Pengertian Teologi Islam dan Aliran didalamnya
Teologi secara etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia yang terdiri dari kata “Theos” artinya “Tuhan” dan “Logos” yang berarti “Ilmu”. Jadi teologi berarti “ilmu tentang Tuhan”. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni. Kata teologi yang bergandengan dengan islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan Manusia. Islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah diri, menudukkan diri atau taat sepenuh hati; kedua masuk dalam al-Salam, yakni selamat sejahterah, damai hubungan yang harmonis.
Berdasar pada rumusan pengertian tentang “teologi” dan “Islam”, maka “Teologi Islam” adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspetif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa ia identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek.
Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, termasuk soal wujud-Nya, keesaannya, dan sifat-sifat-Nya.
Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya, persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya. Ilmu yang membicarakan mengenai aspek-aspek yang disebutkan ini, disebut Teologi, dan karena pembicaraannya dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai “Teologi Islam”.
Menurut Abdurrazak, Teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang terkait dengan-Nya secara rasional. Sedangkan menurut Muhammad Abduh : “ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”. Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya, sedang yang kedua menekankan pada metode pembahsan, yaitu dengan menggunakan dalil-dali yang meyakinkan.
Ruang Lingkup Studi Teologi Islam
Aspek pokok dalam kajian ilmu Teologi Islam adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha sempurna, maha kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu pula ruang lingkup pembahasan yang pokok adalah:
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda. Dalam bagian ini termasuk Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan manusia.
2. Hal yang berhubungan dengan utusan Allah sebagai perantara antara manusia dan Allah atau disebut pula wasilah meliputi: Malaikat, Nabi/Rosul, dan kitab-kitab suci.
3. Hal-hal yang berhubungan dengan sam’iyyat (sesuatu yang diperoleh melalui lewat sumber yang meyakinkan, yakni Al-Quran dan Hadits, misalnya tentang alam kubur, azab kubur, bangkit di padang mahsyar, alam akhirat, arsh, lauhil mahfud, dll).
Didalam sejarah perkembangannya, Teologi islam pada mulanya berkembang dari: pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu cara untuk memahami doktrin agama melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya. Kedua, menjadi ilmu teologi. Sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi aksiologi. Sebagai sebuah aksiologi teologi, merupakan upaya memahami doktrin agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan sosial.
Sumber-sumber Pembahasan Teologi Islam
Adapun sumber pembahasan yang digunakan untuk membangun Ilmu Teologi Islam menggunakan beberapa sumber, yaitu:
1. Sumber yang ideal
Yang dimaksud dengan sumber ideal adalah Qur’an dan Hadits yang didalamnya dapat memuat data yang berkaitan dengan objek kajian dalam Ilmu Tauhid. Misalnya, telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal sholeh yang dilakukan oleh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan akidah islam yang benar. Karena penyimpangan dari akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni dari Allah. Dan penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT. Sedangkan Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang kafir, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lau dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS. Al- Baqoroh : 217)
2. Sumber Historik
Sumber historis adalah perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan objek kajian ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam kalangan internal umat islam maupun pemikiran eksternal yang masuk kedalam rumah tangga islam. Sebab, setelah Rosulullah saw wafat, islam menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat islam berkenalan dengan ajaran-ajaran, atau pemikiran-pemikiran dari luar islam, misalnya dari Persia dan Yunani. Sumber historik akan menentukan fakta; dan oleh karena fakta diketahui melalui dokumen-dokumen: metode akan menentukan keotentikan dan bentuk asli (kritik teks) dari dokumen-dokumen tersebut.
Pemikiran yang berkembang dalam kalangan internal umat islam, antara lain:
1. Pelaku dosa besar. Masalah yang muncul, apakah masih ddihukumi sebagai mukmin atau tidak.
2. Al-Quran wahyu Allah. Apakah ia makhluk atau bukan, atau dengan kata lain, apakah Al-Quran itu qadim atau hudus (baru).
3. Melihat Tuhan Allah. Apakah itu di dunia atau di akhirat, atau di akhirat saja, dan apakah dengan mata kepala ataukah dengan hati saja.
4. Sifat-sifat Tuhan. Apakah Tuhan memiliki sifat-sifat zati dan sifat af’al (menurut konsepsi al-sanusi,sifat-sifat ma’nawiyah), ataukah Dia tidak layak diberi sifat-sifat tersebut.
5. Kepemimpinan setelah Rosulullah wafat, apakah ia harus dipegang oleh suku Qurays saja , atau apakah nabi Muhammad saw meninggalkan wasiat bagi seseorang dari ahlul bait untuk memimpin umatnya ataukah tidak atau bahwa pemimpin itu harus dipilih berdasar musyawaroh, atau menurut keputusan ahlul hall wal aqdi.
6. Takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Apakah diperbolehkan mengadakan takwil atau tidak. Misalnya:
Janganlah kamu sembah disamping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Al-Qashas : 88)
Metode Pembahasan Studi Teologi islam
Ada dua metode atau cara pembahasan Ilmu Tauhid, yakni:
1. Menggunakan dalil naqli
Pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Quran adalah tauhid, nabi Muhammad saw diutus Allah kepada umat manusia adalah juga untuk mendengarkan ketauhidan tersebut, karena itu ilmu tauhid yang terdapat didalam Al-Quran dipertegas dan diperjelas oleh Rosulullah saw dalam haditsnya. Penegasan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa antara lain:
“Katakanlah “Dia-lah Allah, yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan diperanakkan. Dan tidak ada serangpun yang setara dengan Dia”. (QS. Al-Ikhlas : 1-4)
Keesaan Allah SWT tidak hanya pada zat-nyatapi juga esa pada sifat dan af’al (perbuatan)-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat adalah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah SWT.
2. Menggunakan Dalil Aqli
Penggunaan metode rasional adalah salah satu usaha untuk menghindari keyakinan yang didasarkan atas taklid saja. Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu bahwa iman yang diperoleh secara taklid mudah terkena sikap ragu-ragu dan mudah goyah apabila berhadapan dengan hujjah yang lebih kuat dan lebih mapan. Karena itu ulama sepakat melarang sikap taklid didalam beriman. Orang harus melakukan nalar dan penalaran baik dengan memakai dalil aqli maupun dalil naqli. Didalam Al-Quran banyak ditemukan ayat yang mengkritik sikap taklid ini, antara lain:
“apabila dikatakan kepada mereka, marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rosul-Nya. Mereka menjawab, cukuplah bagi kami apa yang kita dapatkan dari bapak-bapak kami, meskipun bapak-bapak mereka tidakmengetahui apa-apa (tidak punya hujjah yang kuat) dan tidak mendapat petunjuk”. (QS Al- Maidah : 104)
Ayat ini mengandung kritikan terhadap sikap yang hanya ikut-ikutan sedangkan nenek moyang yang diikutinya tidak memiliki hujjah yang kuat bagi keyakinannya. Dalam hukum akal dijelaskan, apabila kita menerima suatu keterangan, maka akal kita tentu akan menerima dengan salah suatu pendapat atau keputusan hukum, seperti:
1. Membenarkan dan mempercayainya (wajib aqli)
2. Mengingkari dan tidak mempercayainya (muhal atau mustahil)
3. Memungkinkan (jaiz)
Adapun dalam hal keyakinan, teori keyakinan membagi tipe keyakinan ada tiga, yaitu:
1. Keyakinan itu ada dua, sentral dan periferal,
2. Makin sentral sebuah keyakinan, ia makin dipertahankan untuk tidak berubah,
3. Jika terjadi perubahan pada keyakinan sentral, maka sistem keyakinan yang lainnya akan ikut berubah.
Sejarah munculnya Aliran-Aliran Dalam Islam
Pada masa Nabi saw dan para Khulafaurrasyidin umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan di picu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang yahudi) pada pemerintahan khalifah Utsman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali.
Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman
Utsman bin Affan berasal dari suku Qurays yang dilukiskan sebagai orang yang dermawan. Kedermawanannya terbukti ketika ia ia pernah memberikan 940 ekor unta, 60 ekor kuda dan 10.000 dinar untuk perang tabuk. Beliau juga sangat berjasa dalam pengkodifikasian al-Qur’an mejadi mushaf sebagaimana yang dibaca oleh jutaan umat islam di dunia. Utsman diangkat menjadi khalifah melalui musyawarah yang dilakukan oleh Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Saad bin Abi Waqash, dan yang terpilih
Muawiyyah bin Abi Sofyan merasa memiliki hak qishâs (hak menuntut balas) karena ia merasa ada hubungan kerabat dengan Utsman bi Affan. Adapun dasar pikiran Mu’âwiyah dilandaskan pada QS.2: 178: ”Yâ Ayyuhâ al-Ladzîna Âmanû Kutiba ‘Alaikum al-Qishâsu fî al-Qatl” (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh). Menurut Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib merupakan dalang (aktor intelektual) dibalik pembunuhan khalifah Utsman bin Affan, terkecuali ia mampu menunujukkan pelaku yang sesungguhnya. Selama ia tidak sanggup menangkap pelaku pembunuh khalifah Utsman bin Affan, maka Mu’awiyah tidak mengakui ke-khalifahan Ali ibn Abî Thalib. Penetapan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tidak sah, sebab hanya ditentukan oleh rapat terbatas masyarakat Madinah, padahal wilayah kekauasaan Islam bukan hanya Madinah. Apalagi dirinya adalah gubenur, sekaligus kerabat dekat khalifah Utsman ibn Affan. Dirinyalah yang berhak menjadi khalifah, bukan Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Ali bin Abi Thalib juga menuntut Mu’âwiyah mau mengakui terlebih dahulu kepemimpinannya. Jika tidak, bagaimana mungkin dirinya bisa mengusut perkara besar, jika ia tidak memiliki otoritas.
Setelah Utsman wafat kekhalifahan berpindah ke tangan Ali bin abi Thalib, namun pengangkatan ali menjadi khalifah tidak dalam kondisi yang menguntungkan karena ia diangkat dalam kondisi yang tidk stabil. Tak heran jika rongrongan terhdap kekkhilafahannya berdatangan mulai dari Thalhah dan Zubair dan Muawiah. Tantangan keras muncul dari Muawiyah yang menuduh Ali terlibat dalam terbunuhnya Utsman.Perseteruan tersebut akhirnya melahirkan perang shiffin
Dampak Arbitrase
Kekisruhan politik akibat terbunuhnya Utsman pada tahun 35 H berlanjut di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kekisruhan ini mencapai klimaks dengan meletusnya perang jamal(35 H/656M). Antara pasukan ali dengan pasukan Aisyah yang dibantu oleh Zubair dan Thalhah yang disusul dengan perang shiffin (36 H/657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah. Dalam arbitrase ini diangkat dua orang sebagai arbitrer yaitu Amr bin ash (dari pihak Muawiyah) dan Abu Musa Al asy’ari (dari pihak Ali). Diantara keduanya ada kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka itu, Ali dan Muawiyah. Abu Musa mengumumkan tentang penjatuhan kedua orang yg saling bertentangan tersebut. Namun Amr bin ash hanya menyetujui penjatuhan Ali dan menolak penjatuhan Muawiyah.
Dari segi politik perang shiffin yang berakhir dengan arbritase itu tidak diterima oleh kelompok Ali dan menjadi alasan mereka untuk memisahkan diri dari golongan Ali, mereka membentuk kelompok yang dinamakan dengan khawarij. Mereka mudah mengkafirkan orang yang berjalan diluar hukum-hukum Tuhan, utamanya untuk membawa konsekuensi dosa-dosa.Pendapat khawarij mengenai pelaku dosa besar mendapat tantangan dari Murji’ah, menurut mereka pelaku dosa besar ia tidak kafir tetap mukmin ,soal dosa besar mereka serahkan kepada Tuhan di hari perhitungan .
Faktor-faktor Timbulnya Aliran Kalam Dalam Islam
Faktor yang menyebabkan timbulnya aliran kalam dalam islam dapat di kelompokan menjadi 2 bagian yaitu:
1. Faktor internal; Yaitu faktor yang muncul dari dalam umat islam sendiri yang dikarenakan:
a. Adanya pemahaman dalam islam yang berbeda
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al-Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
b. Adanya pemahaman ayat Al-Qur’an yang berbeda
Para pemimpin aliran pada waktu itu dalam mengambil dalil Al-Qur’an beristinbat menurut pemahaman masing-masing
c. Adanya penyerapan tentang hadis yang berbeda
Penyerapan hadist berbeda, ketika para sahabat menerima berita dari para perawinya dari aspek “matan” ada yang disebut hadist riwayah (asli dari Rasul) dan diroyah (redaksinya disusun oleh para sahabat), ada pula yang di pengaruhi oleh hadist (isra’iliyah), yaitu: hadist yang disusun oleh orang-orang yahudi dalam rangka mengacaukan islam.
d. Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompokyang sebaliknya.
e. Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal di gunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
f. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman Ustman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan.
g. Adanya perbedaan dalam kebudayaan
Orang islam masih mewarisi yang di lakukan oleh bangsa quraish di masa jahiliyah. Seperti menghalalkan kawin kontrak yang hal itu sebenarnya sudah di larang sejak zaman Rasulullah. Kemudian muncul lagi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib oleh aliran Syi’ah.
2. Faktor eksternal; Faktor ini muncul dari luar umat islam, yaitu :
a. Akibat adanya pengaruh dari luar islam.
Pengaruh ini terjadi ketika munculnya aliran syi’ah yang muncul karena propaganda seseorang yahudi yang mengaku islam, yaitu Abdullah bin Saba.
b. Akibat terjemahan filsafat yunani
Buku-buku karya filosofi yunani di samping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila di tangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang akidah dan syariat islam. Sehingga terdapat keinginan oleh umat islam untuk membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi islam.
Aliran-Aliran Dalam Teologi Islam
a. Khawarij: persoalan iman dan kufr (mu’min dan kafir)
Kaum Khawarij Dalam sejarah perang siffin antara Ali dan Muawiyah hampir pasti dimenangkan oleh Ali namun tentara Muawiyah yang terdesak mengangkat Alquran dengan maksud penghentian peperangan dan tahkim. Pada awalnta Ali tidak mau menerima tahkim namun karena desakan dari sebagian anak buahnya akhirnya Ali menerimanya. Akan tetapi ada sebagian anak buah Ali yang tidak setuju dengan langkah Ali yang menerima tahkin tersebut, mereka beranggapan bahwa orang yang mau berdamai ketika pertempuran hampir dimenangkan adalah tindakan orang yang ragu akan pendiriannya. Hukum Allah sudah nyata bagi mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi. Kaum ini akhirnya membenci Saidina Ali dan juga membenci Muawiyah. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij, khawarij disini berarti keluar yaitu golongan yang keluar dari golongan Ali dan juga Muawiyah
Adapun kepercayaan kaum Khawarij adalah :
1. Tentang Khalifah
Mereka menganggap bahwa Ali telah melakukan dosa besar yaitu menerima “tahkum” dan Ali menjadi kafir karena hal tersebut. Maka menurut siapa saja yang melakukan dosa besar adalah kafir dan halal untuk dibunuh.
2. Cap “kafir”
Inilah salah satu ciri khas paham khawarij. Mereka akan lekas-lekasmenuduh kafir bagi siapa saja yang tidak mengikuti ajarannya. Sehingga orang yang menentang ajarannya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan juga anak istrinya.
3. Ibadat = iman
Iman bagi kaum khawarij tidak hanya dengan hati dan lisan saja tapi juga dengan perbuatan juga. Maka bagi mereka orang islam yang tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat mereka itu kafir dan boleh dibunuh
4. Orang sakit dan Orang Tua
Ajaran orang khawarij adalah jika ada orang sakit dan orang tua tidak ikut dalam perang sabil mka mereka adalah kafir dan wajib dibunuh
5. Dosa kecil dan dosa besar
kaum khawarij tidak mengakui adanya dosa kecil dan dosa besar mereka menganggap bahwa tidak ada dosa kecil semua dosa adalah dosa besar.
6. Anak-anak orang kafir
kaum khawarij berkeyakinan bahwa anak orang kafir akan masuk neraka karena mengukuti ibu bapaknya.
Tersebut dalam hadits Bukhari, bahwasahnya orang yang paling buruk dan makhluk Allah yang paling jahat adalah kaum khawarij karena mereka menggunakan ayat-ayat Alquran yang sebenarnya ditujukan untuk orang kafir tetapi dipasangkan kepada orang mukmin. Dari keterangan ajaran kaum syiah dan khawarij diatas dapat disimpulkan bahwa persoaln berbuat dosa besarlah yang membuat pandangan teologi mereka berbeda dan dari sini pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam persoalannya ialah :”masihkah ia mukmin atu sudah kafirkah dia karena berbuat dosa besar?” Persoalan inilah yang akhirnya nanti menimbulkan tiga aliran teologi Pertama adalah Khawarij yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah kafir dan wajib dibunuh Kedua adalah Murjiah yang mengatakan bahwa orang yang yang berbuat dosa besar adalah bukan kafir dan tetap mukmin. Adapun soal dosa itu terserah Allah mengampuni atau tidak. Ketiga adalah kaum Mu’tazilh yang mengatakan bahwa orang islam yang berbuat dosa besar tidaklah kafir dan juga tidak mukmin atau dalam ajarannya mereka menyebut dengan istilah almanzilah bainal manzilataini (orang yang berada di antara dua posisi )
Kaum khawarij kebanyakan berasal dari suku Badui yang terbelakang sehingga mereka mengartikan ayat-ayat Al-Quran secara harfiyah. Padahal dalam al-Quran nyatanya banyak ayat-ayat yang masih mutasyabbih. Khawarij dikenal sebagai kaum yang ekstreem, mereka tak segan untuk membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai kafir, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar. Mereka juga beranggapan bahwa orang kafir akan kekal dalam neraka. Khawarij juga beranggapan adanya Dar-el Harb (kawasan musuh/kafir) dan Da-el Islam (tempat tinggal orang islam, dalam hal ini mereka yang masuk kedalam khawarij), juga menolak peratutran yang menyatakan khalifah harus dari bangsa Arab dan keturunan Nabi. Pada akhirnya golongan ini terpecah-pecah kedalam beberapa sekte. Meskipun radikal, mau tidak mau kita sebagai umat Islam harus mengakui bahwa kaum ini (khawarij) adalah cikal-bakal demokrasi dalam Islam.
b. Murji’ah: masalah iman dan menentang pendapat Khawarij
Aliran murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetapi dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queieties (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah selalu diam dalam persoalan politik.
Salah satu paham aliran ini bisa disebut sebagai feed back dari pendapat kawarij yang menyatakan orang yang berdosa besar kekal dalam neraka. Murji’ah beranggapan bahwa orang yang berdosa besar tidak kekal dalam neraka. Mereka berpendapat bahwa balasan dari segala perbuatan maksiat akan ditangguhkan oleh Allah sampai nanti di akhirat.Yang terpenting dari sebuah keimanan adalah mengetahui Tuhan (Allah). Orang yang berdosa besar tetap lah muslim, asalkan mereka meyakini Allah. Yang menjadi masalah adalah murjiah ekstreem menganggap boleh melakukan maksiat , karena yang terpenting adalah iman, bukan perbuatan.
c. Paham Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Qodariyah
Aliran ini beranggapan bahwa Allah telah menciptakan daya bagi manusia, sehingga manusia menentukan sendiri takdirnya. Aliran ini dibawa oleh Ghalian Al-Dimasyqi dan Ma’bad Aljauhani dari seorang kristen yang baru masuk Islam di Iraq. Dalam kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan bahwa menurut paham teologi Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kemauannya sendiri, dan manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia mempunyai kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia menghendakinya, dan ia pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya. Aliran ini menolak paham yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut kadar yang telah ditentukan sejak zaman azali.
Jabariyah
menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri mereka, tak ubahnya seperti air yang mengalir, manusia tak ubahnya seperti bulu yang ditiup oleh angin, dia akan melayang-layang ke arah mana angin bertiup. Menurut paham ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan sendiri, tapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah yang menghendaki demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi Tuhanlah yang memaksanya membunuh. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia berbuat dan bergerak karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuham manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Jabbariyah berasal dari kata Jabbara artinya memaksa. Aliran ini berasal dari bangsa arab yang tinggal di padang pasir yang gersang. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatunya telah ditntukan oleh Allah, manusia tidak bisa berbuat apa-apa, bagaikan sehelai kapas yang tertiup angin dan akan bergerak kemana arah angin membawanya, pasrah. Manusia dipaksa untuk menerima ketentuan tuhan. Paham ini dikenal juga dengan predestination atau fatalism.
d. Mu’tazilah : al-Ushul al-Khamsah
Mu’tazilah termasuk kedalam teologi Islam yang sumber-sumber pengambilan pendapatnya menggunakan ijtihad. Bahkan cenderung menuhankan akal. Segala sesuatu haruslah rasional. Aliran ini pernah mengalami kemajuan pada masa khalifah Ma’mun (Abassiyah) yang menjadikan aliran ini sebagai kepercayaan dinastinya pada waktu itu. Setiap pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha’ dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin attau kafir. Aliran ini memiliki 5 (lima) ajaran pokok yakni ;
1. Al Tauhid ( Ke-Esa-an )
Yakni usaha unuk menghindarkan persepsi sama antara tuhan dan mahkluknya. Untuk maksud ini mereka meniadakan sifat-sifat tuhan, yang ada adalah Dzat tuhan itu sendiri. Karena dengan memiliki sifat, tuhan dianggap sama dengan mahkluknya. Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhluk-Nya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha Esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari Zat-Nya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud – al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah. Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.
2. Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatan-Nya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan rahmat Tuhan bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia. Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
3. Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4. Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada surga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5. Amar Ma’ruf , Nahi Munkar ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan )
Konsep Amar ma’ruf Nahi munkar dari aliran ini pada dasarnya sama dengan aliran teologi Islam lainnya, hanya saja dalam pelaksanaannya, mereka menganjurkan dengan jalan damai, tapi tidak menutup kemungkinan dengan jalan kekerasan. Mu’tazilah banyak dianut oleh ulama-ulama modern dan cedikiawan muslim. Pada kejayaannya mu’tazilah berjasa menjawab perdebatan yang dihembuskan dari nonmuslim.
e. Syiah
Syiah artinya pengikut, tetapi dalam pandangan orang islam adalah kaum yang beri’tiqad bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling berhak menjadi kholifah pengganti Nabi Muhammad,karena menurut mereka Nabi berwasiat bahwa Ali adalah pengganti beliu setelah beliu wafat. Senada dengan khawarij, aliran ini lahir akibat masalah politik. Jika khawarij adalah golongan orang-orang yang keluar dari barisan Ali, maka Syi’ah adalah mereka yang tetap setia kepada Ali bin Abi Tholib. Syi’ah adalah kelompok fanatik pendukung Ali, bahkan Syi’ah ekstreem beranggapan bahwa malaikat Jibril salah dalam menurunkan wahyu, seharusnya bukan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi kepada Ali bin Abi Tholib. Yang paling menonjol dari aliran ini adalah mereka melegalkan adanya Nikah Mut’ah atau yang lebih dikenal dengan kawin kontrak. Syi’ah banyak berkemang di Iran dan iraq, bahkan sampai saat ini.
Adapu inti paham syiah adalah :
a. Pangkat khalifah pengganti Nabi adalah ahli waris Nabi.Yang ditunjuk Nabi adalah Ali bin Abi Thalib ,menantu nabi dan sepupu Nabi maka siapa saja yang tidak menuruti wasiat Nabi adalah orang yang terkutuk.
b. Khalifah dalam sistem orang syiah adalah “imam” pangkat tertingg dalam islam dan bahkan salah satu rukun dan tiang Islam. Pengangkatan imam harus dilakukan oleh Nabi atau imam terdahulu,maka jika ada pengangkatan khalifah melalui syura atau musyawarah maka orang-orang tersebut berdosa.
c. Khalifah dalam paham syiah adalah “ma’shum”, artinya tidak pernah berbuat dosa dan tidak boleh diganggu gugat dan dikritik,karena dia adalah pengganti Nabi dan mempunyai kedudukan seperti Nabi.
d. Imam syiah masih mendapatkan wahyu karena menurut mereka imam syiah itu mewarisi pangkat Nabi.
Source: https://atikahalim.wordpress.com/2012/10/20/teologi-islam/amp/