Menu Close

Asal-Usul kota PADANG Prov. Sumatra Barat

Kota Padang adalah kota terbesar di pesisir barat pulau Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km² dengan kondisi geografi berupa daerah perbukitan yang ketinggiannya mencapai 1.853 m dpl. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 833.562 jiwa yang didominasi oleh etnis Minangkabau. Agama yang dianut masyarakat di kota ini mayoritas Islam. 
Sejarah kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui pelabuhan Teluk Bayur. 
Saat ini Kota Padang menjadi pusat perekonomian karena memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat. Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan, disebabkan jumlah perguruan tinggi dan fasilitas kesehatan yang lebih banyak dibandingkan kota atau kabupaten lain di Sumatera Barat. Di kalangan masyarakat Indonesia, nama kota ini banyak dikenal sebagai sebutan lain untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan untuk menyebut masakan khas mereka yang umumnya dikenal sebagai Masakan Padang.
Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata “padang” juga dapat bermaksud pedang. Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat pemukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris pada tahun 1649, kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663 yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak. Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pesisir barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau. Selanjutnya pada tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, sebagaimana diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7 Agustus 1669 terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat diredam oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang. 
Beberapa bangsa Eropa lain juga silih berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada tahun 1781, akibat rentetan Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini. Namun setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini dikembalikan kepada VOC. Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. 
Pada tahun 1833, Residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan 8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami. Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami di pesisir kota Padang dan menyebabkan kerusakan pada kawasan pantai Air Manis.
Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra’s Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang. Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada 1 Maret 1906. 
Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia.[22] Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya.[23] Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum. 
Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus. Namun pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan. 
Pada 9 Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia setelah sebelumnya menjadi negara bagian RIS melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan perluasan wilayah Kota Padang. Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto menetapkan Padang menjadi ibu kota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure pada tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian, setelah menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah Kota Padang sebagai pemerintah daerah.
sumber :

Leave a Reply