Ilmu Waris (Ilmu Faraid) : Pengertian, Hukum Mempelajari, dan Sejarah Ilmu Faraid dalam Pandangan Islam
Kata Waris Berasal dari bahasa arab Miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.
Ilmu yang mempelajari waraisan disebut Ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah faraid. (kata faraid merupakan bentuk jamak dari faraidah, yang artinya semakna dengan mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku kata dari faridah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti, antara lain sebagai berikut :
1. Taqdir, yaitu suatu ketentuan, seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 237 :
…. وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَـــــا فَرَضْتُمْ …..
Artinya :”…….. padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu ……….” (QS. Al Baqarah : 237).
2. Qat’u, yaitu ketetapan yang pasti, seperti dalam firman Allah swt surat An Nisa’ ayat 7 :
….. وَلِنِّسَــــــــاءِ نَصِيْبٌ مِمَّــــا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالاَقْرَبُوْن مِمَّـــا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًـــا
Artinya : “…….. dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peningalan ibu bapak atau kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.” (QS. An Nisa’ : 7)
3. Inzal, yaitu menurunkan, seperti dalam firman Allah swt Surat al Qashash ayat 87 :
اِنَّ الَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاَنَ لَرَادُّكَ اِلَى مَعَـــادٍ ….
Artinya :”Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash : 87).
4. Tabyin, yaitu penjelasan, seperti dalam firman Allah swt Surat at Tahrim ayat 2 :
قَدْ فَرَضَ اللهُ لَكُــــمْ تَحِلَّةَ ايْمَـــانِكُمْ …..
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS. At tahrim : 2)
5. Ihlal, yaitu menghalalkan, seperti firman Allah SWT. Surat al Ahzab ayat 38 :
مَـــاكَـــانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيْمَا فَرَضَ اللهُ لَــهُ ….
Artinya :”Tidak ada suatu kerabatpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.” (QS. Al Ahzab : 38).
6. Ata’, yaitu pemberian seperti semboyan bahasa arab yang berbunyi :
لاَصَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَلاَ قَرْضًا
Artinya :”Sungguh aku telah memperoleh darinya suatu pemberian dan bukan pinjaman.”
Keenam arti tersebut di atas dapat digunakan sebab ilmu faraid mengandung saham-saham atau bagian yang telah ditentukan besar kecilnya dengan pasti dan telah dijelaskan oleh Allah swt tentang halalnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah diturunkan.
Menurut Istilah, maawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Sebagian ulama’ faradiyuun, mendefinisikan ilmu faraid sebagai berikut :
اَلْفِــقْهُ اَلْمُتَعَلِّقُ بِالاِرْثِ وَمَعْرِفَةِ اْلحِسَابِ اَلمُوْصِلِ اِلىَ مَعْرِفَةِ ذِلكَ وَمَعْرِفَةَِ قَدْرِ الوَاجِبِ مِنَ التِّرْكَةِ لِكُلِّ ذِيْ حَقٍّ
Artinya : “Ilmu Fiqih yang bertautkan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.”
Hasbi Ash-Shidieqy, dalam bukunya Fiqih Mawaris mendefinisikan ilmu faraid sebagai berikut :
عِلْمُ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لايَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثً وَكَيْفِيَّةُ التَّوْزِيْعِ
Artinya :Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak berhak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.”
Atau dengan redaksi yang lain :
قَوَاعِدَ مِنَ الفِقْهِ وَالْحِسَابِ يُعْرَفُ بِهَا مَا يَخُصَّ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ فِى التِّرْكَةِ وَنَصِيَْبَ كُلِّ وَارِثٍ مِنْهـَــا
Artinya : “Beberapa kaidah yang terpetik dari fiqih dan hisab untuk mengtahui secara khusus mengenai segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati dan bagian ahli waris dari harta peninggalan tersebut.”
Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain, kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh
Sejarah Singkat Tentang Pewarisan
I. Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
a) Anak laki-laki
b) Sudara laki-laki
c) Paman
d) Anak paman
Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.
Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki
II. Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
a) Adanya pertalian kerabat (القربة)
b) Adanya pengangkatan anak (التبني)
c) Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
III. Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء :٧
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)[3].
sumber:
http://ulumulislam.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ilmu-waris-ilmu-faraid-dalam.html
http://fiqih-fikri.blogspot.co.id/2010/07/ilmu-faraidh-pembagian-harta-waris.html