BAB I
MATEMATIKA: HAKEKAT, NILAI
DAN PERANANNYA
Matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Oleh karena itu penguasaan terhadap matematika mutlak diperlukan dan konsep-konsep matematika harus dipahami dengan betul dan benar sejak dini. Hal ini karena konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab akibat. Suatu konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan menjadi dasar bagi konsep-konsep selanjutnya, sehingga pemahaman yang salah terhadap suatu konsep, akan berakibat pada kesalahan pemahaman terhadap konsep-konsep selanjutnya.
Sepintas lalu konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD) sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang sepele. Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep-konsep tersebut, agar siswa mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa selanjutnya. Misalnya, jika sejak semula dalam suatu gambar segitiga guru selalu menunjuk bahwa alas suatu segitiga adalah sisi yang berada di bagian bawah dan tinggi selalu ditunjukkan oleh segmen garis vertikal yang tegak lurus terhadap sisi alas dan berujung di titik sudut di atas sisi tersebut, maka untuk selanjutnya siswa akan terus melakukan hal serupa. Apabila dalam suatu ilustrasi
segitiga tidak ada sisi yang mendatar, maka siswa akan kebingungan untuk menentukan sisi alasnya, sebab siswa telah menangkap pengertian alas sebagai sisi segitiga yang horizontal dan berada di bawah. Berkenaan dengan konsep alas sebuah segitiga, sebenarnya ketiga sisinya memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sisi alas, dan tinggi segitiga ditunjukkan oleh jarak antara garis yang melalui sisi alas dengan garis yang sejajar sisi alas dan melalui titik sudut di hadapan sisi alas. Dengan demikian, sisi alas sebuah segitiga tidak harus selalu sisi bagian bawah dan tinggi segitiga juga tidak selalu harus ditentukan oleh segmen garis vertikal, sebab tinggi segitiga tergantung pada penetapan sisi alas. Sebagaimana contoh pada gambar 1.1, dalam segitiga ABC, jika sisi alasnya adalah AB maka tingginya adalah CX, jika sisi alasnya BC maka tingginya adalah AY, dan jika sisi alasnya adalah AC maka tingginya adalah BZ.
Gambar 1.1 Sisi alas dan tinggi pada segitiga ABC
Contoh lain yang masih berkaitan dengan konteks harafiah sebuah istilah adalah pada konsep persegipanjang. Banyak yang berpandangan bahwa panjang
3
suatu persegipanjang selalu lebih panjang daripada lebarnya. Apabila diketahui sebuah persegipanjang dengan panjang sisi-sisinya adalah 10 cm dan 8 cm, maka banyak siswa yang akan menetapkan sisi dengan ukuran 10 cm sebagai panjangnya dan sisi dengan ukuran 8 cm sebagai lebarnya. Pematokan konteks harafiah terhadap istilah panjang dan lebar pada sebuah persegipanjang tersebut bisa menjadi sebuah pertanyaan bagi siswa manakala mereka dihadapkan pada masalah nyata di sekitarnya. Misalnya, jika kita pergi ke toko kain, maka si penjual hanya akan menanyakan berapa panjang kain yang dibutuhkan, sebab lebar kain sudah ditetapkan, misalnya 1,5 m. Apabila kita membeli kain dengan panjang 1 m, maka kita akan mendapatkan kain berbentuk daerah persegipanjang dengan panjang 1 m dan lebar 1.5 m. Berdasarkan contoh riil tersebut, ternyata “panjang” dari sebuah persegipanjang bisa lebih pendek daripada “lebarnya”. Oleh karenanya dalam konsep persegipanjang, istilah panjang dan lebar tidak perlu dideterminasikan secara harafiah, sebab istilah tersebut dimunculkan sebagai variabel untuk membedakan ukuran dari sisi-sisi sebuah persegipanjang.
p l
l p
Gambar 1.2 Panjang dan lebar pada persegipanjang
Siswa yang tidak mendapatkan konsep perkalian bilangan bulat secara benar pada waktu di sekolah dasar, akan berpandangan bahwa konsep 2 x 3 sama
4
dengan 3 x 2. Fakta 2 x 3 = 3 x 2 sebenarnya hanya merupakan kesamaan pada tataran hasil komputasi saja, dan kondisi ini menunjukkan berlakunya sifat pertukaran (komutatif) dalam perkalian bilangan bulat. Konsep 2 x 3 berbeda dengan konsep 3 x 2, sebab 2 x 3 = 3 + 3 dan 3 x 2 = 2 + 2 + 2. Ilustrasi yang paling jelas untuk konsep ini adalah resep dokter atau aturan pemakaian suatu obat. Biasanya pada kemasan suatu obat dituliskan aturan pemakaiannya, misalnya diminum 3 x 1 tablet sehari. Hal ini tidak menunjukkan bahwa obat tersebut diminum sekaligus 3 tablet dalam sekali pemakaian, tetapi memberikan suatu indikasi bahwa pemakaian obat tersebut dalam sehari adalah pagi 1 tablet, siang 1 tablet dan sore 1 tablet, sehingga 3 x 1 memiliki pengertian 1 + 1 + 1.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa konsep-konsep matematika harus diberikan secara benar sejak awal siswa mengenal suatu konsep, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya. Apabila ada suatu konsep yang diberikan secara salah, maka hal ini harus sesegera mungkin diperbaiki agar tidak menimbulkan kesulitan bagi siswa di kemudian hari.
Pemahaman suatu konsep matematika secara benar mutlak diperlukan oleh seorang guru atau calon guru sebelum mereka mulai mengajarkan pada siswanya. Upaya ini sangat mendesak untuk dilakukan, khususnya terhadap para mahasiswa PGSD yang nantinya akan mengajarkan konsep-konsep awal matematika pada siswa sekolah dasar. Sebagai gambaran dari pemahaman para mahasiswa D-II PGSD terhadap beberapa konsep matematika, berikut disampaikan suatu contoh kasus. Sebagaimana pengalaman penulis mengajar mata kuliah Matematika pada
5
program studi D-II PGSD, masih banyak mahasiswa yang tidak paham perbedaan pengertian antara a x b dengan b x a. Mereka umumnya menyatakan bahwa keduanya sama dengan alasan bahwa operasi perkalian bilangan bulat bersifat komutatif. Mereka kurang menyadari bahwa sifat komutatif di sini hanya berorientasi pada hasil, sedangkan secara konsep keduanya berbeda. Ketidakpahaman ini disebabkan antara lain karena mereka mengabaikan konsep perkalian dan berpandangan bahwa yang penting sudah menguasai teknik perkalian itu sudah cukup bagi mereka. Jika seorang calon guru SD sudah berpandangan demikian, lalu bagaimana mereka dapat mengajarkan konsep matematika dengan benar nantinya. Pemahaman yang terbatas terhadap konsep alas dan tinggi dalam segitiga serta terhadap konsep panjang dan lebar dalam persegi panjang, sebagaimana telah dicontohkan di atas, juga dialami oleh banyak mahasiswa. Parahnya lagi ada yang berpandangan bahwa persegi berbeda dengan persegipanjang sebab semua sisi pada persegi ukurannya sama sedangkan pada persegipanjang tidak. Hal ini akhirnya membuat mereka memasukkan persegi dan persegipanjang pada kelas yang berbeda, padahal sebenarnya himpunan persegi merupakan himpunan bagian pada himpunan persegipanjang. Kasus-kasus semacam ini semakin bertambah banyak manakala matematika sudah menginjak pada konsep bilangan rasional dan pecahan, konsep bangun datar dan ruang, dan sebagainya. Masih banyak mahasiswa D-II PGSD yang ternyata tidak memahami perbedaan antara bilangan rasional dan pecahan; banyak juga yang belum memahami mengapa pada teknik pembagian pecahan sama dengan perkalian kebalikannya; banyak juga yang tidak mengetahui perbedaan antara sudut dan
6
titik sudut pada bangun ruang; dan bahkan yang lebih ironis, masih banyak mahasiswa yang menganggap sama antara bilangan dan angka. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka dipandang perlu memberikan sumber belajar yang cukup bagi para guru atau calon guru SD, khususnya mahasiswa program PGSD, yang akan membantu mereka untuk dapat memahami konsep-konsep matematika dengan benar.
Pada dasarnya, seorang guru matematika pada Sekolah Dasar harus menguasai konsep-konsep matematika dengan benar dan mampu menyajikannya secara menarik, karena menurut teori perkembangan kognitif Piaget, perkembangan kognitif siswa SD berada pada tingkat operasional formal, yakni siswa akan mampu memahami suatu konsep jika mereka memanipulasi benda-benda kongkrit. Berangkat dari standar kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru matematika SD dan inisiatif untuk memberikan bekal yang cukup bagi para mahasiswa PGSD khususnya dalam memahami dan menyajikan konsep-konsep matematika secara benar dan menarik, maka buku dengan judul “Memahami Konsep Matematika Secara Benar dan Menyajikannya dengan Menarik” ini disusun.
Secara garis besar beberapa hal yang perlu dipahami oleh para guru atau calon guru SD dalam rangka mempersiapkan pembelajaran matematika sudah barang tentu berkenaan dengan konsep-konsep dasar matematika, analisis substansi materi matematika dalam kurikulum SD dan proses pembelajarannya. Hal pertama yang perlu dipahami berkenaan dengan pengkajian terhadap konsep-konsep dasar matematika tersebut adalah masalah penalaran. Materi ini sengaja
7
disetting mendahului materi-materi lainnya karena penalaran merupakan landasan untuk mempelajari konsep-konsep matematika selanjutnya. Bagaimana pola berpikir yang benar dan alat apa yang diperlukan dalam belajar matematika perlu dipahami terlebih dahulu oleh seseorang yang akan belajar matematika. Selain memahami penalaran dalam matematika, seorang guru perlu melakukan analisis terhadap masalah penalaran yang ada dalam materi matematika SD serta bagaimana mengarahkan siswa SD untuk bernalar dengan benar.
Setelah memiliki pemahaman yang cukup mengenai penalaran dalam matematika, maka hal selanjutnya yang perlu dipahami adalah tentang himpunan dan fungsi. Konsep himpunan dan fungsi merupakan konsep dasar dari semua obyek yang dipelajari dalam matematika. Pada saat seseorang belajar matematika, baik pada tingkat dasar maupun lanjut, disadari atau tidak, ia harus selalu berhadapan dengan himpunan dan fungsi. Sebagai contoh, jika seorang siswa belajar operasi penjumlahan bilangan bulat, maka dia sudah berhadapan dengan himpunan bilangan bulat, sehingga semua proses yang akan dilakukan harus berada dalam scope himpunan ini; sedangkan operasi penjumlahan yang dipergunakan merupakan sebuah operasi biner, yakni suatu fungsi yang akan memetakan setiap pasang bilangan bulat (a,b) dengan suatu bilangan bulat a+b. Atau pada tingkat lanjut, jika seseorang belajar integral, maka umumnya dia akan berhadapan dengan himpunan bilangan riil; dan integral yang dipergunakan merupakan suatu fungsi yang akan memetakan sebuah fungsi riil kepada fungsi riil lain yang merupakan integrasinya. Dengan demikian himpunan dan fungsi
8
merupakan hal mendasar yang perlu dipahami oleh seseorang yang belajar matematika sebelum dia mempelajari konsep-konsep lainnya.
Konsep dasar yang mendapat porsi terbanyak dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah konsep yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan. Masalah persamaan dan pertidaksamaan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh siswa pada saat berlatih komputasi, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Pada masalah penjumlahan bilangan cacah misalnya, siswa dituntut untuk mendapatkan nilai fungsi yang tepat dari suatu pasang bilangan cacah (a,b), dalam hal ini siswa harus dapat menentukan suatu bilangan cacah c yang nilainya sama dengan a+b. Demikian pula dengan masalah pertidaksamaan, dengan landasan yang kuat pada konsep kurang dari atau lebih dari, siswa akan mudah mengerjakan berbagai operasi hitung.
Selain penguasaan terhadap masalah operasi hitung bilangan, hal lain yang juga perlu dikembangkan pada diri siswa sekolah dasar adalah pengembangan daya tilik bidang dan ruangnya, yakni dengan menyajikan materi unsur-unsur, bangun-bangun dan transformasi geometri. Bagi seorang guru atau calon guru SD yang akan mengajarkan materi bangun datar, simetri, dan bangun ruang, perlu memiliki pemahaman yang cukup terhadap konsep-konsep pangkal dan aksioma yang ada dalam geometri dan transformasinya. Hal ini sangat diperlukan agar merekapun dapat menyajikan konsep-konsep geometri yang benar bagi siswanya.
Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk menghadapi materi-materi
9
matematika pada tingkat pendidikan lanjutan. Selain penguatan terhadap konsep-konsep matematika seperti yang sudah disebutkan di atas, maka diperlukan juga pengenalan pada konsep-konsep lanjutan seperti peluang, statistika dasar dan pemecahan masalah.
Sebelum memulai pembahasan mengenai substansi matematika dan pembelajarannya, maka sebaiknya dipahami lebih dahulu tentang hakekat matematika, nilai-nilai yang terkandung dalam matematika, serta peranan matematika di sekolah dasar.
A. Hakekat Matematika
Banyak pendefinisian tentang matematika; ada yang mendefinisikan bahwa matematika adalah ilmu pasti; ada yang menyatakan bahwa matematika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi; ada yang mendefinisikan matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang penalaran logis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan; dan ada juga yang menyatakan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan tentang kuantitas dan ruang. Semua pendefinisian tersebut tidaklah salah karena masing-masing memiliki latar belakang tinjauan tersendiri terhadap matematika. Namun demikian, di balik begitu banyaknya pendefinisian tentang matematika, satu hal yang perlu dipahami dari matematika adalah hakekatnya.
Apabila kita amati, obyek utama dalam matematika adalah himpunan dan fungsi. Pada waktu di sekolah dasar siswa dikenalkan pada bilangan dan operasinya: penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Secara tidak
10
langsung siswa diajak untuk mengamati karakteristik sebuah himpunan, baik himpunan bilangan cacah maupun himpunan bilangan bulat. Sedangkan operasi-operasi yang diaplikasikan terhadap bilangan-bilangan tersebut merupakan fungsi yang diterapkan pada himpunan bilangan tersebut. Pada siswa juga dikenalkan bangun-bangun geometri, baik bangun datar maupun bangun ruang. Disini siswa diajak untuk mengenali sifat dan karakteristik dari elemen-elemen pada himpunan bangun-bangun geometri, sedangkan transformasi geometri, seperti pencerminan, pergeseran, dan perputaran, merupakan fungsi yang dijalankan dalam himpunan bangun-bangun geometri tersebut. Demikian juga dalam statistika, siswa dihadapkan pada himpunan benda-benda dan menyajikannya baik dalam tabel maupun grafik yang mengkaitkan himpunan benda-benda tersebut dengan jumlahnya. Misalnya siswa diminta untuk mengamati macam dan jumlah kendaraan yang melintas di jalan depan sekolah mulai jam 09.00 sampai jam 09.15. Dengan tugas ini siswa akan mengelompokkan kendaraan menurut macamnya, misalnya sepeda, becak, sepeda motor, mobil roda empat, truk, dan bus. Selanjutnya siswa akan melakukan pengamatan terhadap himpunan kendaraan tersebut berkenaan dengan jumlahnya masing-masing. Dengan menyajikan laporannya, baik berupa tabel maupun grafik, siswa sudah mendeskripsikan sebuah fungsi yang memetakan himpunan kendaraan ke himpunan bilangan cacah. Demikian juga pada pembahasan konsep-konsep matematika pada tingkat lanjut, obyek penelaahannya tetap berupa himpunan dan fungsi.
11
Himpunan dan fungsi dalam matematika bukanlah obyek yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan mereka berkolaborasi membentuk sebuah sistem matematika. Setiap sistem matematika memiliki struktur tersendiri yang masing-masing terbentuk melalui pola penalaran secara deduktif dengan alat berpikir kritis yang digunakan adalah logika matematika.
Pembentukan suatu sistem melalui penalaran deduktif diawali dengan penetapan beberapa unsur yang tidak didefinisikan yang disebut dengan konsep pangkal. Konsep pangkal ini diperlukan sebagai sarana komunikasi untuk menyusun pernyataan-pernyataan selanjutnya, baik berupa definisi, aksioma maupun teorema. Suatu contoh misalnya dalam pembentukan sistem geometri, diawali dengan penetapan sebuah konsep pangkal yakni titik. Sebagai konsep pangkal, titik tidak didefinisikan, tetapi semua orang akan memiliki sebuah gambaran yang sama bagaimana konsep titik tersebut. Menggunakan konsep titik kemudian dapat dibangun konsep tentang garis (lurus), yakni melalui dua titik yang berbeda dapat dibuat satu buah garis. Selanjutnya konsep garis digunakan untuk menyusun definisi-definisi selanjutnya, seperti sinar garis, setengah garis, dan ruas garis. Konsep sinar garis dan titik, kemudian digunakan untuk menyusun definisi tentang sudut dan titik sudut. Konsep titik juga digunakan untuk mendefinisikan kurva. Semua unsur geometri tersebut kemudian digunakan untuk membangun bangun-bangun geometri, baik bangun-bangun datar maupun bangun-bangun ruang. Dalam rangkaian proses tersebut kemudian juga muncul teorema-teorema sebagai hasil analisa terhadap sifat-sifat unsur-unsur tersebut,
12
yang pada akhirnya membangun sebuah sistem geometri, seperti sistem geometri Euclid sebagaimana yang kita jumpai sekarang ini.
Berkenaan dengan penyusunan suatu sistem matematika, seringkali juga melalui proses abstraksi dan generalisasi. Misalnya dalam pembentukan sebuah sistem aljabar seperti grup. Diawali dengan pengamatan terhadap himpunan-himpunan kongkrit beserta operasi biner yang didefinisikan di dalamnya, misalnya himpunan bilangan bulat dengan operasi penjumlahan, himpunan fungsi riil dengan operasi komposisi fungsi, himpunan matriks 2 x 2 berentri riil dengan operasi penjumlahan matriks, himpunan bilangan rasional dengan operasi penjumlahan, himpunan bilangan riil dengan operasi perkalian, himpunan polinom dengan operasi penjumlahan polinom, himpunan matriks invertible 5 x 5 dengan operasi perkalian matriks, dan sebagainya. Melalui pengkajian terhadap karakteristik himpunan-himpunan tersebut, maka dihasilkan sifat-sifat yang sama, yakni:
semua operasi yang didefinisikan pada himpunan-himpunan tersebut bersifat tertutup; artinya operasi dari setiap dua elemen dalam suatu himpunan akan menghasilkan elemen yang juga tetap berada dalam himpunan yang sama;
semua operasi yang didefinisikan pada himpunan-himpunan tersebut bersifat asosiatif;
pada setiap himpunan tersebut terdapat elemen identitas; artinya ada sebuah elemen sedemikian hingga untuk setiap elemen dalam himpunan tidak akan berubah nilainya apabila dioperasikan dengan elemen tersebut;
[G,*]
13
setiap elemen dalam setiap himpunan memiliki invers; artinya untuk setiap elemen dalam suatu himpunan, ada suatu elemen yang juga berada dalam himpunan yang sama sedemikian hingga apabila mereka
dioperasikan akan menghasilkan elemen identitas.
Irisan sifat-sifat inilah yang kemudian dipergunakan untuk membentuk sebuah sistem aljabar abstrak yang terdiri dari sebuah himpunan G dan operasi * yang didefinisikan dalam G, yang memenuhi aksioma-aksioma:
tertutup: yakni untuk setiap a, b G , maka a *b G ;
asosiatif: yakni untuk setiap a, b, c G , berlaku a *(b *c) (a *b) *c ;
identitas: yakni ada sebuah elemen e G , sedemikian hingga untuk setiap
a G , berlaku a *e e * a a ; selanjutnya e disebut elemen identitas;
4. invers: yakni untuk setiap a G , ada b G , sedemikian hingga
a *b b * a e ; dalam hal ini b disebut invers dari a dan sebaliknya.
Sistem ini kemudian dinotasikan dengan [G,*] dan didefinisikan sebagai grup. Sebagai konsekwensinya, semua himpunan dengan operasi biner yang
didefinisikan di dalamnya, yang memenuhi keempat aksioma tersebut disebut grup. Proses pembentukan sistem abstrak inilah yang disebut dengan proses abstraksi. Selanjutnya diadakan pengkajian terhadap karakteristik dan sifat-sifat
dari grup abstrak , yang kemudian menghasilkan teorema-teorema, seperti:
elemen identitas adalah tunggal;
invers dari setiap elemen adalah tunggal;
dalam grup berlaku hukum kanselasi;
14
d. persamaan a * x b memiliki penyelesaian tunggal dalam G untuk setiap
a, b G .
Juga dihasilkan teorema-teorema yang berkenaan dengan subgrup, ordo grup dan ordo elemen, serta fungsi-fungsi yang menghubungkan satu grup dengan yang lainnya. Teorema-teorema yang dihasilkan tersebut selanjutnya dapat langsung diaplikasikan pada himpunan-himpunan kongkrit di atas dan juga pada sistem-sistem lainnya yang memenuhi aksioma grup. Proses ini disebut dengan proses generalisasi.
Z R M22 P2 F Q M55
Irisan sifat-sifat
•
Tertutup
• Asosiatif
generalisasi • Identitas
• Invers
abstraksi
[G, *]
kajian
Teorema-teorema hasil pengkajian terhadap [G,*]
Gambar 1.3 Abstraksi dan Generalisasi pada pembentukan sistem Grup.
Dari uraian dan ilustrasi di atas maka jelaslah bahwa hakekat matematika berkenaan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang
15
dikembangkan menurut aturan yang logis. Dengan memahami hakekat matematika tersebut maka seorang guru akan memiliki suatu wawasan, visi dan strategi yang tepat dalam mengajarkan konsep-konsep matematika kepada siswanya. Mengingat hakekatnya yang berkenaan dengan ide-ide abstrak (misalnya tentang konsep bilangan), sementara tingkat perkembangan kognitif siswa SD pada umumnya masih berada pada tahap operasional kongkrit, dimana mereka belajar memahami suatu konsep melalui manipulasi benda-benda kongkrit, maka di dalam menyajikan konsep-konsep matematika seringkali guru harus menggunakan peraga-peraga dan ilustrasi kongkrit dari konteks kehidupan nyata di sekitar siswa serta menggunakan teknik analogi, agar konsep abstrak tersebut menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa.
B. Nilai Pendidikan Matematika
Sebuah pernyataan klasik yang seringkali kita dengar di tengah masyarakat adalah bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit sehingga orang menjadi takut dan bahkan “alergi” manakala mereka mendengar kata matematika. Suatu tantangan bagi guru matematika yakni bagaimana mengubah atau paling tidak mereduksi pandangan semacam ini dengan menyajikan materi matematika secara sederhana dan menarik tetapi juga mudah dipahami oleh siswa.
Dalam paradigma baru pembelajaran di sekolah dasar, matematika harus disajikan dalam suasana yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi untuk belajar matematika. Beberapa upaya yang dapat dilakukan guru untuk menarik perhatian dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matematika antara lain
16
dengan mengkaitkan materi yang disajikan dengan konteks kehidupan riil sehari-hari yang dikenal siswa di sekelilingnya atau dengan memberikan informasi manfaat materi yang sedang dipelajari bagi pengembangan kepribadian dan kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah selanjutnya, baik permasalahan dalam matematika itu sendiri, permasalahan dalam mata pelajaran lain, maupun permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat melakukan upaya peningkatan motivasi tersebut, maka seorang guru perlu memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan matematika.
Nilai-nilai utama yang terkandung dalam matematika adalah nilai praktis, nilai disiplin dan nilai budaya (Sujono, 1988). Matematika dikatakan memiliki nilai praktis karena matematika merupakan suatu alat yang dapat langsung dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari. Disadari atau tidak, hampir setiap hari dalam kehidupannya, manusia akan melakukan perhitungan-perhitungan matematis, mulai dari tingkat komputasi yang sederhana, seperti menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi, sampai pada tingkat komputasi yang rumit. Sebagai contoh sederhana misalkan dalam keseharian seorang ibu rumah tangga. Setiap hari ia harus mempersiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga. Setiap kali sebelum mulai memasak, ia selalu harus melakukan kalkulasi terhadap bahan-bahan masakan yang diperlukan dan kecukupan kebutuhan makan seluruh anggota keluarganya dalam sehari. Jika bahan-bahan yang diperlukan belum tersedia, maka ia harus membelinya di pasar atau pada pedagang keliling. Untuk keperluan ini, jelas ia harus melakukan kalkulasi, baik untuk menentukan total pembayaran atau menghitung jumlah uang
17
kembalian yang harus diterima. Demikian juga dengan si penjual, dalam kegiatan jual beli ini, ia akan melakukan pekerjaan matematika, seperti menimbang, menghitung barang, menghitung uang pembayaran, atau juga menghitung uang kembalian. Paparan ini hanyalah merupakan sebagian kecil dari kebutuhan akan matematika dalam penyelenggaraan sebuah rumah tangga.
Jika dalam keluarga saja pekerjaan matematika sudah menjadi bagian dalam menunjang berbagai kegiatan rumah tangga, apalagi dalam dunia usaha. Semua bidang dalam dunia usaha, mulai dari perdagangan, perbankan, transportasi, konstruksi, pertanian sampai berbagai usaha jasa, pasti akan melakukan pekerjaan matematika sebagai bagian dalam kegiatan usahanya. Seorang pedagang tentu akan melakukan perhitungan terhadap modal, barang-barang dagangan, harga penjualan dan keuntungan. Staf di bidang perbankan dengan bantuan komputer atau alat komputasi lainnya akan melakukan perhitungan-perhitungan terhadap nilai tukar mata uang, suku bunga simpanan dan pinjaman, ataupun setoran nasabah. Seorang sopir angkutan umum akan melakukan kalkulasi terhadap uang yang didapat dari para penumpang, kebutuhan bahan bakar, setoran dan pendapatan bersih yang bisa dibawa pulang. Seorang tukang bangunan akan melakukan perhitungan kebutuhan bahan bangunan, perbandingan komposisi antara pasir, semen dan kapur, pengukuran ketinggian bangunan, atau bahkan perhitungan kemiringan atap. Seorang petani akan melakukan perhitungan terhadap kebutuhan benih, pupuk dan obat-obatan, jadwal perlakuan terhadap tanaman, serta perkiraan hasil panen. Singkatnya, dalam penyelenggaraan setiap kegiatan dalam dunia usaha tersebut selalu memerlukan
18
matematika sebagai alatnya. Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa matematika telah menjadi sarana penunjang utama pada setiap kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Pada matematika terdapat nilai-nilai kedisiplinan. Hal ini dimaksudkan bahwa dengan belajar matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola pemikirannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa hakekat matematika berkenaan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan menurut aturan yang logis. Matematika terdiri dari sistem-sistem yang terstruktur yang masing-masing terbentuk melalui pola penalaran secara deduktif dengan logika matematika sebagai alat penalarannya. Diawali dengan sebuah konsep pangkal, sebuah sistem dalam matematika disusun dengan rangkaian sebab akibat, sehingga sebuah pernyataan diturunkan dan didasarkan dari pernyataan-pernyataan yang sudah ada sebelumnya, demikian juga suatu pernyataan akan menjadi landasan bagi pernyataan-pernyataan selanjutnya dalam urutan yang logis. Semua pekerjaan dalam matematika, baik untuk menurunkan rumus, membuktikan teorema, maupun menyelesaikan soal atau masalah, juga menggunakan alur penalaran yang serupa. Misalnya dalam pembuktian teorema berikut:
Jika dua garis yang berbeda berpotongan maka titik potongnya merupakan satu-satunya titik sekutu antara dua garis tersebut.
diperlukan dasar-dasar pernyataan sebelumnya, seperti
melalui dua titik yang berbeda hanya dapat dibuat satu garis;
garis merupakan himpunan titik-titik;
jika x A B maka x A dan x B .
19
Menggunakan dasar tersebut, kita dapat memulai pembuktian dengan melakukan
pengandaian:
Misalnya dua garis yang berbeda tersebut adalah k dan l dan titik potongnya adalah P.
Andai P bukan satu-satunya titik sekutu, maka berarti ada titik lain yang juga merupakan titik sekutu, misalnya Q, dimana Q P .
Jika Q k l maka Q k dan Q l . Sementara P k l maka P k dan P l .
Karena Q k dan P k maka PQ k . Karena Q l dan P l maka PQ l .
Karena PQ k dan PQ l maka k l .
Sampai disini terjadi kontradiksi, yakni k l dan k l .
Karena terjadi kontradiksi maka pengandaian bahwa “P bukan satu-satunya titik sekutu” adalah salah, dan yang benar adalah negasi dari pengandaian tersebut, yakni “P adalah satu-satunya titik sekutu”.
Jelas dalam pembuktian tersebut terjadi pola sebab akibat, artinya setiap langkah
dalam pembuktian merupakan akibat dari langkah sebelumnya dan akan menjadi
sebab untuk langkah selanjutnya dalam urutan yang logis sampai akhirnya didapat
kesimpulan yang merupakan pembuktian dari teorema di atas.
Contoh lain lagi misalnya dalam penyelesaian soal, sebagaimana soal
sederhana yang berikut ini.
Harga sebuah buku tulis adalah Rp. 2.500,-, sebuah pensil harganya Rp. 1.500,- dan sebuah penggaris harganya Rp. 3.000,-. Dua kakak beradik, Tiko dan Ana, masing-masing secara berurutan membeli 5 buku tulis, 3 pensil, 2 penggaris, dan 3 buku tulis, 4 pensil, 1 penggaris. Berapa jumlah uang yang harus dibayarkan oleh masing-masing anak tersebut? Jika untuk semua barang yang dibeli mereka memberikan uang Rp. 50.000,- kepada si penjual, berapa uang kembali yang harus mereka terima?
Penyelesaian soal cerita semacam ini diawali dengan sebuah identifikasi tentang
apa saja yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Dengan identifikasi ini maka
persoalan akan semakin jelas sehingga pembentukan model matematikanya juga
20
semakin mudah. Penyelesaian secara matematis merupakan penyelesaian dari
model matematika, sedangkan jawaban dari soal cerita diberikan oleh interpretasi
dari penyelesaian matematis tersebut. Tahap demi tahap penyelesaian dari soal di
atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
Diketahui :
Ditanya :
Jawab :
harga buku tulis = 2500; harga pensil = 1500;
harga penggaris = 3000;
Tiko beli 5 buku tulis; 3 pensil; 2 penggaris
Ana beli 3 buku tulis; 4 pensil; 1 penggaris
a) Jumlah yang harus dibayar masing-masing anak.
b) Uang kembali jika mereka membayar Rp. 50.000,-
a) Jika jumlah yang harus dibayar Tiko = s, maka
s = 5 x 2500 + 3 x 1500 + 2 x 3000
= 12500 + 4500 + 6000
= 23000
Jika jumlah yang harus dibayar Ana = b, maka b = 3 x 2500 + 4 x 1500 + 1 x 3000
= 7500 + 6000 + 3000
= 16500
Jadi jumlah yang harus dibayar Tiko adalah Rp. 23.000,-dan yang harus dibayar Ana adalah Rp. 16.500,-
Jika jumlah uang kembali adalah u maka u = 50000 – s – b
50000 – 23000 – 16500
10500
Jadi jika mereka membayar Rp. 50.000,- maka jumlah uang kembalinya adalah Rp. 10.500,-
Dari ilustrasi-ilustrasi di atas terlihat bahwa bekerja dalam matematika
harus dilakukan secara sistematis, tegas dan jelas serta setiap tahap dalam proses
penyelesaian harus memiliki landasan yang benar. Antara tahap yang satu dengan
tahap yang lainnya (baik sebelum maupun sesudahnya) harus menunjukkan
implikasi yang jelas. Selain itu dalam matematika juga digunakan simbul-simbul
dan variabel-variabel. Hal ini dimaksudkan selain untuk mempersingkat sebuah
kalimat (model) matematika, juga agar bahasa matematika yang dihasilkan akan
menjadi lebih universal. Oleh karena itu pemakaian simbul dan variabel dalam
21
pekerjaan matematika harus dilakukan dengan tertib dan jelas sebab jika tidak akan bisa menimbulkan salah tafsir dan kurang komunikatif, dalam artian hasil pekerjaan seseorang tidak dapat dipahami oleh orang lain, walau pekerjaan tersebut benar sekalipun.
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa bekerja dalam matematika harus disiplin dalam pemikiran. Setiap langkah harus memiliki alur yang jelas dan tepat. Kedisiplinan baik dalam menyusun langkah pekerjaan maupun dalam mempergunakan simbul-simbul dan variabel-variabel ini akan mengantar seseorang pada penemuan hasil maupun penarikan kesimpulan yang benar dalam matematika. Selain kedisiplinan, kecermatan juga sangat diperlukan bila bekerja dalam matematika, sebab sedikit kesalahan dalam suatu langkah akan mengakibatkan kesalahan pada langkah berikutnya, atau paling tidak akan terjadi implikasi yang tidak logis antar langkah dalam sebuah pekerjaan. Mengingat karakteristik pekerjaan dalam matematika yang demikian, maka dengan belajar matematika secara benar, orang akan terlatih untuk bekerja secara disiplin dan cermat.
Untuk dapat melatihkan nilai-nilai kedisiplinan ini terhadap siswa sembari menyajikan konsep-konsep matematika, maka guru dituntut tidak hanya mampu menyampaikan konsep matematika secara benar tetapi juga cermat dan disiplin dalam membimbing pekerjaan siswa. Mengapa kecermatan dan kedisiplinan guru dalam membimbing pekerjaan siswa perlu ditekankan disini? Hal ini tidak lain karena berdasarkan pengamatan penulis selama mengajar mata kuliah Matematika, Pendidikan Matematika I dan Pendidikan Matematika II, masih
22
banyak mahasiswa D-II PGSD yang mengabaikan alur langkah yang sistematis dan logis dalam pekerjaan matematika. Hal ini terlihat saat mereka harus mensimulasikan sebuah pembelajaran dalam peer-teaching, atau bahkan pada saat mereka mengerjakan sendiri soal-soal matematika di depan kelas atau dalam ujian. Coba anda perhatikan contoh hasil pekerjaan berikut.
45 : 9 45 9 9 9 9 9 0
Jadi 45 : 9 5
Ini pernah terjadi pada sebuah peer-teaching dengan bahasan “pembagian sebagai pengurangan secara berulang”. Baik “guru” maupun “siswa” tidak ada yang menyanggah atau mempertanyakan redaksi pekerjaan ini, karena mereka menganggap hal ini sudah jelas dan hasil akhirnya benar. Tetapi begitu mendapat pertanyaan dari dosen pembina mata kuliah: “apakah benar 45 : 9 = 0 ?”, mereka baru menyadari letak kesalahan dalam kalimat matematika tersebut. Bila hal yang demikian terbawa untuk mengajar pada siswa SD yang sesungguhnya, maka bisa jadi siswa akan mengikuti contoh pekerjaan dari guru. Walaupun konsep yang mereka terima dan pahami bisa saja benar, tetapi redaksi kalimat matematika yang diekspresikan akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal dalam pekerjaan matematika. Hal ini jelas sama sekali tidak menunjukkan nilai-nilai kedisiplinan dan kecermatan dalam pendidikan matematika.
Redaksi pekerjaan di atas haruslah direvisi sedemikian rupa sehingga alur langkahnya dapat tertata secara sistematis dan logis. Misalnya dengan menambahkan beberapa kalimat seperti di bawah ini.
45 : 9 = …
Berdasarkan pengurangan secara berulang didapat:
45 – 9 – 9 – 9 – 9 – 9 = 0
23
Karena ada 5 kali pengurangan oleh 9 yang akhirnya menghasilkan 0, maka 45 : 9 5
Atau bisa dengan redaksi yang lebih formal
45 : 9 = …
Berdasarkan pengurangan secara berulang didapat:
45 9 9 9 9 9 0
45 (9 9 9 9 9) 0
45 5 9 0
45 5 9
45 : 9 5
Khusus untuk redaksi yang terakhir ini dapat disampaikan apabila siswa sudah memahami konsep hubungan antara perkalian dan pembagian.
Sebagaimana telah ditekankan di depan bahwa untuk dapat melatih kedisiplinan dalam diri siswa melalui pendidikan matematika, diperlukan kecermatan dan kedisiplinan dari guru dalam membimbing pekerjaan siswanya. Namun demikian hal ini tentu tidak dimaksudkan bahwa seorang guru matematika harus bersikap keras terhadap siswanya, tetapi justru harus sebaliknya bahwa penerapan sikap disiplin dan cermat itu tetap dalam koridor dan nuansa pembelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan. Dengan demikian upaya untuk meningkatkan motivasi siswa belajar matematika dan sekaligus mendidik siswa untuk memiliki kedisiplinan dan kecermatan dalam bekerja dapat berjalan secara seimbang.
Nilai utama berikutnya yang terkandung dalam matematika adalah nilai budaya. Memang nampaknya asing kedengarannya bahwa matematika dikaitkan dengan budaya. Tetapi bila kita perhatikan maka sebenarnya matematika sangat erat kaitannya dengan perkembangan budaya manusia. Ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal peradabannya, manusia telah menggunakan
24
matematika untuk melakukan perhitungan-perhitungan sederhana, seperti menghitung banyaknya ternak, hari dan sebagainya. Mereka menggunakan batu-batu atau menorehkan pahatan di dinding-dinding gua untuk menyatakan kalkulasinya. Pada perkembangan selanjutnya manusia berusaha menciptakan simbul-simbul sebagai lambang bilangan dan juga menyusun sistem numerasinya untuk lebih memudahkan mereka dalam menyatakan sebuah kuantitas. Beberapa sistem numerasi yang pernah dikenal adalah sistem Mesir Kuno ( 3000 SM), sistem Babilonia ( 2000 SM), sistem Yunani Kuno Attik ( 600 SM), sistem Yunani Kuno Alfabetik ( 500 SM), sistem Maya ( 300 SM), sistem Cina ( 200 SM), sistem Jepang-Cina ( 200 SM), sistem Romawi ( 100 SM), dan sistem Hindu-Arab ( 300 SM – 20 M) (Karim, dkk, 1997). Sistem numerasi Hindu-Arab merupakan sistem yang terus dipergunakan untuk menyatakan suatu bilangan kardinal hingga saat ini, disamping sistem Romawi yang lebih banyak dipergunakan untuk menyatakan bilangan ordinal. Penemuan-penemuan lambang bilangan dan sistem numerasi tersebut menunjukkan bahwa dalam sejarahnya manusia sangat membutuhkan matematika dalam kehidupannya.
Matematika bukanlah sebuah ilmu yang hanya berdiri untuk menopang dirinya sendiri, melainkan juga berperan banyak dalam perkembangan bidang ilmu pengetahuan yang lainnya. Bidang-bidang ilmu seperti fisika, biologi, kimia, farmasi, kedokteran, ekonomi, sejarah, dan bahkan bahasa dalam perkembangannya sangat dibantu oleh matematika. Dan bukan hanya itu saja, sebagaimana telah kita ketahui, matematika juga telah menjadi sebuah kebutuhan di semua aspek kehidupan manusia, seperti dalam bidang-bidang pertanian,
25
industri, transportasi, konstruksi, perekonomian, pendidikan, jasa, pertambangan, macam-macam teknologi, informasi, dan lain sebagainya.
Sementara itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bidang-bidang kegiatan manusia, pada gilirannya akan mendukung kemajuan peradaban budaya manusia. Kita bisa membandingkan bagaimana pola kehidupan masyarakat 20-30 tahun yang lalu dengan sekarang ini. Tinjau saja suatu bidang misalnya informasi. Sekian tahun yang lalu jika seseorang membutuhkan sebuah informasi maka ia harus mengumpulkan buku-buku, majalah, atau surat kabar dan jika diperlukan ia harus membuat kliping dari beberapa artikel, atau jika menginginkan informasi langsung dari narasumbernya maka ia harus mendatanginya atau menghubunginya melalui surat, dan hal ini tentunya membutuhkan waktu yang relatif lama. Tetapi sekarang, dengan berkembangnya komputer lebih-lebih internet, untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, dengan cepat orang bisa mendapatkannya melalui media internet, atau jika ingin mendapatkan dari narasumbernya langsung, ia bisa menghubunginya melalui e-mail.
Contoh lain misalnya dalam hal berkomunikasi. Dulu, komunikasi antar dua orang yang berada di tempat yang berbeda dilakukan hanya dengan menggunakan surat dan hal ini tentu membutuhkan waktu berhari-hari untuk sekedar menunggu respon atau jawaban dari orang yang dihubungi; pada perkembangan selanjutnya orang bisa berkomunikasi secara langsung melalui telepon rumah, dan hal ini tentu saja hanya bisa dilakukan jika dua orang yang akan berkomunikasi berada di suatu tempat tertentu, misalnya di kantor atau di
26
rumah. Tetapi sekarang, dengan telah begitu pesatnya perkembangan teknologi telepon selular, orang bisa berkomunikasi dimana saja dan kapan saja. Bahkan, janji untuk bertemu atau undangan untuk rapat, terutama yang non formal, tidak lagi harus melalui surat, orang sudah biasa melakukannya menggunakan short message service (sms) melalui handphone. Berkenaan dengan perkembangan telepon selular ini, sepuluh atau bahkan lima tahun yang lalu, belum banyak orang yang memiliki dan bahkan banyak yang berpandangan bahwa handphone merupakan barang mewah yang dibutuhkan oleh kalangan pengusaha, tetapi sekarang hampir setiap orang memiliki dan membutuhkannya dan bukan lagi menjadi barang mewah. Tidak hanya suara atau pesan pendek saja yang bisa dikomunikasikan melalui handphone ini, tetapi juga gambar dan bahkan rekaman peristiwa yang terjadi secara live. Namun demikian, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini tentu tidak hanya membawa manfaat positif bagi kehidupan manusia, tetapi juga bisa berdampak negatif terutama bila pemanfaatan teknologi tersebut disalahgunakan.
Dari ilustrasi-ilustrasi singkat tersebut, kita bisa memiliki sebuah gambaran bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh pada perkembangan pola hidup dan budaya manusia. Sementara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat tergantung pada matematika. Dari sini jelaslah betapa eratnya hubungan matematika dengan sejarah kemajuan peradaban dan budaya manusia. Matematika muncul sebagai hasil budaya manusia dan berperan besar dalam perkembangan budaya itu sendiri. Mengajarkan matematika merupakan sebuah proses pewarisan budaya kepada
27
generasi yang akan datang. Namun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa perkembangan sebuah teknologi tentu saja memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kehidupan manusia dan budayanya. Oleh karenanya dalam proses pewarisan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, perlu disertai dengan penanaman etika dan norma dalam kehidupan bermasyarakat.
C. Peranan Matematika di Sekolah Dasar
Setelah memahami hakekat dan nilai-hilai yang terkandung dalam matematika, maka sekarang kita lebih berfokus pada pendidikan matematika di sekolah dasar. Pemahaman terhadap peranan pengajaran matematika di sekolah dasar akan sangat membantu para guru untuk memberikan materi matematika pada siswanya secara proporsional sesuai dengan tujuannya.
Sebagaimana tercantum dalam dokumen Standar Kompetensi mata pelajaran matematika untuk satuan SD dan MI pada kurikulum 2004 disebutkan fungsi matematika adalah sebagai berikut.
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas, 2003).
Fungsi ini merupakan suatu implemantasi dari substansi matematika itu sendiri dimana pengembangan setiap konsep matematika dikaji melalui proses penalaran yang sistematis dan logis. Pembahasan setiap topik dalam matematika sangat memungkinkan untuk dilakukan melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, atau
28
eksperimen. Misalnya pada pembahasan materi tentang jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga. Pada siswa guru bisa memberikan pertanyaan arahan berikut.
Berapa jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga?
atau
Benarkah jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 o?
Untuk menjawab pertanyaan ini, melalui pendekatan secara induktif, siswa bisa diminta untuk membuat gambar segitiga-segitiga dalam bermacam-macam tipe dan ukurannya, katakanlah masing-masing siswa membuat 10 buah gambar segitiga. Selanjutnya menggunakan busur derajad, mereka diminta untuk mengukur besar setiap sudut dan menghitung jumlahnya untuk masing-masing segitiga yang dibuatnya. Andai dalam satu kelas terdapat 40 siswa, maka kegiatan penyelidikan tersebut dilakukan terhadap 400 buah segitiga. Dengan pengukuran yang benar maka setiap siswa akan berkesimpulan bahwa jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 o. Dalam melakukan kegiatan ini, untuk mendapatkan kesimpulan tersebut, siswa akan melakukan penalaran secara induktif. Setelah mereka benar-benar memahami hasil yang mereka peroleh dari proses penyelidikan tersebut, guru hendaknya memberikan penguatan atau penegasan terhadap hasil itu melalui proses penalaran secara deduktif. Hal ini karena pada dasarnya obyek-obyek dalam matematika dibangun melalui proses penalaran secara deduktif, sedangkan pendekatan induktif dilakukan agar siswa mudah memahami konsep-konsep baru di awal pembelajaran.
Obyek-obyek dalam matematika tidak hanya ada untuk dipahami dan dikaji saja, tetapi juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk memecahkan
29
masalah. Banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih-lebih yang
berkaitan dengan penalaran dan komputasi, yang dapat diselesaikan menggunakan
matematika. Oleh karenanya seringkali untuk memberikan motivasi pada siswa
untuk belajar matematika, guru memulai membuat analogi pada kehidupan sehari-
hari, misalnya pada bahasan perbandingan, guru bisa mengawali dengan
mengajukan permasalahan berikut ini:
Ibu Juliana memiliki 100 buah kelereng dan akan membagikannya kepada kedua anaknya dengan perbandingan 3:2. Berapa kelereng yang akan diterima oleh masing-masing anak?
Contoh lain, misalnya untuk bahasan penerapan konsep luas sisi bangun ruang,
guru bisa memberikan permasalahan berikut ini:
Pak Cahyo akan membuat kolam renang dengan kedalaman 2 m, lebar 5 m dan panjang 10 m. Bila untuk menutup 1 m2 dinding diperlukan 9 buah keramik, berapa banyaknya keramik yang dibutuhkan untuk menutup seluruh permukaan dinding bagian dalam kolam tersebut?
Permasalahan-permasalahan tersebut selain untuk membangkitkan motivasi pada
siswa, juga untuk menunjukkan bahwa matematika dapat dijadikan sebagai alat
untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Masalah Model Matematika
Interpretasi
Penyelesaian Model
Penyelesaian Model
Matematika
Gambar 1.4 Alur pemecahan masalah menggunakan matematika
30
Langkah-langkah penggunaan matematika untuk memecahkan masalah diawali
dengan penyusunan model dari permasalahan yang akan dipecahkan, kemudian
model tersebut diselesaikan menggunakan konsep-konsep dasar matematika yang
terkait secara sistematis dan logis, dan akhirnya pemecahan dari masalah didapat
dari hasil interpretasi terhadap hasil penyelesaian model matematika.
Selain berfungsi sebagai alat untuk memecahkan masalah, matematika
berfungsi pula sebagai alat untuk mengkomunikasikan gagasan melalui simbul-
simbul, grafik, diagram dan table-tabel. Hal ini mengingat bahasa dalam
matematika yang sifatnya adalah universal (dapat dipahami oleh orang-orang dari
berbagai kalangan yang sangat luas). Misalnya untuk rangkaian dari simbul-
simbul berikut:
a, b, c G, (ab ac) (b c)
maka semua matematisi di seluruh dunia akan membacanya (menterjemahkannya)
sebagai:
Untuk semua (setiap) a, b, c elemen G, berlaku bahwa jika ab = bc maka akan b = c.
Contoh lain lagi, misalnya rangkai simbul-simbul ini,
x 2 , x 3
2 1, 3 x 3
f (x) x
x 2 2 x 3
akan selalu memiliki pengertian bahwa
fungsi f akan memetakan x ke x kuadrat jika x lebih besar atau sama dengan 3; atau ke x kuadrat dikurangi 1 jika x lebih besar dari –3 dan kurang dari 3; atau ke x kuadrat ditambah 2 jika x kurang dari atau sama dengan –3.
Demikian juga dengan grafik,
31
R
a (a,a)
(0,0)
a R
Gambar 1.5 Grafik y = x
akan selalu menunjukkan grafik fungsi pada himpunan bilangan riil, dengan aturan f (x) x, x R , atau setiap bilangan riil dipetakan pada dirinya
sendiri. Fungsi ini menunjukkan fungsi identitas dalam himpunan bilangan riil. Oleh karena sifatnya yang universal, maka orang harus disiplin, tertib dan
cermat dalam menggunakan simbul-simbul, grafik maupun diagram dalam matematika, agar dapat mempresentasikan gagasannya dengan benar dan dapat dipahami oleh orang lain juga secara benar. Dalam hal ini diperlukan suatu kecermatan dan ketelitian dalam membimbing siswa, baik untuk memahami rangkaian notasi matematika maupun dalam menuliskan notasi-notasi tersebut.
Selain fungsi matematika, dokumen Standar Kompetensi mata pelajaran matematika untuk satuan SD dan MI pada kurikulum 2004 juga menyebutkan tujuan pembelajaran matematika sebagai berikut.
32
Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten, serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah (Depdiknas, 2003).
Tujuan ini sejalan dengan nilai-nilai yang ada dalam pendidikan matematika. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam hakekatnya, matematika merupakan kumpulan sistem-sistem abstrak yang dibangun melalui proses penalaran deduktif dan tersusun secara sistematis dan logis. Oleh karenanya bekerja dengan matematika harus memperhatikan hakekat tersebut. Bila seorang siswa telah terbiasa bekerja dalam matematika secara benar, maka ia akan terlatih untuk berpikir secara sistematis, logis dan konsisten. Sejalan dengan fungsinya sebagai alat untuk latihan bernalar secara benar, alat untuk memecahkan masalah, dan alat untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, maka bekerja dengan matematika juga memungkinkan seseorang terlatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Dan dengan ketegasan dan kejelasan langkah-langkah dalam pekerjaan matematika maka juga akan mengembangkan sikap tangguh dan percaya diri seseorang dalam menyelesaikan masalah.
Melalui pemahaman terhadap fungsi dan tujuan pengajaran matematika, maka seorang guru dapat memiliki visi dan arah yang jelas dalam menyampaikan konsep-konsep matematika. Sudah barang tentu, dalam penyampaian konsep-konsep tersebut harus juga memperhatikan tingkat perkembangan kognitif dan kemampuan intelektual siswa. Suatu pokok bahasan memiliki kedalaman kajian yang berbeda antara satu tingkatan kelas dengan yang lainnya di sekolah dasar, apalagi antar jenjang sekolah. Oleh karena itu, selain agar guru memiliki visi dan arah yang jelas dalam pengajaran matematika, juga mampu menyampaikan materi
33
matematika secara proporsional, maka diperlukan suatu perumusan standar
kompetensi. Standar kompetensi untuk mata pelajaran matematika pada satuan
Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) meliputi 3 aspek, yakni
bilangan, pengukuran dan geometri, dan pengelolaan data (Depdiknas, 2003).
Aspek Bilangan:
Menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah;
Menggunakan operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah;
Menggunakan konsep bilangan cacah dan pecahan dalam pemecahan masalah;
Menentukan sifat-sifat operasi hitung, faktor, kelipatan bilangan bulat dan pecahan serta menggunakannya dalam pemecahan masalah;
Melakukan operasi hitung bilangan bulat dan pecahan, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Aspek Pengukuran dan Geometri:
Melakukan pengukuran, mengenal bangun datar dan bangun ruang, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah sehari-hari;
Melakukan pengukuran, menentukan unsur bangun datar dan menggunakannya dalam pemecahan masalah;
Melakukan pengukuran keliling dan luas bangun datar dan menggunakannya dalam pemecahan masalah;
Melakukan pengukuran, menentukan sifat dan unsur bangun ruang, menentukan kesimetrian bangun datar serta menggunakannya dalam pemecahan masalah;
Mengenal sistem koordinat pada bidang datar.
Aspek Pengelolaan data
11. Mengumpulkan, menyajikan dan menafsirkan data.
Standar kompetensi ini dimaksudkan sebagai orientasi kemampuan
matematika siswa SD dan MI setelah mereka menyelesaikan pelajaran
matematika. Selanjutnya pada tiap tingkatan kelas, standar kompetensi ini
kemudian dijabarkan menjadi kompetensi dasar pada setiap materi pokok,
implementasi dari kompetensi dasar dituangkan ke dalam hasil-hasil belajar dan
34
untuk mengontrol ketercapaian setiap hasil belajar dirumuskanlah indikator-indikator.
Hal yang terpenting dalam implementasi kurikulum 2004 ini adalah pembelajaran berbasis pada kompetensi siswa. Pembelajaran berfokus pada siswa yang belajar dan bukan berpusat pada guru. Siswa lebih banyak dilibatkan pada kegiatan pembelajaran yang bersifat eksplorasi dan ekperimental, sementara guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator. Kegiatan pembelajaran semacam ini juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan matematika dengan kehidupan riil di sekitar siswa. Model-model pembelajaran seperti cooperative learning, realistic mathematics, atau outdoor mathematics, akan banyak mendukung konsep tersebut sejauh disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi siswa serta lingkungan sekitarnya. Misalnya, untuk menerapkan konsep kesebangunan segitiga atau konsep tentang sudut elevasi, siswa bisa diajak keluar kelas dan diberi permasalahan-permasalahan riil, seperti: 1) menentukan tinggi tiang bendera tanpa harus merobohkan atau memanjatnya; atau 2) menentukan jarak antara dua pohon yang dipisahkan oleh sungai tanpa harus menyeberangi sungai; atau 3) menentukan jarak dua gedung di kejauhan yang hanya terlihat puncaknya saja tanpa harus mendatangi gedung yang bersangkutan. Atau pada pembelajaran untuk menguatkan konsep tentang bangun-bangun datar, siswa bisa diminta untuk mengidentifikasi benda-benda yang berbentuk persegi, persegipanjang, lingkaran dan segitiga yang ada di sekitar sekolah.
Contoh-contoh di atas adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang membawa siswa melakukan kontak langsung dengan obyek nyata di sekitarnya
35
dalam rangka menerapkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari di kelas. Namun demikian konsep realistik dalam pembelajaran matematika tidak selalu harus membawa siswa keluar kelas, tetapi dengan memberikan contoh-contoh riil yang terjangkau oleh penalaran siswa, juga sudah merupakan konteks matematika realistik yang akan mendekatkan matematika dengan lingkungan nyata di sekitar siswa. Hal lain yang tak kalah penting adalah membina hubungan social yang harmonis antara siswa dengan lingkungan sekitarnya, khususnya dengan teman-teman sekelasnya. Upaya ini bisa dilakukan mislnya dengan
menerapkan cooperative learning. Penerapan model pembelajaran ini selain berguna untuk memupuk persaudaraan dan kerjasama diantara siswa, juga akan dapat memantabkan pemahaman konsep pada diri siswa, sebab dengan belajar bersama maka akan terjadi sharing pengetahuan dan ketrampilan sehingga akhirnya orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran ini akan memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang setara.
Pada konsep pembelajaran berbasis kompetensi siswa, semua kegiatan pembelajaran juga diarahkan pada bagaimana siswa mencapai kemampuan tertentu untuk memecahkan permasalahan. Dalam hal ini konteks algoritma formal dalam matematika, seperti algoritma operasi hitung bilangan bulat yang selama ini telah diajarkan, memang penting, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana siswa dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya mampu untuk menyelesaikan permasalahan. Misalnya untuk menjawab pertanyaan:
“berapakah faktor persekutuan terbesar dari 42 dan 36?”
36
bisa muncul teknik-teknik yang bervariasi yang digunakan siswa tergantung kemampuan mereka, misalnya ada yang mengerjakan dengan cara pertama:
Faktor-faktor dari 42 adalah 1,2,3,6,7,14,21,42
Faktor-faktor dari 36 adalah 1,23,4,6,9,12,18,36
Faktor-faktor persekutuannya adalah 1,2,3,6
Jadi FPB dari 42 dan 36 adalah 6
Atau dengan cara kedua:
42 = 2 X 3 X 7
36 = 2 X 2 X 3 X 3
2 3
Jadi FPB dari 42 dan 36 adalah 2 x 3 = 6.
Atau dengan cara ketiga:
21 31 71
22 32
Sehingga FPB dari 42 dan 36 = 21 31 6
Hal tersebut menunjukkan adanya variasi kemampuan dasar siswa untuk menyelesaikan suatu soal sesuai dengan konsep-konsep yang pernah mereka terima. Walau pada dasarnya semua cara telah diajarkan oleh guru tetapi bisa jadi ada sekelompok siswa yang hanya mampu menggunakan cara pertama, ada yang sudah bisa mengerjakan dengan cara kedua, dan bahkan ada yang sudah mampu dengan cara ketiga.
Untuk keperluan evaluasi, cara apapun yang digunakan oleh siswa asalkan logis dan menghasilkan jawaban benar maka kita harus memberikan skor yang sama kepada ketiganya, karena hal ini sudah menjadi sebuah implikasi logis jika pertanyaannya adalah: “berapakah faktor persekutuan terbesar dari 42 dan 36?”, dan dengan cara yang logis dijawab dengan “FPB dari 42 dan 36 adalah 6”.
37
Lalu bagaimana kita bisa melihat perbedaan tingkat kemampuan mereka bila ditinjau dari cara mereka mengerjakan soal? Jika ini yang menjadi tujuan evaluasi, maka yang dapat dilakukan oleh guru adalah memberikan mereka soal serupa dalam jumlah yang banyak tetapi dengan waktu yang terbatas, dimana batas waktu ini merupakan standar waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal dengan cara yang paling cepat. Misalnya, untuk soal serupa dengan contoh di atas diberikan 20 soal dan harus dikerjakan dalam 20 menit. Dengan kondisi yang demikian, maka siswa yang mampu menggunakan cara ketiga akan mampu menyelesaikan soal lebih banyak dari mereka yang menggunakan cara kedua; dan mereka yang menggunakan cara kedua akan mampu menyelesaikan soal lebih banyak dari mereka yang hanya mampu mengerjakan dengan cara pertama. Hasil inilah yang nantinya akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mengerjakan sebuah soal.
Pada akhirnya, pemahaman guru terhadap hakekat matematika dan nilai-nilai pendidikan matematika akan memberikannya suatu visi dan arah terhadap pengajarannya pada mata pelajaran matematika. Untuk pembelajaran matematika di SD, tentu saja arah dan visi tersebut harus dikontrol melalui pemahaman terhadap tujuan dan kedudukan pembelajaran matematika di sekolah dasar supaya guru dapat menyajikan materi secara proporsional.