Sejarah Perkembangan Islam di Barus di Sumut Indonesia
Makam Syaikh Mahmud di Papan Tinggi Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara
Teori tentang masuknya Islam, ke Indonesia, terbantah setelah diketahui bahwa di kota Barus lah Islam di Indonesia bermula. Barus, nama sebuah kecamatan di Kaupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, terletak di pinggir pantai yang menceruk. Sebuah pantai yang Indah dan tempat mudahnya kapal singgah.
Terori pertama, orang Barus adalah Bangsa petualang, dengan menjajajakan kapur orang Barus sudah sampai ke Mekkah, sebuah tempat persinggahan, perdagangan dan peribadatan di kawasan Jazirah Arab (kini masuk wilayah kerajaan Saudi Arabia). Pedagang kapur dari Barus, kabarnya pernah bertemu Rasullah Muhammad SAWA, saat masih turun surat-surat dan ayat-ayat Makkiyah (surat dalam Al-Quran yang turun pada periode Mekkah). Surat-surat itu umumnya, masih berkisar ajaran tauhid saja, belum ada ajaran muamalah.
Karena itu istilah Kapur dari Barus masuk melesak ke dalam tatanan bahasa Arab. Kafur berarti menutupi (diserap lagi ke bahasa Inggris menjadi Cover), lalu berubah menjadi Kafir (yang berarti menutup diri dari ajaran baru, Islam). Suatu istilah yang awalnya positif yaitu benda atau bahan wewangian menjadi bermakna negatif kemudian. Kapur dari Barus ini diduga juga yang mengerem gejolak birahi orang-orang gurun di jazirah Arab itu. Sehingga selain ajaran Islam, penggunaan kapur dari Barus dicampur pada makanan (sangat sedikit jumlahnya) atau digosokkan pada kain yang biasa dipakai untuk menutup hidung paera lelaki gurun. Dari situlah, gejolak birahi bisa diturunkan.
Teori kedua, pedagang Arab memasuki Barus sekitar 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah dn menyebarkan agama Islam di daerah itu. Kabarnya Imam Ali bin Abi Thalib (sebelum menjadi khalifah) yang mengirim utusan ke Barus. Disebut dalam sejarah utusan khalifah bernama Syekh Ismail yang akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekitar tahun 634 M. Sejak itu, tercatat bangsa Arab (Islam) kerap berkunjung ke Barus sehingga terbentuk komunitas yang berhubungan dengan masyarakat setempat di Barus. Utusan Imam Ali dan keturunannya (disebut Bangsa Arab oleh para penulis sejarah) menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, (penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya “Silsilatus Tawarikh.” Wanti, 2007).Baru pada tahun 1978, sejumlah arkeolog dipimpin Profesor Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar Barus. Pada penelitian terhadap nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog juga pengajar di Universitas Airlangga Surabaya dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, meyakini bahwa Islam sudah masuk sejak tahun 1 Hijriah. Hal itu berdasarkan pada perhitungan yang menguatkan pendapat sejarawan lokal Dada Meuraxa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya bahwa tulisan pada nisan makam Syekh Rukunuddin itu tahun 48 Hijriah. Pengukuhan itu dikuatkan lagi dalam seminar pada 29-30 Maret 1983 di Medan menyimpulkan Barus merupakan daerah pertama masuknya Islam di Nusantara. (Wanti, 2007).
Perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, menurut Ustadz Djamaluddin Batubara, hingga kini ada sebagian tulisannya tidak bisa diterjemahkan. Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan aksara Arab. Seorang arkeolog dan ahli kaligrafi kuno Arab dari Prancis Prof. Dr. Ludwig Kuvi mengakui Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, merupakan ulama besar. (Wanti, 2007).
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad 7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu (Kompas, 01/04-2005).
Barus kota pertama masuknya Islam di Indonesia
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 Masehi telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Nabi Muhammad SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Demikian hasil temuan G.R. Tibbets yang telah melakukan penelitian dengan tekun.
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika (Ridyasmara, 2006).
Sebagai pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Bahkan, ada memperkirakan lebih jauh dari itu sekitar 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir’aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kamfer atau kapur Barus. Getah kayu kamfer yang paling baik kualitasnya, kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.
Sejarawan era kemerdekaan Profesor. Mr. Mohamad. Yamin, memperkirakan perdagangan rempah-rempah di antaranya kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia. Lebih ke depan dari perkiraan itu, berdasarkan arsip-arsip tua berasal dari kitab suci. Misalnya dalam Perjanjian Lama, menceritakan Raja Salomo memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga sebagai Lobu Tua, Barus. Peradaban lain sempat menyentuh emporium Barus, adalah Yunani yang diperkirakan para pedagangnya mengunjungi Barus di awal-awal Masehi. Seorang pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus, mencatat perjalanannya hingga ke Barousai, sekitar tahun 70 Masehi. Pencatat sejarah Yunani itu menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab dan Tiongkok juga lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah (Waspada, 26/06-2007).
dikutip dari KOTA TERTUA DI INDONESIA Oleh: Edward Simanungkalit (Tulisan ini telah dimuat di Majalah KIRANA, Edisi Nopember 2008, Majalah Pemkab DAIRI)
Source: sumutislam