Kata akal berasal dari bahasa Arab (اْلعَقْل ) yang berarti faham dan mengerti. Hampir semua ayat dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan akal menggunkan verba (kata kerja), dalam 1 ayat menggunkan ‘aqaluh ( عَقَلُوهُ ), ta’qilun ( تَعْقِلُونَ ) 24 ayat, na’qil ( نَعْقِلُ ) 1 ayat, ya’qiluha ( يَعْقِلُهَا ) 1 ayat dan ya’qilun ( يَعْقِلُونَ ) 22 ayat, yang menjelaskan bahwa kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir.[1]
Dalam kamus bahasa Arab kataakal ( عَقْل ) tidak hanya berarti mengerti dan memahami, tapi kata tersebut juga diartikan rabthun yang berarti ikatan,‘uquul yang berarti akal pikiran danqalbun yang berarti hati.[2]
Al-Kindi (796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Ibnu Miskawaih (941-1030 M) juga memberikan pembagian yang sama, menurutnya daya terendah adalah daya bernafsu, daya tertinggi adalah daya berfikir, dan daya berani mengambil posisi diantara keduanya. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga pula, tetapi sejalan dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia.[3] Jiwa manusia inilah merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal.
Pengertian akal seperti yang diungkapkan para filosof tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan kaum teolog. Kaum teolog mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Abu Huzail mengatakan bahwa “akal merupkan daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain, dan juga antara benda yang satu dari yang lain”. Lebih jauh lagi menurut kaum teolog akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.[4]
Sedangkan Wahyu secara etimologis, mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Kata wahyu lebih populer dikenal dalam pengertian apa yang diwahyukan Allah kepada para Nabi.[5] Secara konseptual, wahyu menunjukan kepada nama-nama yang lebih dikenal seperti Al-kitab, Risalah, Al-Qur’an dan Balagh.[6] Dengan demikian wahyu berarti penyampaian kalam Allah kepada Nabi pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul dalam Al-Qur’an.
Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya. Persoalan yang kemudian timbul dalam pembahasan ilmu kalam yaitu sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? dan sampai dimanakah besarnya fungsi wahyu kedalam kedua hal tersebut?
Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yaitu:
1. Tentang mengetahui Tuhan, yang melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan.
2. Tentang baik dan jahat, yang melahirkan dua masalah juga, yaitu mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
Dari keempat masalah cabang tersebut, terjadi polemik dikalangan aliran kalam: manakah dari keempat masalah itu yang diperoleh melalui akal dan manakah yang diperoleh melalui wahyu.
1. Aliran Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula.[7]
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbutan buruk, orang harus lebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.[8]
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat dapat mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun di dunia.[9] Dengan demikian, menurut Mu’tazilah bahwa tidak semua yang baik dan buruk itu, dapat diketahui oleh akal, karena itu wahyu selain wahyu bersifat informatif dan konfirmatif, juga berfungsi menyempurnakan pengetahuan akal tentang masalah baik dan buruk.
Jelaslah menurut Mu’tazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya wahyu bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat.[10]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu dalam pandangan kaum Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi hanya sebagai konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu hanya kecil.
2. Asy’ariah
Menurut Asy’Ariyah sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal menurut Asy’ari, dapat mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan karena itulah diperlukan wahyu.[11]
Menurut al-Syarastani, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diketahui dengan akal. Dan juga menurut Al-Baghdadi akal dapat mengertahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Al-Ghazali, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusi.[12]Mengenai soal baik dan jahat al-ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan itu baik, kalau perbuatan sesuai dengan maksud pembuat dan disebut buruk, kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan sesuai atau tidak sesuai dengan tujuan bisa terjadi pada masa sekarang dan bisa pada masa depan, bagi al-Ghazali perbuatan yang sesuai dengan tujuan masa depan yaitu akhirat, jelasnya perbuatan yang ditentukan oleh wahyu ditentukan baik dan perbuatan buruk atau jahat lawan perbuatan baik.
Sudah barang tentu bahwa tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan wahyu dan oleh karena itu apa yang disebut perbuatan baik atau buruk juga dapat diketahui hanya dengan wahyu.
Adapun pendirian Al-Syarastani dapat diketahui dalam bukunya bernama Nihayah al-iqdam fi’ilm al-kalam yang dikutip leh Harun Nasution bahwa ia sependapat dengan al-asy’ari mengenai Tuhan dan kewajiban manusia berterima kasih. Yang pertama diketahui dengan akal dan yang kedua dengan wahyu.mengenai soal baik dan jahat akal menurut al-syarastani. Mengenai baik dan jahat ia memberi keterangan lebih jelas dari ketiga pemuka asy’ariah tersebut diatas.akal tak dapat menentukan baik dan jahat karena yang dimaksud dengan baik ilah perbuatan yang mendatangkan pujian syari’atbagi pelakunya dan yang dimaksud dengan buruk ialah perbuatan ynag membawa celaan syari’at.
Keterangan yang jelas dan tegas mengenai persoalan baik dan jahat ini di berikan oleh ’Adud al-Din al-Iji dalam al-’aqaid al ’adudiah dan oleh Jallal al-Din al Dawwani dalam komentarnya terhadap karangan Asus al-Din itu. Akal tak dapat sampai pada perbuatan baik dan buruk, karena wahyulah dalam pendapat mereka yang menentukan kedua hal itu.[13]
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa diantara pengikut-pengikut Al-Asy’ari terdapat persesuian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah Mengetahui Tuhan, sedangkan untuk ketiga lainnya dengan Wahyu.
3. Maturidiah
Al-Maturudi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengna Mu’tazilah. ,juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keteranganal-bazzdawi berikut : ”percaya pada Tuhan dan Berterima kasih kepada-Nya sebelum ada wahyu adalah wajib bagi Faham Mu’tazilah..al-syaikhabu mansur al-maturudi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazila.Demikan jugalah umumnya ulama smarkand dan sebagian ulim ulama Irak”.[14]
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ’Uzbah ”Dalam Pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya amat tanpa percaya Tuhan, ia mesti dihukum. Dalam Maturidiah anak yan belum baligh, tidak mempunyai kewajiban apa-apa.Tetapi Abu Mansural-Maturudi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan.Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara Mu’tazilah dan Maturidiah”.[15]
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturudi mengenai soal mengetahui Tuhan dan berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Keterangan demikain tidak dijumpai dalam soal baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan yang mengetahui kewajiban baik dan buruk. Tetapi al-bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat Al-Maturidi.
Untuk mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan-karangannya sendiri. Buku kitab al-Tawhid mengandung penjelasan tentang hal ini. Akal, kata Maturidi, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk dengan demikian akal juga tahu baik dan buruk. Akal menurut al-maturidi selanjutnya mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik. Akal selanjutnya memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang mengerjakan yang membawa pada kerendahan Jelaslah bahwa maturidi berpendapat akal dapat mengetahui hal yang baik dan buruk. Tetapi uraian di atas tidak memberi peringatan bahwa akal mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Yangdapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan. Sehingga menurut al-Maturudi 3 hal poko dapat diketahui akal, sedangkan kewajiban berbuat baik dan buruk dapat diketahui hanya melaui wahyu. Pendapat al-Maturidi di atas di terima oleh pengiku-pengikut di samrkand. Adapun pengikutnya di Bukhara mereka mempunyai faham yang berlainan sedikit perbedaannya sekitar kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Bayadi mengatakan bahwa menurut Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal.[16]
Dengan demikian golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban- kewajiban menjadi kewajiban. Sedangkan dalam hal lainnya golongan bukhara sependapat dengan golongan samarkand. Tetapi sungguhpun demikian, sebagian dari bukhara berpendapat akal tak dapat mengetahui baik dan buruk, dan dengan demikian mereka sebenarnya masuk dalam aliran Asy’ariyah dan bukan dalam aliran maturidiah golongan Bukhara.[17]
Jika dibuat perbandingan mengenai kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu dalam hal mengetahui Tuhan (MT), mengetahui baik dan buruk/jahat (MBJ), kewajiban mengetahui Tuhan (KMT) dan kewajiban mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk (KMBJ) dapat dilihat dari Tabel berikut:[18]
ALIRAN
MT
MBJ
KMT
KMBJ
Mu’tazilah
Akal
Akal
Akal
Akal
Asy’ariyah
Akal
Wahyu
Wahyu
Wahyu
Maturidiah Samarkand
Akal
Akal
Akal
Wahyu
Maturidiah Bukharah
Akal
Akal
Wahyu
Wahyu
[1] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1982), h. 5
[2] H. Syarif Al-Qusyairi, Kamus Akbar: Arab-Indonesia, (Surabaya: Giri Utama, t.th), h. 319
[3] Harun Nasution., Op.,cit. h. 9
[4] Ibid., h. 12
[5]Supiana & M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 192
[6]Nash Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:LKIS, 2001), h.33.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandinga, (Jakarta: UI-Press,1972), h.80
[8] Ibid., h.81
[9] Ibid., h. 97
[10] Ibid., h. 98
[11] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandinga,Op.,cit. h. 81
[12] Ibid., h. 83
[13] Ibid., h. 84-85
[14] Ibid., h. 87
[15] Ibid., h. 88
[16] Ibid ., h. 90
[17] Ibid., h. 91
[18] Supiana dan Karman, Op.cit., h. 197
Sumber: http://paudstaialgazalibone.blogspot.co.id/2013/09/a-fungsi-akal-dan-wahyu-menurut-aliran.html?m=1