Arsitektur Perkotaan
Mengamati arsitektur ini cukup relevan karena :
- Jakarta adalah pusat orientasi budaya Indonesia masa kini
- Golongan elite di Indonesia sangat berperan dalam mempengaruhi tata nilai masyarakat karena masih kuatnya sikap feodal di masyarakat kita.
Dari pengamatan perkembangan arsitektur sector ini terasa adnya alur kecenderungan tertentu yaitu :
·
Perubahan mode bentuk yang relative cepat/sering. Hal ini menunjukkan belum mantapnya kedudukan suatu ungkapan arsitektonis tertentu yang “pas” dengan hasrat dan keinginan golongan elite tersebut. Dengan perkataan lain mereka masih mencari-cari ungkapan yang dirasakan tepa.
·
Sikap individualistic secara konsisten tetap bertahan. Hal ini tercermin dari bentuk disain yang sangat mengabaikan keadaan lingkungan sekitarnya dan mencerminkan tiadanya rasa solidaritas dengan masyarakat sekelilingnya. Terungkap juga pemahamannya terhadap kemerdekaan dan haknya sebagai individu yang merdeka.
·
Penonjolan kemewahan kini dibarengi juga oleh penonjolan cirri aristokratis. Hal ini mengungkapkam adanya kebutuhan kuat untuk menciptakan atribut status social. Demikian kuatnya kebutuhan atribut ini sehingga terasa fungsi utama rumah sudah tergeser bukan lagi sebagai gua garba keluarga (fungsi primer) tetapi lebih sebagai aktualisasi diri (fungsi sekunder).
Gejala-gejala budaya tersebut memang makin tersa kokoh di masyarakat kota Jakarta bila kita mengamati pula bentuk kehidupan lainnya. Bila kemudian kita amati perumahan golongan yang lebih rendah di daerah pelosok kota atau di kampung-kampung maka kita melihat juga imitasi mode tersebut dalam skala mini atau terbata. Gejala ini mencerminkan tingkat kesadaran dari masyarakat golongan bawah mereka mempunyai hak untuk berbuat yang sama dengan golongan atas. Suatu hal yang tabu dilakukan di masa lalu.
Pada gedung-gedung perkotaan yang disewakan (komersial) kita akan menemukan gejala yang agak berbeda. Gedung-gedung tersebut umumnya dibangun dengan penekanan yang kuat dalam ciri pretise. Atribut yang biasanya dikenakan bukan saja kemewahan tapi juga atribut ke-internasionalan, kemodernan dan teknologi tinggi. Pada hal gaya internasional jet-set ini telah mereka tinggalkan untuk bentuk rumah tinggal mereka. Nampaknya ada gejala penerapan standar ganda bagi mereka yaitu di kantor bercitra modern-high technology tapi di rumah bercitra aristokrtis.
Pada gedung-gedung perkantoran pemerintah terdapat cirri yang berbeda. Kemewahan tidak terasa menonjol, meskipun di sana sini terlihat adanya keinginan untuk itu (tapi terhalang biaya), tapi sering terasa adanya keinginan kuat untuk menampilkan citra wibawa. Hal ini terceminkan dari bentuk yang simetris, tempat masuk utama yang ingin megah atau penjagaan yang ditonjolkan. Gejala lain yang sering terasa menyolok adalah penyediaan fasilitas yang menyolok berbeda antara pejabat tinggi dengan segenap bawahannya.
Selain itu disediakan untuk publik selalu sangat minim, terbatas pada loby di tempat masuk utama dan di lorong-lorong. Gejala-gejala tersebut mengungkapkan sikap aparat pemerintahan yang berorientasi pada status penguasa dan adanya sikap yang feodalistik antara atasan dan bawahan.
Arsitektur adalah produk dari kebudayaan
Kalau seseorang dapat menerima bahwa arsitektur adalah wadah kegiatan. Tidaklah sukar untuk mengerti anggapan pada butir ini. Selama diikuti dengan pngertian bahwa arsitektur adalah bagian dari kebudayaan (dan saling mempengaruhi). Kita akan lebih mudah mengamati kejadian-kejadian di masyarakat. Kesulitan akan timbul bila di sertai dengan pendapat bahwa arsitektur adalah “hardware” sedangkan kebudayaan adalah “software”.
Dalam dunia computer hal ini dapat dipahami,namun tidak di dunia bangunan. Arsitektur dalam dunia bangunan sudah menyimpan “program-program” tertentu yang sewaktu waktu dapat “dimainkan”. “program-prpgram ini pada saat tertentu dapat menghasilkan penampilan yang bersuasana gembira,khusus,atau bahkan mendirikan bulu roma”.
Arsitektur adalah “Alat Ungkap” dari Kehidupan Masyarakat
Tersirat dalam anggapan ini adalah bahwa arsitektur juga merupakan media komunikasi bagi masyarakatnya. Sebelum diketemukannya alat cetak, semua benda buatan manusia menjadi “buku” untuk menitipkan pesan-pesan social. Paradigma nilai-nilai, moral, dan lain-lain adalah pesan yang harus dimengerti oleh anggota masyarakat.
Bangunan, sebagai benda terbesar, adalah : “buku dengan format yang ideal” bagi penulisan semacam ini. Makin canggih sebuah masyarakat, makin sarat pula pesannya diletakkan pada bangunannya. Kemajuan teknologi komunikasi telah membebaskan bangunan dari beban-beban diatas. Namun juga demikian masih tetap diakui bahwa bagaimanapunjuga bangunan merupakan media komunikasi yang efektif bagi manusia.