BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Pluralisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad 20, khususnya di Indonesia. Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali terjadi disharmonis dengan mengatas namakan agama, diantaranya kekerasan sesama umat beragama, maupun kekerasan antarumat beragama. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Indonesia merupakan salah satu negara multi etnis, ras, suku, bahasa, budaya dan agama. Agama-agama dan berbagai aliran tumbuh subur oleh karena itu pemahaman tentang pluralisme agama dalam suatu masyarakat yang demikian majemuk sanagat dubuhkan demi untuk terciptanya stabilitas ketertiban dan kenyamanan umat dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing serta untuk mewujudkan kerukunan antar umat sekaligus menghindari terjadinya konflik sosial yang bernuansa syara’.
Dialog dan komonikasi antar umat beragama merupakan suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh segenap elemen umat beragama, guna untuk menghilangkan kecurigaan, su’udzhan dan untuk menjalin hubungan yang harmonis anatar sesama umat beragama. Agama Islam sangat terbuka dan selalu membuka diri untuk berdialog dengan sesama umat beragama sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah pada periode Madinah, dialog yang dibangun Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah kemudian melahirkan suatu perjanjian yang sangat terkenal yaitu “Piagam Madinah”
1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan kita pada makalah ini tidak lari dari sub judulnya, ada baiknya penyusun merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini. Antara lain :
ü Hubungan Islam dengan Agama lain
ü Pandangan Islam tentang Metafisik tentang agama lain
ü Pandangan Islam tentang Teologi tentang agama lai
1.3 Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan penulis dalam menyusun makalah ini, antara lain :
ü Agar mahasiswa mengetahui hubungan agama Islam (yang haq) dengan agama-agama lainnya.
ü Mahasiswa mampu menerangkan pandangan Islam tentang Metafisik & Teologi tentang agama lain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Islam dan Agama Lain
2.1.1 Pengertian Islam
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sedangkan Islam menurut istilah adalah agama yang diturunkan oleh Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad supaya disebarkan keseluruh manusia.[1]
2.1.2 Macam-macam Agama di dalam al-Qur’an
Di dalam Al-Quran Allah memberikan kriteria bahwa setiap “agama” mestilah mempunyai keyakinan akan adanya suatu “masa” atau suatu “keadaan” dimana manusia memperoleh “balasan” dari apa yang ia lakukan. Konsep tentang kebaikan dan kejahatan secara konsisten diikuti dengan konsep surga dan neraka. Inilah ciri penting dari semua agama. Tanpa kesadaran ini tentu agama akan menjadi tanpa tujuan.
Fungsi agama sebagai alat untuk menciptakan perbaikan dan peradaban diungkap al-Quran dengan kata kunci القيم . Agama “yang lurus” adalah agama yang mampu membuat manusia tidak melakukan kerusakan, baik di darat maupun di laut. Dan manusia yang dapat menciptakan perbaikan dan peradaban adalah mereka yang secara tulus berorientasi kepada “kesatuan” dan “keharmonisan” (tauhid), sebaliknya manusia yang selalu melakukan kerusakan dan perpecahan (musyrik) disebut sebagai tidak beragama (kafir).[2] Agama yang lurus adalah agama yang cocok dengan fitrah manusia dan mengangkat harkat kemanusiaan-manusia, yakni agama yang difahami bukan hanya melalui nurani yang paling dalam dan bening, tetapi diiringi dengan pengetahuan yang cerdas serta diikuti dengan kesadaran untuk bersih dari segala dosa dan kesalahan serta penuh harapan akan anugerah Tuhan, kemudian ditambah lagi dengan senantiasa berkomunikasi kepada Tuhan.[3]
Kitab suci al-qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan stuasi keagamaan yang pluralistik (plural-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad saw. menjalankan misi profetkinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga di antaranya yang sangat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh al-qur’an dalam berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.[4]
Kedatangan al-qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta-merta menolak agama-agama yang berkembang pada saat itu, tapi al-quran mengakui dan membenarkan agama-agama yang datang sebelum al-qur’an diturunkan.[5] Bahkan lebih jauh dari itu al-qur’an juga mengakui akan keutamaan umat-umat terdahulu sebagaimana firman Allah :
“Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu)”.[6]
2.1.3 Pengakuan Al-Qur’an Terhadap Agama lainnya
Pengakuan terhadap plurlisme atau keragaman agama dalam al-qur’an, ditemukan dalam banyak terminolgi yang merujuk kepada komonitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab, utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya.[7] Al-qur’an disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebeasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi. Karena memang pada dasarnya tiga agama yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah bersudara, kakak adek, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as.[8] Pengakual al-Qur’an terhadap agama lain, diantaranya berdasarkan firman Allah swt, yang berbunyi :
“Dan Sesungguhnya diantara ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”.[9]
Menurut riwayat Jabir Ibn Abd Allah, Anas, Ibn Abbas, Qatadah da al-Hasan, teks surat Ali Imran ayat 199 di atas, turun berkenaan dengan kematian raja Najasyi dari Habsah. Pada saat kematian raja Najasyi, Nabi menyuruh kepada sahabatnya untuk melaksanakan shalat jenazah. Para sahabat saling membicarakan kenapa Rasul menyuruh untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja kafir (ateis). Maka turunlah ayat di atas untuk menegaskan spritualitas sebagian ahli Kitab.[10] Al-qur’an juga secara eksplisit mengakaui jaminan keselamatan bagi komonitas agama-agama yang termasuk Ahl al-Kitab (Yahudi, Nasrani, Shabi’in); sebagaimana dalam Firman nya :
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[11], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.[12]
Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya menjelaskan: Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memnuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas itu mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh.[13]
Akan tetapi untuk sekarang dan sampai hari kiamat, agama yang di akui oleh Allah swt, adalah agama Islam, berdasarkan firman nya yang berbunyi :
4
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.[14]
Dan Allah juga telah berfirman, “ sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah adalah agama Islam.
2.2 Pandangan Metafisik & Teologi agama-agama lain
2.2.1 Pengertian Metafisik & Teologi
Metafisika berasal dari bahasa Yunani meta “setelah atau di balik”, dan phúsika “hal-hal di alam”, adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Secara bahasa, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Teologi dimiliki oleh semua agama. Sebab, tidak ada agama yang tidak memiliki Tuhan. Dalam ajaran islam istilah teologi sering disamakan dengan ‘ilmu al-kalam, karena di dalamnya berisi tentang konsep ketuhanan. Dan kadang juga disepadankan dengan ‘ilmu at-tauhid dan ‘ilmu ushul ad-din, akan tetapi pada intinya semua membicarakan tentang konsep ketuhanan islam.[15]
Kemunculan teologi senantiasa terkait dengan usaha merespons permasalahan umat yang sedang terjadi saat itu. Maka, latar belakang sosial, politik dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi islam. Teologi islam ternyata tak berhenti sampai tangan Ghozali saja. Di tangan cendikiawan muslim semacam Nurkholis Majid , Djohan Effendy, dll theologi islam dihadapkan pada problem sosial yang baru yaitu pluralitas.[16]
Bagaimana islam memandang agama lain?
Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat islam tatkala kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Oleh karena itu, sejatinya, teologi islam didialogkan dengan pluralitas agama, dengan kata lain umat islam perlu mendefinisikan diri di tengah agama lain, agar tidak terjadi pelontaran lebel “kafir” dengan gampang.[17]
2.2.2 Pandangan Islam tentang Metafisik & Teologi dalam agama-agama lain
Prinsip metafisika dalam Islam berbeda dengan agama lain. Dalam agama Kristen misalnya, alam dianggap sebagai makhluk Tuhan yang pernah sempurna, akan tetapi kemudian rusak dalam “kejatuhan” dan dengan demikian menjadi jahat. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi alasan penebusan dosa yang dilakukan Yesus dengan cara disalib.[18]
Adapun dalam Islam, alam dipandang sebagai ciptaan dan anugerah. Hal ini lahir dari pandangan tauhid, di mana Allah yang merupakan satu-satu-Nya Tuhan yang berhak disembah merupakan Pencipta alam raya ini. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah, alam merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Pandangan Islam tentang Metafisik dengan agama-agama lain nya, sangatlah berbeda terlebih-lebih dalam aspek Tauhid.[19]
Kita telah ketahui bahwa teologi adalah ilmu tentang ketuhanan yang berisikan tentang konsep ketuhanan. Dalam tradisi keilmuan Islam terhitung sangat baru sekali. Ilmu ini dipopulerkan di Indonesia sejak Harun Nasution memasukkannya menjadi mata kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sejak tahun 1975. Berbeda dengan ilmu Tauhid, yang hanya mengajarkan “cara bertuhan” atau “cara beriman” menurut satu model atau satu aliran pemikiran saja, yang oleh seorang guru Tauhid saat itu di pandang sebagai “doktrin”, tetapi Teologi, mengajarkan “banyak cara menuju Tuhan”.
Alam dalam paham agama lain, ada yang menganggap tidak memiliki unsur teolologis, karena ia tidak memiliki pencipta dan oleh karena itu alam bersifat netral. Alam dianggap ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuat. Begitu juga adanya makhluk hidup di bumi (termasuk manusia). Manusia dan makhluk hidup lainnya dianggap bisa bertahan dan hidup di bumi karena terdapat seleksi alam, yaitu yang dikenal dengan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882). Adapun kejadian-kejadian di alam terjadi karena adanya hubungan sebab akibat. Jadi kesimpulannya, alam dianggap tidak memiliki unsur teleologis karena alam ada dengan sendirinya tanpa pencipta.[20]
Hal di atas bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, tatanan alam bukanlah semata-mata tatanan material seputar sebab-sebab dan akibat-akibat. Bukan pula hanyalah tatanan yang oleh ruang dan waktu serta kategori-kategori teoritis lain semacam itu membuat kejelasan pada pemahaman kita. Akan tetapi alam juga merupakan lapangan tujuan-tujuan di mana segala sesuatu memenuhi suatu tujuan dan dengan cara demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan keseimbangan segalanya.
Dari sebutir kerikil yang tak bernyawa di lembah, pohon-pohon, ikan paus dan gajah segala sesuatu yang ada, melalui kelahiran dan pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi suatu tujuan yang telah ditetapkan untuknya oleh Tuhan. Semua makhluk saling bergantung satu sama lainnya dan berjalan lancar karena adanya keselarasan yang sempurna di antara bagian-bagiannya.[21]
Masing-masing unsur ciptaan saling menghidupi yang lainnya dan dihidupi oleh pihak yang ketiga (Allah). Sebagai sebuah sistem teologi, dunia menyuguhkan kepada kita suatu tontonan yang agung. Ukuran dan keluasan makrokosmos, rincian yang sulit dari mikrokosmos, serta sifat mekanisme keseimbangan yang sempurna dan tak terbatas kerumitannya, menjadikan kita tercengang dan terpukau. Dan, orang yang baik keimanannya dan (ulul Albab) akan mengucapkan kalimat pengangungan kepada Allah dan menyadari bahwa Allah-lah sang Pencipta dan segala ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia. Dalam hal ini Allah berfirman: “Ulil Albab adalah orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk atau sedang berbaring dan memikirkan tentang penciptaan dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, Tidaklah sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Mah asuci engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.
Karena dunia sebagai ciptaan dari Yang Maha Kuasa adalah indah dan benar-benar mulia dikarenakan teleologinya. Ungkapan kagum seorang penyair, “Betapa indahnya bunga mawar! Padanya Nampak wajah Tuhan!” tidak mempunyai arti lain kecuali bahwa bunga mawar itu memenuhi tujuan manusia dan serangga melalui bau dan keindahannya bentuknya. Tujuan dan yang telah dikaruniakan Tuhan (Allah) kepadanya dan yang dipenuhinya dengan sempurna, yang mencerminkan, bagi mereka yang mampu melihatnya, efektifitas yang cemerlang dan keterampilan yang sempurna dari Perancang dan Pencipta agung, yaitu Tuhan (Allah). Teologi yang berkembang di kalangan umat Islam dapat di bedakan menjadi dua, yaitu teologi eksklusif dan teologi pluralis.
Teologi eksklusif mendorong penganutnya menutup diri terhadap relasi sosial dengan pemeluk agama lain. Didasari pandangan bahwa non-muslim sesat, jahat, dan senantiasa ingin merusak umat Islam. Berdasarkan firman Allah ;
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”[22]
Teologi pluralis mendorong pemeluknya bersikap terbuka terhadap kelompok dari agama lain (non Muslim). Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat.
Pluralisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang untuk saling menghargai, menghormati, dan kerjasama.
Teologi pluralis yang dikandung ajaran Islam menganut prinsip-prinsip moderat. Penegakkan kebenaran harus dilakukan dengan jalan kebenaran pula, bukan dengan kekerasan. Kemauan untuk menghormati agama lain adalah perwujudan sikap moderat. Sikap moderat seperti ini tidak berarti kita tidak konsisten terhadap agama, melainkan penghormatan akan hak seseorang.
Teologi pluralis memiliki semangat mencari kebenaran dan mendialogkannya. Pantang menggunakan kekerasan dalam menegakkan kebenaran. Lebih besikap terbuka ketimbang keras kepala, baik untuk menerima kebenaran yang ada dalam agama non Islam maupun bersama-sama membangun sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Belakangan ini kita sering melihat aksi-aksi Islam Fundamentalis yang bersikap Intoleran dan selalu berpikir bahwa makin bersikap ekstrem dan anti sosial maka makin dekat kita pada Tuhan dan sorga. Tentu ini sangat bertentangan dengan sikap yang ditunjukan oleh Rasullullah. Rasullullah pernah menyuapi dengan kasih sayang seorang Yahudi tua buta yang tiap hari selalu memfitnah dan menghinanya. Bahkan Rasullullah pernah mendapat lemparan batu dan kotoran, tetapi beliau justru tetap sabar dan mendoakan supaya mereka diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Begitu juga dengan Ali Bin Abi Thalib yang terpaksa telat mengikuti sholat berjamaah karena sepanjang jalan ke masjid beliau tidak ingin melewati seorang Yahudi tua yang sedang berjalan.
Sikap pluralis jauh dari itu semua, bahkan sebaliknya, mempromosikan toleransi dan kerjasama. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi. Sejak awal (periode rasul saw), Islam senantiasa menganjurkan untuk merangkul umat non muslim bekerjasama membangun masyarakat. Maka dengan sendirinya Islam mempromosikan perdamaian, bukan kekerasan.[23]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Agama dengan ungkapan ad-dîn dalam al-Quran bukan hanya mengungkapkan aspek teologis normatif yang tidak dapat diungkap dengan perasaan, tetapi lebih dari itu, bahwa agama itu dapat menampak dalam wujud ekspresi, sikap, ketaatan, kepatuhan sosial, dan keharmonisan alam, tetapi manusia sebagai makhluk religius merupakan pusat pembicaraan.
Tauhid sebagai landasan keimanan seorang muslim menjadi asas dalam prinsip metafisika dan Teologi. Al-Qur’an kitab suci yang diturunkan oleh Allah untuk di turunkan kepada nabi Muhammad agar disampaikan kepada seluruh manusia juga menceritakan tentang kebenaran agama-agama sebelumnya.
3.2 kritik dan Saran
Allah Maha mengetahui apa yang terjadi. Islam yang merupakan syariah Allah telah mengatur secara keseluruhan aktifitas manusia maupun benda yang digunakan sebagai pemuas kebutuhan manusia, baik kebutuhan naluri maupun jasmani. Allah telah memaparkan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pemaparan yang komprehensif, untuk menjelaskan status hukum bagi setiap perkara yang akan terjadi, baik yang menyangkut perbuatan manusia maupun benda yang digunakan oleh manusia.
Oleh karena itu, kaum muslim yang meyakini kebenaran Allah dan rasul-Nya tak perlu lagi ragu untuk mengambil pemikiran Islam sebagai pemikiran dan pemahamannya yang akan berguna baginya untuk memandu pandangan, sikap, dan perilakunya dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Karena Islam adalah pemikiran yang tertinggi dan tidak ada yang melebihnya.
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Tarmizi Taher, pluralisme islam, harmonisasi agama, Yogyakarta : Jarsa Rezeki, 2004.
Max Waber, sosioligi agama, 1962. diterjemahkan oleh Samsul Bahri, Yogyakarta : Irsyad Press,2002.
http:/en.wikipedia.org/wiki/Teleology
[1] Lihat http:/en.wikipedia.org/wiki/Teleology
[2] Al-Qur’anul Karim, surah ar-Rum, ayat 41-44
[3] Al-Qur’anul Karim, Surah ar-Rum ayat 30-31
[4] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989, hal : 67
[5] Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal : 109
[6] Al-Qur’anul Karim, surah al-Baqarah ayat 47
[7] Hasan Ibrahim Hassan, hal : 69-71
[8] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989, hal : 75
[9] Al-Qur’anul Karim, Surah Ali Imran ayat 199
[10] Hasan Ibrahim Hassan, hal : 75-76
[11] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu. Di dalam Tafsir Jalalain
[12] Al-Qur’anul Karim, Surah al-Baqarah ayat 62
[13] Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal : 111
[14] al-Qur’anul Karim, Surah al-Maidah ayat 3
[15] Tarmizi Taher, pluralisme islam, harmonisasi agama, Yogyakarta : Jarsa Rezeki, 2004, hal : 31
[16] Ibid, hal 32
[17] Max Waber, sosioligi agama, 1962. diterjemahkan oleh Samsul Bahri, Yogyakarta : Irsyad Press,2002, hal:205
[18] Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal : 78
[19] Komaruddin Hidayat dan Ahmad, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal : 91
[20] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989, hal : 81
[21] Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, diterjemahkan oleh Djah dan Humam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989, hal : 81-82
[22] Al-Qur’anul karim, surah al-Baqarah ayat 256
[23] Tarmizi Taher, pluralisme islam, harmonisasi agama, Yogyakarta : Jarsa Rezeki, 2004, hal : 35-37
sumber:http://rudisiswoyo89.blogspot.co.id/2013/11/islam-dan-agama-lain.html