Sejarah Islam di Yogyakarta berawal pada akhir abad ke-16, terdapat sebuah kerajaan Islam di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota Gede, kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta. Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat akibat dari Perjanjian Giyanti yang ditanda tangani pada tanggal 13 Februari 1755. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Pada tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) proklamasi atau Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755. Raja – raja yang memimpin bermula dari Sri Sultan Hamengkubuwono I sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Islamisasi Warisan Budaya Kraton
Warisan budaya kraton yang sangat halusPara pujangga dan sastrawan Jawa membutuhkan bahan sebagai subject Mattres dalam berkaryaPertimbangan stabilitas sosial, budaya dan politikPihak keraton sebagai pendukung dan pelindung agama
Makna Simbolis Kraton Yogyakarta
Kraton ialah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata ka-ratu-an = kraton di sebut kadaton (istana). Kraton Yogyakarta memiliki makna simbolik yang cukup dalam. Konsep religius lebih konkret dicerminkan dari tata rakit kraton masjid Agung yang memuat filosofi
“Manunggaling Kawula Gusti”
Kraton adalah wadah kegiatan fisik material, lambang manusia dengan dunianya sebagai pusat kebudayaan
Makna Simbolis Tradisi Kraton Yogyakarta
UPACARA GAREBEG
Garebeg Pasa : Garebeg untuk merayakan Idul FitriGarebeg Besar : Garebeg untuk merayakan bulan besar/ Dzulhijjah untuk merayakan Idhul Adha/kurbanGarebeg Maulud/ Sekaten :Untuk merayakan maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW
Sumber: https://archivalsciencea.wordpress.com/2017/09/12/sejarah-masuknya-islam-di-yogyakarta/amp/