Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang pemuda masih melanjutkan studi di Amerika dan terpaksa menyimpan uangnya di bank ribawi. Oleh karena itu, sebagai imbalannya, bank memberinya bunga ; apakah boleh dia mengambilnya, lalu mengalokasikannya ke berbagai proyek amal (kebajikan) ? Sebab, bila dia tidak mengambilnya, maka bank tersebut akan menggunakannya untuk kepentingannya.
Jawaban
1. Saya tegaskan bahwa seseorang tidak boleh hukumnya menyimpan uangnya di bank-bank seperti itu karena jika bank-bank tersebut menyimpan uangnya, ia akan menggunakannya dan membisniskannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa kita tidak selayaknya memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menguasai harta-harta kita, yang kemudian mereka pergunakan untuk mengais rizki di balik itu.
Jika memang terpaksa melakukan hal itu, seperti seseorang takut hartanya dicuri atau dirampas, bahkan khawatir dirinya dibunuh karena hartanya mau dirampok ; maka tidak apa-apa dia menyimpan hartanya di bank-bank seperti itu karena terpaksa (darurat). Akan tetapi, ketika dia menyimpannya dalam kondisi terpaksa. Tidak boleh dia mengambil sesuatu sebagai imbalan atas simapanan tersebut, bahkan haram hukumnya karena itu adalah riba, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam firmanNya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya” [Al-Baqarah/2 : 278-279]
Ayat tersebut sangat transparan dan jelas sekali melarang kita agar tidak mengambil sesuatupun darinya.
Saat hari Arafah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato di hadapan kaum muslimin seraya bersabda.
أَلاَ وَإِنَّ رِبَا اْلجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya riba jahiliyah sudah dilenyapkan”
Jadi, riba yang sebelum Islam pernah dijalankan telah dilenyapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ اْلمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Dan, riba pertama dari riba (yang pernah ada dalam kehidupan) kami, yang aku lenyapkan adalah riba (yang dilakukan) Abbas bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya riba itu semua telah dilenyapkan” [Hadits Riwayat Muslim, Kitabul Hajj 1218]
Jika anda mengatakan, sesungguhnya bila anda tidak mengambilnya, maka mereka itu akan menguasai harta anda, mengambilnya dan menggunakannya untuk kepentingan gereja-gereja dan perlengkapan-perlengkapan perang guna memerangi kaum muslimin.
Jawaban kaim, sesungguhnya jika saya melaksanakan perintah Allah untuk meninggalkan riba, maka apa yang dihasilkan dari hal itu bukanlah dari usaha saya. Saya diperintahkan dan dituntut untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Dan bila kemudian implikasinya adalah timbulnya berbagai kerusakan, maka itu bukan buah dari yang saya upayakan. Bagi saya, ada hal yang perlu didahulukan dari Allah, yaitu menjalankan firmanNya.
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” [Al-Baqarah/2 : 278]
2. Kami akan mengatakan, apakah bunga yang diberikan kepada saya berasal dari harta saya sendiri ?
Jawabannya. Sesungguhnya ia bukanlah berasalah dari harta saya sebab bisa jadi mereka menginvestasikan harta saya, membisniskannya lantas merugi. Jadi, bunga yang diberikan kepada saya jelas bukan buah dari pengembangan harta milik saya bahkan mereka terkadang juga mendapatkan keuntungan atau mendapatkan keuntungan yang lebih dari iru. Atau bisa jadi pula mereka sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari harta milik saya tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan, ketika mereka menguasai sesuatu dari harta milik saya, mereka akan menyalurkannya untuk kepentingan gereja-gereja atau membeli sejata yang banyak untuk menghadapi kaum muslimin.
3. Kami akan mengatakan bahwa mengambil harta riba tersebut, berarti telah terjerumus ke dalam hal yang telah diakui orang sebaga riba sebab orang ini kelak di Hari Kiamat akan mengakui di hadapan Allah bahwa ia adalah riba. Bila demikian halnya riba, apakah mungkin seseorang beralasan lagi bahwa sesuatu memiliki maslahat padahal dia yakin adalah riba ? Jawabannya, Tidak. Sebab, qiyas tidak berlaku bila bertentangan dengan nash (teks) agama.
4. Apakah sudah dapat dipastikan bahwa mereka, seperti penuturan anda, mengalikasikannya untuk kepentingan gereja-gereja atau pembuatan perlengkapan-perlengkapan perang melawan kaum muslimin ? Jawabnya, hal itu tidak dapat dipastikan. Jadi, bila kita mengambilnya, berarti kita telah jatuh ke dalam larangan yang riil hanya demi manjaga timbulnya kerusakan yang masih ilusif (samara), sedangkan akal sulit menerima hal itu. Artinya, akal sulit menerima bahwa seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan kerusakan yang riil untuk mencegah kerusakan yang ilusif ; yang bisa terjadi dan bisa pula tidak. Sebab, boleh jadi bank mengambil bunga tersebut hanya untuk kepentingannya semata. Boleh jadi pula, para pegawai bank itu mengambilnya hanya untuk kepentingan pribadi masing-masing, sebaliknya, tidak dapat dipastikan pula bahwa bunga bank riba tersebut digunakan untuk kepentingan gereja-gereja atau perlengkapan-perlengkapan perang melawan kaum muslimin.
5. Bahwa bila anda mengambil apa yang anda klaim sebagai bunga dengan niat akan menyalurkannya dan mengeluarkannya dari kepemilikan anda sebagai upaya menghindarkan diri darinya, maka ini samalah artinya anda telah melumuri diri anda dengan keburukan untuk kemudian berusaha mensucikannya kembali. Ini bukan cara berfikir yang logis. Oleh karena itu, kami tegaskan : “Jauhilah keburukan tersebut terlebih dahulu sebelum anda melumuri diri dengannya, baru kemudian berusaha untuk mensucikan diri darinya. Apakah dapat diterima, bahwa ada seseorang melempar pakaiannya kea rah air kencing demi untuk mensucikannya bila terkena air kencing tersebut ? Sama sekali ini tidak masuk akal. Jadi, selama anda meyakini bahwa ini adalah haram dan riba, kemudian anda mengambilnya, menyedekahkannya dan menghindarkan diri (berlepas diri) darinya. Kami katakana, seharusnya dari awal, jangan anda ambil dan bersihkan diri anda darinya.
6. Kami katakana lagi, bila seseorang mengambilnya dengan niat seperti itu, apakah dia yakin bisa mengalahkan (ketamakan) dirnya sehingga dapat menghindar darinya dengan cara mengalokasika nnya kepada hal yang berbentuk sedekah atau kemaslahatan umum ?
sama sekali tidak, sebab boleh jadi dia mengambilnya dengan niat seperti itu akan tetapi kemudian bila hatinya menginformasikan kegunaannya dan jiwanya membisikkan agar mempertimbangkannya kembali bila mendapatkan bung riba tersebut dalam jumlah sekian ikat (lembar), seperti satu juta atau seratus ribu. Maka, memang dia pada mulanya memiliki tekad, namun kemudian tekad tersebut berubah menjadi pertimbangan terhadapnya. Setelah mempertimbangkan hal itu, dia berubah pikiran lagi untuk memasukkannya saja ke dalam kotak. Seseorang tidak dapat menjamin dirinya ; kadangkala dia mengambil dengan niat seperti itu, namun tekadnya batal ketika melihat sekian banyak ikatan (lembaran) uang tersebut, lalu menjadi tamak dan tidak berdaya untuk mengeluarkannya lagi.
Pernah diceritakan kepada saya kisah sebagian orang-orang bakhil yang pada suatu hari naik keatas loteng rumah dan memasukkan dua jarinya ke dalam dua telinganya lantas berteriak ke arah tetangganya, “Tolonglah saya, tolonglah saya!!” Merekapun menghampirinya sembari berkata, “Ada apa gerangan, wahai fulan ?” Dia menjawab, “Saya telah memisahkan zakat saya dari harta saya untuk mengeluarkannya, tetapi saya mendapatkannya banyak sekali, lalu jiwa saya membisikkan, ‘Bila ia diambil oleh orang lain, hartamu pasti akan berkurang’. Karena itu, tolonglah saya agar bisa lepas dari cengkeramannya !”.
7. Sesungguhnya mengambil riba merupakan tindakan menyerupai orang-orang Yahudi yang telah dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا ﴿١٦٠﴾ وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“ Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi. Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” [An-Nisa/4 : 160-161]
8. Sesungguhnya mengambil riba berarti membahayakan dan menyakiti kaum muslimin, sebab para tokoh agama Nashrani dan Yahudi mengetahui bahwa dienul Islam mengharamkan riba ; Bila si muslim ini mengambilnya, mereka akan berkata, “Coba lihat, kitab kaum muslimin itu mengharamkan riba atas mereka tetapi mereka tetap mengambilnya dari kita” Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah titik kelemahan kaum muslimin, sebab bila musuh-musuh sudah mengetahui bahwa kaum muslimin telah menyimpang dari dien mereka, maka tahulah mereka secara yakin bahwa inilah titik kelemahan mereka (kaum muslimin). Sebab, perbuatan maksiat tidak hanya berimplikasi kepada pelaku maksiat di kalangan kaum muslimin saja, tetapi terhadap Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu” [Al-Anfal/8 : 25]
Mari kita renungkan, para sahabat yang merupakan Hizbullah dan tentaraNya keluar pada perang Uhud bersama manusia paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melakukan satu kali maksiat saja, apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu ? Kekalahan, setelah sebelumnya mendapatkan kemenangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ
“Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai” [Ali Imran/3 : 152]
Yakni terjadilah apa yang tidak kalian sukai
Jadi, perbuatan-perbuatan maksiat memiliki pengaruh yang besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin dan penguasaan oleh musuh-musuh Islam terhadap mereka serta kekerdilan diri mereka di hadapan mereka. Manakalah setelah diraihnya kemenangan, ia bisa lepas akibat perbuatan maksiat ; maka bagaimana tanggapan anda manakala kemenangan belum lagi diraih ?
Musuh-musuh kaum muslimin akan bergembira bilamana kaum muslimin mengambil riba. Sekalipun dari sisi lain mereka tidak menyukai hal itu, akan tetapi mereka bergembira lantaran kaum muslimin akan kalah bila terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Salah satu dari kedelapan aspek negatif yang dapat saya tuangkan tadi cukup sebagai dalil pelarangan mengambil bunga-bunga bank tersebut. Menurut perkiraan saya, rasanya seorang yang mencermati hal ini dan merenungkannya secara penuh hanya akan mendapatkan bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini adalah ketidakbolehan mengambilnya. Dan inilah pendapat yang saya pegang dan saya fatwakan. Bilamana ia benar, maka hal itu semata berasal dari Allah, Dia-lah Yang menganugrahkannya dan segala puji bagi Allah atas hal itu. Jika ia keliru, maka semata ia berasal dari diri saya akan tetapi saya berharap ia adalah pendapat yang benar sesuai dengan hikmah-hikmah dan dalil-dalil Sam’iy (nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang telah saya sebutkan.
(Majmu Durus Wa Fatawa Al-Haram Al-Makkiy, Juz III, hal.386, dari Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq – Jakarta]