Syarat-Syarat Hadits Shahih
Dari definisi hadits shahih di atas, mengandung lima syarat yang harus dimiliki oleh suatu hadits agar dapat dinilai sebagai hadits shahih, yaitu :
a. Rawinya Harus Adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang berlebihan.[4]
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil adalah :
Beragama islam
Berstatus mukallaf
Melaksanakan ketentuan agama
Memelihara muruah (harga diri)
b. Rawinya Bersifat Dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.[5] Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu berdaar pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqat
c. Sanadnya Bersambung
Sanadnya bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :
· Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
· Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[7]
d. Tidak Ber-illat
Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih. [8]
e. Tidak Janggal (Syadz)
Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[9]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja
Syarat –Syarat Hadist Sahih Menurut Imam Al-Bukhari dan imam Al-Muslim.
Para ulama berbeda pendapat tentang kitab mana yang lebih unggul diantara kedua kitab shahih ini. Jumhur muhaddtisin berpendapat bahwa Shahih Al-Bukhari lebih utama daripada Shahih Muslim,sedangkan sejumlah ulama dari Maroko dan lainnya berpendapat bahwa Shahih Muslim lebih utama daripada al-Bukhari.
Syarat kesahihan hadis menurut Imam Bukhari begitu ketat, sehingga banyak hadis yang dinilai oleh Ulama Hadis lain sebagai hadis sahih, namun menurut Imam Bukhari tidak.
· Syarat Kesahihan Hadits Menurut Imam Bukhari :
1. Sanad bersambung (muttashil) terlalu ketat
2. Seluruh periwayat dalam sanad suatu hadis harus adil
3. Periwayat bersifat dhabith
4. terhindar dari syadz dan illat
· Syarat Kesahihan Hadits Menurut Imam Muslim :
1. sanad bersambung tidak terlalu ketat
2. seluruh periwayat dalam sanad suatu hadis harus adil
3. dhabith (Tsiqah)
4. terhindar dari syadz dan illat.
Berikut adalah pendapat dari Al-Hafizh mengulas kelebihan Shahih Al-Bukhari atas Shahih Muslim
1) Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua orang rawi yang secara struktual sebagai guru dan murid agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Adapun Muslim menganggap cukup dengan kemungkinan dapat bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Dengan, demikian syarat al-Bukhari lebih ketat daripada syarat Muslim, sehingga Shahih al-Bukhari leih shahih. Hal ini cukup menjadi faktor penentu dalam keunggulan al-Bukhari atas Muslim.
2) Dalam penyusunan kitab al-Bukhari berisi tentang ungkapan fiqih hadits shahih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang berfaidah serta menjadikan kesimpulan itu sebagai judul bab-babnya. Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.
Sedangkan Muslim tidak mengungkap fiqih hadits, melainkan untuk mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad, karena ia meriwayatkan setiap hadits sesuai tempatnya serta menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya ditempat tersebut.
3) Al-Bukhari mengeluarkan (menulis) hadits-hadits yang diterima dari rawi tsiqat yang termasuk derajat pertama dan sangat tinggi tingkat hafalan dan keteguhannya. Ia juga mengeluarkan hadits dari para rawi pada tingkatan berikutnya dengan sangat selektif. Sedangkan Muslim lebih banyak mengeluarkan haditsnya dari rawi pada tingkatan ini dibandingkan dengan al-Bukhari.(af/trimuerisandes)