Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
PEMBAHASAN
1. Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia
A. Al-Jami’at Al-Khairiyah
Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal usul. Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini ialah, pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi. Bidang yang kedua ini sering terhambat karena kekurangan biaya dan juga karena kemunduran khilafat, dengan pengertian tidak seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur tengah memainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia.
Sekolah dasar Jami’at Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung, sejarah, ilmu bumi, dan sebagainya.[1]
Untuk memenuhi tenaga guru yang berkualitas Jami’at Khair mendatangkan guru-guru dari daerah-daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar disekolah tersebut. pada tahun 1907 Haji Muhammad Mansur seorang guru dari Padang diminta untuk mengajar disekolah tersebut karena pengetahuannya yang luas dalam bidang agama dan karena kemampuannya di dalam bahasa Melayu. Al-Hasyimi didatangkan dari Tunis sekitar tahun 1911 yang disamping mengajar juga memperkenalkan gerakan kepanduan dan olahraga dilingkungan sekolah Jami’at Khair. Beliau terkenal sebagai orang yang pertama kali mendirikan gerakan kepanduan dikalangan orang-orang Islam di Indonesia.[2]
Satu hal yang penting dicatat adalah kenyataan bahwa Jami’at Khair yang pertama memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam, dan yang mendirikan suatu lembaga pendidikan dengan sistem yang boleh dikatakan telah modern. Meskipun tujuan asalnya hanya mengenai pendidikan agama tetapi usaha Jami’at Khair kemudian meluas sampai kepada mengarus penyiaran Islam, perpustakaan dan surat kabar (26 Januari 1913) dan mendirikan atas bantuan S. Muhammad b. Saleh b. Agil dan S. Abdullah b. Alwi Alatas percetakan bahasa Arab Setia Usaha, yang dipimpin oleh Umar Said Tjokroaminoto dan yang kemudian menerbitkan surat kabar harian Utusan Hindia (31 Maret 1913).[3]
B. Al-Islah Wal Irsyad
Syeikh Ahmad Surkati, yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang alim terkenal dalam agama Islam, beberapak lama kemudian meninggalkan Jami’at Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme).
Pada tahun 1914 berdirilah perkumpulan Al-Islah Wal Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun 1915 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru sebagai tempat meminta fatwa ialah Syeikh Ahmad Surkati yang sebagian besar dari umurnya dicurahkannya bagi penelaahan pengetahuan.[4]
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerjasama dengan organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia asli juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Sekolah Al-Irsyad di Jakarta lebih banyak jenisnya. Terdapat sekolah-sekolah tingkat dasar, sekolah guru, bagian takhassus (dengan pelajaran dua tahun) dimana pelajar dapat mengadakan spesialisasi dalam bidang agama, pendidikan atau bahasa. Tetapi struktur seperti ini meminta waktu tahunan untuk dapat dibangun. Mulanya tiap peminat, umur berapapun dapat diterima sebagai murid, sehingga tidaklah merupakan suatu hal yang luar biasa untuk menemui didalam sekolah tingkat dasar seorang anak muda 18 atau 19 tahun duduk berdampingan dengan anak berumur 8 atau 9 tahun dalam satu kelas. Memang diantara anak-anak itu ada yang telah mendapat pelajaran di sekolah-sekolah lain sebelum memasuki Al-Irsyad.[5]
Murid-murid Al-Irsyad, pada tahun-tahun pertama didirikan, terdiri dari anak-anak kalangan Arab dan sebagian juga anak-anak Indonesia asli dari Sumatera dan Kalimatan. Mereka banyak terdiri dari anak-anak penghulu, pedagang dan guru-guru dan beberapa diantaranya anak-anak pegawai pemerintah. Pada tahun 1930-an organisasi Al-Irsyad mengeluarkan beasiswa untuk beberapa lulusannya guna belajar diluar negeri terutama di Mesir, tetapi para siswa ini tidak memainkan peranan yang penting sekembali mereka dari sana. Yang lebih berhasil ialah para lulusan yang melanjutkan pelajarannya dengan tenaga sendiri ataupun dengan bantuan dari keluarga sendiri. Orang-orang ini memainkan peranan yang lebih penting dalam perkembangan pemikiran pembaharuan.[6]
C. Perserikatan Ulama
Perserikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ceberelang Majalengka.
KHA Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun diberbagai pesantren didaerah Majalengka. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Selama 3 tahun berada di Mekkah, ia mengenal tulisan-ulisan Abduh dan Jamal al-Din al-Afgani, yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari daerah Sumatera. Yang lebih memberikan kesan baginya adalah dua lembaga pendidikan, yaitu Bab al-Salam dekan Mekkah dan yang lainnya di Jeddah. Menurut ceritanya kedua lembaga ini telah menghapuskan sistem halaqah dan sebagai gantinya mengorganisir kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja.[7]
Dalam bidang pendidikan KHA Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa, yang diikuti 40 orang. Umumnya pelajaran yang ia berikan adalah pelajaran-pelajaran Fiqh dan Hadis. Ketika itu Halim tidak semata-mata mengajar saja tetapi juga bergerak dibidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidupnya.
Untuk memperbaiki mutu sekolah nya KHA Halim berhubungan dengan Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan. Organisasi tersebut yang kemudian diganti menjadi Perserikatan Ulama, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pimpinan Serkat Islam).
Pada tahun 1924 Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya keseluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 keseluruh Indonesia. Dalam kenyataannya Perserikatan Ulama tetap merupakan sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. Ia juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fatimiyah, bagi wanita.[8]
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Perserikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan perdagangan dan pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.[9]
D.Muhammadiyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Selain sebagai gerakan Islam, dakwah dan tajdid (pembaharuan), organisasi Muhammadiyah juga telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan. Penempatan ini selain strategis juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa dalam rangka mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu wahana untuk berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa.[10]
Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal (sekolah), non formal (di masyarakat, sekolah) dan informal (rumah tangga, masyarakat, sekolah). Sebenarnya tujuan umum pendidikan Muhammadiyah secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di Betawi yang berisi, pertama, menggiringi anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar semangatnya. Kedua, badannya sehat, tegap bekerja. Ketiga, hidup tangannya mencari rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang besar dan berharga hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama.
Kualitas keislaman adalah ciri khas dari pendidikan Muhammadiyah. Ia merupakan dasar dan tujuan dari cita-cita dalam proses pendewasaan manusia yang digagas Muhammadiyah. Sebagai institusi pendidikan yang diharapkan menjadi lembaga yang mencetak kader, sekolah/madrasah/pesantrren. Muhammadiyah haruslah menegaskan diri dalam menghasilkan peserta didik yang mengejawentahkan nilai-nilai Islam. Kualitas keilmuan adalah tingkat kemampuan peserta didik menyerap pengetahuan yang diajarkan. Ia bagian dari kecerdasan yang menjadi target pencapaian dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan.[11]
E. Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tangga 16 Rajab 1344 H di Surabaya yang didirikan oleh alim ulama dari tiap-tiap daerah di jawa, diantaranya:
a. K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
b. K.H Abdul Wahab Hasbullah
c. K.H Bisri Joombang
d. K.H Ridwan Semarang
e. Dan lain-lain.
Latar belakang didirikannya organisasi ini pada mulanya adalah sebagai perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan tujuan, untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh ditangan pembaharuan, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.[12]
NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu, NU mendirikan beberapa madrasah ditiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan budi luhur masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga mengadakan tabligh-tabligh serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.[13]
2. Jenis-Jenis Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
A. Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral agama islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama. Pondok pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa dilihat dari perjalanan historisnya, bahwa sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.[14]
Pada masa penjajahan kolonial Belanda yaitu sekitar abad ke-18-an, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali dengan cerita perang nilai antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup di masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral.
Dalam perkembangannya, pondok pesantren memang sangat pesat. Pada zaman Belanda saja jumlah pesantren di Indonesia besar kecil tercatat sebanyak 20.000 buah. Perkembangan selanjutnya mengalami pasang surut, ada daerah tertentu yang membuka pesantren baru, ada pula pesantren di daerah lain yang bubar karena tidak begitu terawat lagi. Tetapi perkembangan yang paling akhir, dunia pesantren menampakkan trend lain. Disamping masih ada yang mempertahankan sistem “tradisionalnya”, sebagian pesantren telah membuka sistem madrasah, sekolah umum bahkan ada diantaranya yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian, perternakan dan lain-lain.[15]
Adapun tujuan didirikannya pondok pesantren ini pada dasarnya terbagi kepada dua hal, yaitu:
a. Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
b. Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Melihat dari tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan kader-kader mubaligh yang diharapkan dapat meneruskan misinya dalam dakwah Islam, disamping itu juga diharapkan bahwa mereka yang berstudi di pesantren menguasai betul akan ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan oleh kiai.[16]
Sementara itu, dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran tampaknya cukup bervariasi dan berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain, dalam arti tidak terdapatnya keseragaman sistem dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya. Dalam hal penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren sekarang ini, paling tidak dapat digolongkan kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal (sistem bandungan dan sorogan), dimana seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar disekitar penjuru desa sekeliling pesantren tersebut dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandungan, sorogan ataupun wetonan, dengan para santri disediakan pondokan yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.[17]
Berdasarkan kenyataan tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap mempertahankan bentuk pendidikannya yang asli, sebagian lagi mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh tuntutan zaman dan perkembangan pendidikan di tanah air.
Sebagaimana diketahui, bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam mencetak kader-kader ulama dan telah berjasa turut mencerdaskan masyarakat Indonesia. Selain tugas utamanya mencetak kader ulama, pesantren telah menjadi pusat kegiatan pendidikan yang telah berhasil menanamkan semangat kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.[18]
Didalam pengelolaannya, pesantren boleh dikatakan masih belum mempunyai dasar yuridis yang kuat. Ketentuan pengelolaannya secara penuh berada pada pimpinan atau orang yang terkait dengan pesantren itu sendiri, sedang pembinaan dan pengembangannya, diarahkan oleh pemerintah (Departemen Agama) dengan dibantu oleh berbagai instansi pemerintah lainnya. Kendatipun demikian, didalam menjalankan fungsi dan peranannya, kegiatan pondok pesantren tercakup dalam “Tri Dharma” pondok pesantren, yaitu:
a. Keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.
b. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat.
c. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.[19]
B. Madrasah
Madrasah merupakan “isim makan” kata “darasa” dalam bahasa Arab, yang berarti “tempat duduk untuk belajar” atau populer dengan sekolah. Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh di Indonesia pada awal abad ke-20. Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitikberatkan agama, dilain pihak sistem pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan demikian, kehadiran madrasah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan dikalangan umat Islam.[20]
Memang pada waktu itu, terdapat dua sistem pendidikan yang sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pemerintah kolonial Belanda yang memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang didunia barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan yang telah berkembang di Indonesia, yaitu pesantren. Adanya perbedaan yang sangat kontradiktif dari kedua sistem pendidikan tersebut rupanya menggugah sebagian penduduk pribumi. Mereka menyadari akan pentingnya pendidikan umum dengan tidak mengesampingkan dan meninggalkan pola pendidikan pesantren, sehingga diusahakanlah untuk memadukannya.[21]
Dengan demikian kita ketahui bahwa permulaan abad ke-20, merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah hampir diseluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi. Namun madrasah-madrasah tersebut pada awal perkembangannya, masih bersifat diniyah semata-mata. Baru sekitar tahun 1930, sedikit demi sedikit akan tetapi bertambah cepat, dilakukan pembaharuan terhadap madrasah dalam rangka memantapkan keberadaannya khususnya dengan penambahan pengetahuan umum.[22]
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti sistem klasikal. Sistem pengajaran kitab diganti dengan bidang-bidang pelajaran-pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama.
Pada perkembangan selanjutnya, sistem pondok mulai ditinggalkan, dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang cuma mengajarkan pengetahuan agama. Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses sebagaimana di gambarkan terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku disekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkat SMP, dan ada pula Kuliah Mualimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.[23]
Kurikulum madrasah masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan presentase yang berbeda. Pada waktu pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Agama mulai mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah, melalui Kementrian Agama, merasa perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu. Adapun pengetahuan umum yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa awal adalah:
a) Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia.
b) Berhitung.
c) Ilmu bumi.
d) Sejarah Indonesia dan dunia.
e) Olahraga dan kesehatan.[24]
C. Surau
Surau sebagai lembaga pendidikan islam di Minangkabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan surau sampai dengan meredupnya pamor surau. Kondisi ini dilatar belakangi dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.
Istilah surau di Minagkabau sudah dikenal sebelun datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).[25]
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-quran, disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a. Pengajaran Alquran. Untuk mempelajari Alquran ada dua macam tingkatan
1. Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Alquran dan membaca Alquran. Disamping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal.
2. Pendidikan atas, yaitu pendidikan membaca Alquran dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid dan kitab parukunan.
b. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu.
Metode pendidikan yang digunakan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan, sedangkan kekurangannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Disisi lain metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu.
Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Diantara para ulama pendidikan surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.[26]
D.Mesjid
Secara harfiah mesjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, mesjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas. Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di mesjid sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan suatu lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya. Dengan tercipta lingkaran tersebut, bukan berarti fungsi mesjid berhenti, tetapi tetap memberikan sahamnya dalam menciptakan dan menimbulkan lingkaran baru lagi.
Dewasa ini fungsi mesjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. hal ini terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga mesjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya mesjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman serta sebagai tempat ibadah dan i’tikaf.[27]
Implikasi mesjid sebagai lembaga pendidikan Islam yaitu: Pertama, mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT. Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial.Ketiga, memberikan rasa ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian.
Fungsi mesjid dapat lebih efektif bila didalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan
b. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program inilah yang dikenal dengan istilah “i’tikaf ilmiah”.
c. Ruang kuliah, baik digunakan untuk training (tadrib) remaja mesjid, atau juga untuk Madrasah Diniyah.
d. Apabila kemungkinan teknik khutbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi, yakni anatara khatib dengan para audien, terjadi dialog aktif satu sama lain.[28]
E. Majelis Taklim
Dari segi etimologi, perkataan majelis taklim berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata yaitu majelis dan taklim. Majelis artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. Dan taklim yang diartikan dengan pengajaran. Denan demikian secara bahasa majelis taklim adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian ajaran Islam.
Secara istilah, pengertian majelis taklim sebagaimana dirumuskan pada Musyawarah Majelis Taklim se DKI jakarta tahun 1980, adalah lembaga pendidikan nonformal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesamanya, serta antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.[29]
Majelis taklim mempunyai kedudukan dan ketentuan tersendiri dalam mengatur pelaksanaan pendidikan atau dakwah Islamiah, disamping lembaga-lembaga lainnya yang mempunyai tujuan yang sama. Memang pendidikan non formal dengan sifatnya yang tidak terlalu mengikat dengan aturan yang ketat dan tetap, merupakan pendidikan yang efektif dan efisien, cepat menghasilkan, dan sangat baik untuk pengembangan tenaga kerja dan potensi umat, karena ia digemari masyarakat luas. Efektivitas dan efisiensi sistem pendidikan ini sudah banyak dibuktikan melalui media pengajian-pengajian Islam atau majelis taklim yang sekarang banyak tumbuh dan berkembang baik di desa-desa maupun kota-kota besar.
Oleh karena itu, secara strategis majelis taklim tersebut adalah menjadi sarana dakwah dan tabligh yang bercorak Islami, yang berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam sesuai tuntutan ajaran agama.[30] Sebagai pendidikan non formal, majelis taklim berfungsi sebagai berikut:
a. Membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.
b. Sebagai taman rekreasi rohani, karena penyelenggaraannya bersifat santai.
c. Sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi masal, yang dapat menghidup suburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
d. Sebagai sarana dialog berkesinambungan antara ulama dan umara dengan umat.
e. Sebagai media penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat dan bangsa pada umumnya.[31]
Pertumbuhan majelis taklim dikalangan masyarakat menunjukkan akan adanya kebutuhan dan hasrat anggota masyarakat tersebut akan pengetahuan dan pendidikan agama. Dan perkembangan selanjutnya menunjukkan kebutuhan dan hasrat masyarakat yang lebih luas lagi yaitu, usaha memecahkan masalah-masalah menuju kehidupan yang lebih bahagia.
F. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Kelahiran Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tidak lain karena usaha gigih umat Islam, yang mayoritas di Indonesia ini, dalam usaha mengembangkan sistem pendidikan Islam yang lengkap, yang dimulai dari sistem pendidikan Pesantren yang sederhana sampai ketingkat perguruan tinggi.
Keberadaan IAIN tersebut erat kaitannya dengan cita-cita umat Islam yang ingin memajukan ajaran-ajaran Islam di Indonesia. Setelah mengalami proses perjuangan melawan imperialis yang panjang, umat Islam mengalami keterbelakangan dan keterpecahan disemua aspek kehidupan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah terisolasi dari perubahan dan perkembangan zaman.[32]
Dalam sejarahnya, menurut Mahmud Yunus, bahwa perguruan tinggi Islam pertama kali didirikan dan dibuka dibawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940 di Padang, Sumatera barat. Lembaga pendidikan Islam ini terdiri dari dua fakultas yaitu Syariat dan Bahasa Arab. Tujuan yang diinginkan pada waktu itu adalah untuk mendidik dan mencetak ulama-ulama yang handal dan berwawasan luas. Pada tahun 1945, tepatnya pada 8 Juli 1945 dengan bantuan pemerintah pendudukan Jepang, pada saat peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Tujuannya yaitu pada mulanya adalah untuk mengeluarkan alim ulama yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam secara luas dan mendalam, serta mempunyai pengetahuan umum yang diperlukan dalam masyarakat modern sekarang.[33]
Pada tanggal 22 Maret 1948, STI diubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), dengan memiliki beberapa fakultas yaitu Agama, Hukum, Ekonomi, Pendidikan. Perkembangan selanjutnya pada tanggal 22 Januari 1950, sejumlah pimpinan Islam dan para ulama juga mendirikan sebuah Universitas Islam di Solo. Dan pada tahun itu juga fakultas Agama yang semula ada di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta diserahkan ke pemerintah yakni Kementrian Agama, yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dikeluarkannya PP Nomor 34 tahun 1950.
Perguruan Tinggi tersebut berkembang, dimana UII terus berjalan, sementara itu PTAIN pun kian berkembang. Apalagi di Jakarta juga didirikan lembaga Pendidikan Tinggi Agama dengan nama Akademi Dinas Ilmu Agama. Dari perkembangan tersebut akhirnya pada tahun 1960 merupakan bentuk final, dimana antara ADIA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Perpaduan ini tampaknya merupakan perkembangan yang teramat penting bagi masa depan Islam di Indonesia.[34]
sumber:rafika