Setelah berabad-abad berbagai bangsa, Armenia akhirnya merdeka
pada 23 Agustus 1990, tepat 27 tahun silam.
Armenia pada masanya ibarat primadona bagi dua benua, Eropa dan Asia. Letaknya yang sangat strategis membuat negeri mungil ini harus merelakan diri dinikmati oleh bangsa-bangsa lain. Setelah berabad-abad menjalani peran sebagai negeri koloni, Armenia akhirnya menjadi negara merdeka pada 23 Agustus 1990 setelah lepas dari Uni Soviet.
Secara bergantian, wilayah Armenia diduduki berbagai penguasa besar dari dua benua itu. Lokasi negeri ini terhimpit negara-negara lain. Letak Armenia menyempil, dikelilingi oleh Turki, Georgia, dan Azerbaijan dari Eropa, serta Iran di Asia.
Luasnya pun tidak seberapa besar, hanya 29,743 km2, masih kalah besar dari wilayah Provinsi Jawa Tengah. Namun, posisi inilah yang membuat Armenia menjadi area yang sangat menguntungkan sehingga menjadi rebutan bangsa-bangsa lain.
Negeri Nasrani Mendahului RomawiOrang-orang Armenia percaya bahwa leluhur mereka adalah Nabi Nuh. Nama asli wilayah ini adalah Hayq atau Hayastan, yang berarti tanahnya orang-orang Haik. Konon, bangsa Haik inilah yang merupakan orang-orang keturunan nabi pembuat kapal besar itu (Sarkis Papajian, A Brief History of Armenia, 1974:5).
Wilayah Armenia sendiri sudah dihuni manusia sejak zaman pra-sejarah. Mulanya, negeri ini adalah tanah merdeka dengan pemerintahan kekaisaran yang wilayah kekuasaannya membentang dari Laut Hitam sampai Laut Kaspia, bahkan hingga Laut Mediterania. Tentu saja cakupan wilayah Armenia kala itu jauh berbeda dengan saat ini yang sama sekali tidak memiliki laut.
Kejayaan Kekaisaran Armenia yang bertahan lama selama beberapa abad Sebelum Masehi mulai melemah selepas abad pertama Masehi. Secara bergantian, bangsa-bangsa lain yang lebih digdaya menduduki wilayah ini, dari Assyria, Persia, Yunani, Romawi, Bizantium, Mongolia, Arab, Turki, hingga Kekaisaran Rusia yang nantinya menjelma menjadi negara komunis terbesar, Uni Soviet.
Armenia dianggap sebagai wilayah suci, setidaknya oleh kaum Nasrani. Armenia adalah negara pertama di dunia yang mengakui Kristen sebagai agama resmi negara yakni sejak 301 Masehi, bahkan lebih dulu dari Kekaisaran Romawi (Martin D. Stringer, A Sociological History of Christian Worship, 2005:92). Ajaran Kristen sendiri sudah lama masuk ke Armenia, sedari tahun 40 Masehi.
Meskipun pernah diduduki pemerintahan muslim, melalui penaklukan oleh Arab dan saat dikuasai Turki Ustmani, namun Armenia tidak pernah menjadi negara yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam. Kristen tetap menjadi agama mayoritas warganya, bahkan hingga kini kendati sebagian wilayah Armenia berbatasan dengan negara yang identik dengan Islam, seperti Turki, Iran, juga Azerbaijan.
Ambil contoh riset Pew Research Center pada 2009. Diperkirakan, penduduk Armenia yang beragama Islam saat itu hanya berjumlah sekitar 1.000 orang, atau kurang dari 0,1 persen dari total populasi (Tracy Miller, Mapping the Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, 2009:31).
Segelintir orang Islam yang terdapat di Armenia itu kebanyakan bukan warga asli, melainkan berasal dari Azerbaijan, tetangga yang mayoritas penduduknya beragama Islam (Lawrence R. Robertson, Russia, Eurasia Facts, & Figures Annual, 1998:210). Hingga detik ini, Armenia dan Azerbaijan masih kerap terlibat konflik.
Pemusnahan Etnis ArmeniaArmenia pernah mengalami masa paling kelam yang disebut sebagai Armenian Holocaust dan merupakan genosida pertama pada abad ke-20. Yair Auron (2000:44) dalam The Banality of Indifference: Zionism & the Armenian Genocide menyebut angka hingga 1,8 juta orang yang menjadi korban tewas dalam aksi pemusnahan etnis Armenia ini.
Aksi pembantaian ini bukan terjadi di Armenia, melainkan di wilayah Turki yang berbatasan langsung dengan negara itu. Meskipun masih menjadi perdebatan, genosida etnis Armenia ini disebut-sebut menjadi inspirasi Hittler untuk melakukan tindakan serupa terhadap kaum Yahudi di Jerman selama memimpin Nazi (Joseph Cummins, The World’s Bloodiest History, 2009:128).
Armenian Holocaust berlangsung selama Perang Dunia I (1914-1918) oleh pemerintahan Turki Ustmani, dan dilakukan dalam dua tahap (Christopher J. Walker, Armenia: The Survival of A Nation, 1980:200). Pertama, pembunuhan massal terhadap pria dewasa yang dipekerjakan paksa, banyak pula yang dibantai langsung. Kedua adalah dengan cara mengirim perempuan, anak-anak, orang tua, dan orang-orang sakit dalam perjalanan maut ke Gurun Suriah.
Otoritas Republik Turki sebagai penerus Turki Ustmani yang dideklarasikan sejak 29 Oktober 1923 telah berulangkali menampik terjadinya aksi genosida terhadap etnis Armenia ini. Walaupun begitu, ternyata cukup banyak pakar dan sejarawan Turki yang tidak menyangkalnya (Taner Akcam, A Shameful Act: The Armenian Genocide and the Question of Turkish Responsibility, 2006).
Terkait jumlah korban tewas yang mencapai ratusan ribu bahkan jutaan jiwa, penjelasan Turki menerangkan angka kematian terjadi karena perang sipil, wabah penyakit, dan kelaparan. Kondisi-kondisi macam itu, bagi Turki, adalah penyebab kematian yang berlimpah, termasuk yang dialami orang Armenia, dan bukan genosida.
Alasan Turki tersebut tidak begitu saja dipercaya karena tersedia banyak kesaksian bahwa genosida terhadap etnis Armenia itu memang terjadi. Setidaknya terdapat 29 negara di dunia yang meyakini aksi pemusnahan etnis Armenia di Turki memang ada.
Merdeka Tapi Tetap MenderitaRangkaian penderitaan telah dialami bangsa Armenia selama berabad-abad, dari terus-menerus menjadi wilayah taklukan, hingga dugaan kuat telah mengalami aksi genosida. Negara adikuasa terakhir yang menduduki wilayah Armenia adalah Uni Soviet atau yang semula bernama Kekaisaran Rusia.
Sejak 1813, Kekaisaran Rusia mengambil-alih penguasaan atas Armenia. Sebelumnya, wilayah Armenia dibagi dua antara Dinasti Turki Utsmaniyah dan Dinasti Savawiyah dari Persia (Iran). Kekaisaran Rusia memang secara berturut-turut memenangkan peperangan melawan dua dinasti itu pada awal abad ke-19 (John F. Baddeley, The Russian Conquest of the Caucasus, 1908:90).
Meletusnya Revolusi Bolshevik pada 25 Oktober 1917 yang meruntuhkan Kekaisaran Rusia memberi peluang merdeka kepada bangsa Armenia untuk pertamakalinya. Dan itu memang terjadi pada 28 Mei 1918. Namun, kemerdekaan tersebut hanya dinikmati sesaat karena sejak 1922 Armenia kembali dikuasai Rusia yang saat itu telah menjelma Uni Soviet.
Wilayah Armenia bersama Georgia dan Azerbaijan lalu digabungkan menjadi Republik Sosialis Federasi Transkaukasia yang merupakan bagian dari Uni Soviet (Konrad Siekierski & Stefan Troebst, Armenians in Post-Socialist Europe, 2016:73). Selanjutnya, sejak 1936, Armenia dijadikan sebagai wilayah otonomi meski masih bernaung di bawah kekuasaan Uni Soviet.
Seiring dengan mulai runtuhnya kebesaran Uni Soviet menjelang dekade terakhir abad ke-20, Armenia berhasil mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka pada 23 Agustus 1990. Uni Soviet sendiri pada akhirnya runtuh sejak 25 Desember 1991 dan terpecah-belah menjadi 15 negara yang terpisah, termasuk Armenia.
Walau akhirnya merdeka penuh, masih banyak masalah yang harus dihadapi Armenia, terutama konflik yang tidak kunjung usai dengan Azerbaijan. Isu pokoknya mengenai hak atas enklave yang terus menjadi sengketa, Nagorno-Karabakh, kawasan yang dihuni etnis Armenia namun berada di wilayah Azerbaijan.
Polemik berkepanjangan ini sangat menguras energi Armenia, juga Azerbaijan, yang membuat perekonomian kedua negara tetangga ini semakin memburuk. Hingga merayakan hari kemerdekaan yang ke-27 tahun, rakyat Armenia masih menderita, sebagaimana jejak nestapa yang secara terus-menerus dialami para pendahulunya dari masa ke masa.