Penjelasan Urgensi Dan Fungsi Hadist Terhadap Pendidikan Islam Lengkap
A. LATAR BELAKANG
Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran ada sunah atau hadits yang berupa ucapan-ucapan Rasulullah Saw. yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam.
Hadits merupakan warisan Rasulullah yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya yang senantiasa mengharapkan syafa’at setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits dikumpulkan oleh sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian ajaran Islam.
Al- Qur’an yang merupakan sumber hukum islam hanya menerangkan hukum islam secara global tanpa terperinci. Adapun di eraglobalisasi pada saat sekarang banyak orang multitafsir terhadap al-Qur’an dikarenakan al-qur’an tidak bisa menjelaskan secara terperinci atas larangan atau perintah yang harus diamalkan didalam Islam.
Dengan demikian hadist dibutuhkan yang bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci laragan dan perintah dalam agama islam .
C. RUMUSAN MASALAH
Mengetahui latar belakang diatas perlu adanya pemahaman tentang kedudukan hadits dan fungsi hadist itu sendiri yang dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana pentingnya dan fungsi hadist dalam pendidikan agama islam ?
D. HIPOTESIS
Melihat rumusan masalah diatas dapat ditemukan hipotesis sebagai berikut :
Sebagai motivasi dan pedoman dalam pendidikan agama islam.
E. TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan dari diadakannya pembahasan ini adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui pentingnya dan fungsi hadist dalam pendidikan agama islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. URGENSI HADITS DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
URGENSI berasal dari bahasa latin [URGERE]-{KATA KERJA} yang berarti mendorong. Dalam bahasa inggris[URGENT]-{KATA SIFAT} dalam bahasa indonesia [URGENSI]-{KATA BENDA} istilah urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong kita ,yang memaksa kita untuk di selesaikan. Dengan demikian mengandaikan ada suatu masalah dan harus di tindak lanjuti. “URGENSI” bisa berarti “penting nya, Misalnya urgensi kepemimpinan muda ” itu lebih berarti ” pentingnya kepemimpinan muda “[1]
Dalam pembahasan ini akan dibahas pentingnya hadist. “Seluruh umat islam, tanpa terkecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al Qur’an.
Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin (Penjelasan) terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapapun tidak bisa memahami Al Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits tanpa memahami Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan Al Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.”[2]
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al Qur’an maupun dalam hadits nabi Muhammad SAW, Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa firman Allah sebagai berikut :
a. Surat Annisa ayat 59[3]
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&urtAqß™§9$# ’Í<‘ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû&äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù’s?ÇÎÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Surah Annisa ayat 69[4]
Artinya : Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan pedoman hidup yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Disamping itu keduanya juga merupakan sumber hukum dalam Islam. Al-Qur’an sebagai hokum yang pertama dan utama banyak memuat ajaran yang bersifat umum dan global.[5]
Oleh karena itu Hadits yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua menjadi penjelas (Bayan) terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang masih bersifat umum tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an,
Surah Annahl ayat 44 yaitu :[6]
Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,(Q.S. Annahl : 44)
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada manusia untuk difahami dan diamalkan, karena itu agar maksud tersebut terwujud, maka Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk menjelaskannya melalui hadits Beliau.
Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri’. Sementara itu, Imam syafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh.[7]
Seluruh Umat Islam, baik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat bahwa hadits/sunah meruapakan dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran.[8]
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan :[9]
فَالْقُــرْاَنُ وَالسُّــنَّةُ مَصْدَرَانِ تَشْـــرِيْعِيَانِ مُتَـَـلَازِمَانِ لَايُمْكِنُ لِمُسْــلِمٍ أَنْ يُفَـهَّمَ الشَّرِيْــعَةِ لَا بِالرُّجـُوعِ اِلَيْهِـــمَا مَعًــا وَلَا غَنِى لِلْمُجْـــتَهِدِ أَوْ عَــالِمٍ عَنْ أَحَـــــدِهِمَا.
Artinya :“Al-Qur’an dan As-sunnah (Al-Hadits) merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tepat, sehingga umat Islam tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam, tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak diperolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari keduanya.”
Banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, baik dalam bentuk awamir maupun nawahi-nya.
Urgensi al-Qur’an dan Hadist merupakan dasar pendidikan[10], sehingga Urgensi hadist terhadap pendidikan Agama islam banyak berperan. Seperti pada masa Rosulullah SAW. yang mendasari pentingnya hadist terhadap pendidikan contohnya adalah hadist nabi yang bermakna sebagai berikut :
“Artinya :Menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sufyan, menceritakan kepada kami Fulaih, menceritakan kepada kami Hilal ibn ‘Ali, Dari ‘Atha’ ibn Yasar, dari Abu Hurairat RA, Bahwa Rosulullah SAW. bersabda, Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan, “Para sahabat bertanya, “Wahai Rosulullah! Siapa yang enggan ? Beliau menjawab, “Barang siapa menaatiku maka dia masuk surga, dan siapa yang durhaka terhadapku maka dia yang enggan.” (H.R. Bukhari)[11]
Uraian hadist diatas adalah salah satu contoh pendidikan agama islam tentang ummat nabi yang masuk surga diakhirat nanti. Banyak sekali hadist nabi yang menjelaskan tentang pendidikan agama islam yang dapat diketahui dalam kitab- kitab dan buku – buku hadist tarbawi.
Urgensi hadist terhadap agama islam adalah sebagai uraian dari pada Al-qur’an dan penjelasan yang masih belum jelas dan juga meragukan dalam menjalankan agama islam, sehingga hadist dalam pendidikan agama islam juga menjadi pedoman yang sangat peting dalam merajut sistem.
B. FUNGSI HADITS TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.
Hadist memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pendidikan agama islam yang mana hadist merupakan penjelas dari al-Quran dan Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya monoton menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan.
Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali sholat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain.
Maka, disinilah urgensitas hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an, yaitu :[12]
1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu” dan seterusnya (Riwayat Bukhari – Muslim).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits).
Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata.
Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya” (H.R. Bukhari – Muslim).
Jika dirinci maka secara umum peranan (fungsi) Al-Hadits terhadap Al-Qur’an diantaranya adalah sebagai berikut :[13]
Al-Hadits memperkuat (memperkokoh) isi kandungan Al-Qur’an.
Contoh :
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185[14]
Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.
Untuk memperkuat ayat di atas Rasullah SAW bersabda :[15]
صُوْمُوْا لِرُؤْيَـتِهِ وَاَفْـطِرُوْا لِرُؤْيَـتِهِ فَإِنْ غَـمَّ عَلَيْـكُمْ فَاقْدِرُوْا لَــهُ. ( رواه مسلم )
Artinya : Apabila kalian melihat (ruyah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah (H.R.Muslim)
b. AL-Hadits memberi rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum (mujmal)
diantara ayat yang bersifat mujmal itu adalah ayat-ayat yang bercerita tentang shalat, zakat, puasa, syari’at jual beli, nikah dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah perintah shalat yang ada dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah ayat : 43 ) berikut ini :[16]
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#uryìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Artinya : Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S Al-Baqorah : 43)
Ayat di atas hanya berbicara secara umum tentang shalat, sedangkan tata cara pelaksanaan shalat tidak dijelaskan di dalam ayat tersebut, maka hal ini dijelaskan oleh Rasullah SAW di dalam Hadits beliau, sebagaimana sabda Beliau yang berbunyi :
صَـلُّوْا كَمـَا رَاَيْتُمُـوْنِي اُصَلّي (رواه البخارى)
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Bukhori)
AL-Hadits menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau bisa juga dikatakan bahwa hukum sesuatu itu hanya pokok-pokoknya saja yang ada dalam Al-Qur’an.
Kemudian hadits menunjukkan suatu kepastian hukum. Misalnya saja di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa haram hukumnya memakan bangkai, bangkai disini hanya dijelaskan secara umum.
Kemudian Al-hadits menetapkan hukum yang lebih tegas dengan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Contoh lain adalah hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan pernikahan semisal istri dan bibinya atau wanita yang merupakan saudara kandung.
Al-Hadits sebagai penentu di antara dua atau tiga perkara yang dimaksud dalam Al-Qur’an
Banyak ayat atau lafaz Al-Qur’an yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, sehingga terjadilah perbedaan tafsir oleh keterangan lain, kemungkinan pemahaman terhadap ayat tesebut akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki dan tentu daja akan menjadi sulit untuk dilaksanakan. Contohnya ayat tentang masa ‘iddah tiga kali quru’ bagi perempuan yang diceraikan suaminya. Lafal quru’ dalam ayat tersebut berarti haid dan suci. Tidak jelas apakah ayat tersebut berbicara tentang ‘iddah perempuan yang dithalaq itu tiga kali suci atau tiga kali haid. Oleh karena itu, muncul hadist yang menjelaskan atau menentukan (ta’yin) dari dua masalah tesebut.
Al-Hadits sebagai bayan An-nasakh
Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadist yang satu ini, hal ini terjadi karena adanya Perbedaan pendapat dalam menta’rifkan pengertiannya. Sehingga ada yang menerima dan mengakui fungsi hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an tetapi ada juga yang menolaknya.
Menurut ‘Ulama Mutaqaddimin terjadinya nasakh dikarenakan adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, sebab masa berlakunya telah berakhir dan tidak bisa diamalkan lagi. Akhirnya syari’ (pembuat syari’at) menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berlaku untuk selamanya ataupun temporal.
Maka ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang sebelumnya. Itu berarti, hadist dapat menghapus ketentuan dan kandungan isi Al-Qur’an. Ketidak berlakuan suatu hukum harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat adanya nasakh dan mansukh.
Kelompok yang membolehkan adanya nasakh ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm Adh-Dhahiri. Mu’tazilah membatasi, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm pada hadits yang mutawatir (mutawatir lafzhi). Sementara golongan hanafiah tidak mensyaratkan hadits yang mutawatir, yang masyhur (hadits ahad) pun bisa menasakhkan hukum ayat Al-Qur’an. Dam mazhab Ibnu Hazm Adh-Dhahiri menyatakan adanya nasakh meskipun dengan hadits ahad.
Salah satu contoh dari fungsi hadits sebagai bayan annasakh ini adalah firman Allah surah Al-Baqarah ayat 180, tentang wasiat bagi ahli waris, yaitu :[17]
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Al- Baqarah : 180)
Ayat di atas disanadkan dengan hadits yang berbunyi :
لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه البخارى)
Artinya : Tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Bukhori)
Kelompok yang menolak nasakh ini adalah Imam Syafi’I, mazhab Zhahiriah dan Khawarij.
source: rol