di
paru-paru yang menghambat saluran pernapasan. Sedangkan kata Teguh,
dokter memberitahukan ibunya perihal operasi itu. “Sejak itu, Bapak
bernapas dengan separuh paru-paru,” katanya.
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai
menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan
sebelah paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata pesuruh
Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai.
Warnanya ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya
parah. “Semua itu Pak Dirman minum dengan air teh tiyung atau teh merek
Sruni,” ujar Jamaluddin.
Meski sakit,
sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih
menu. Semua makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan
makanannya pun tidak beda dengan dengan jatah seluruh prajurit.

Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba seadanya. Kadang nasi
berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. “Dikasih apa saja
Pak Dirman mau,” ujar Jamal.
Ransum untuk
Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan,
diantar sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering
kali, dari tiga rantang yang dikirim, hanya satu yang habis. “Pak Dirman
kerap berpuasa. Karena itu, hanya habis satu rantang. Sisanya dimakan
ramai-ramai oleh teman-teman,” kata Jamal.
Sumber
makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat
persembunyian juga sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan
ketela. Jarang sekali mereka mendapatkan nasi. “Ya, seadanya makanan
kampung,” ujar Jamal.
Kala itu,
tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman
mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani
sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk
menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam
amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang.
Kata anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah
berpesan bila ia akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan
dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.

Sumber : majalah Tempo edisi perjuangan 1986

Leave a Reply