Asuransi Syariah
A. Pengertian Asuransi
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”. Secara baku, definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Persuransian,”Asuransi atau pertanggunan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggunan mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan diharapkan. Atau, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. “Sedangkan, ruang lingkup masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbul kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang
Asuransi Syari’ah
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-taimin, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau usta’min. at-ta’min ( ا لتأ مين ) diambil dari kata ( أ من ) memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah, “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan. “ (Quraisy: 4).
Asuransi di sebut pula sebagai takaful, tadhamun .
Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah (Ta’min , takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.[4]
Dalam Ensiklopedia hukum Islam bahwa asuransi (at-ta’min) adalah transaksi perjanjian antara dua pihak ; pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan pihak lain erkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Men-Ta’min-kan sesuatu artinya adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya memdapat uang sebagaimana yang telah disepakati, atau mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, deikatakan “seseorang empertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.”
Ada tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar yaitu al kifayah (kecukupan) dan al amnu (keamanan). Sebagaimana firman Allah swt: “…Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”, sehingga sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan, mereka menyebutnya dengan al amnu al qidza`I (aman komsumsi). Dari prinsip tersebut Islam mengarahkan kepada ummatnya untuk mencari rasa aman baik untuk dirinya sendiri dimasa mendatang atau untuk keluarganya sebagaimana nasehat Rasul kepada Sa`ad bin Abi Waqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban masyarakat.
Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta`min atau asuransi syariah dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia juga membagi ta`min ke dalam tiga bagian, yaitu ta`min at-taawuniy, ta`min al tijari, dan ta`min al hukumiy.
image:http://keuangansyariah.mysharing.co
Menurut Mushtafa Ahmad Zaraq, makna asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metodelogi dan gambarannya dapat berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya.
Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan demikina, asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yang saling menolong dalam berbuat kebijakan dan takwa. Dengan ta’awun mareka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.
Dalam buku Aqdu at-ta’min wa Mauqifu asy-Syari’ah al-Islamiyah Minhu, az-Zarqa juga mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipahami para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. tugas ini dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpa musibah. pengganti tersebut diambil dari kumpulan-kumpulan premi-premi mereka. Mereka (para ulama syariah) mengatakan bahwa dalam penetapan semua hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam peleksnaan hak dan kewajiban.
Dari devinisi diatas tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka (resiko).
Oleh sebab itu, premi pada asurasni syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh pesertanya yang terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru’ dana Tabungan adalah dana titipan dari peserta Asuransi Syariah (life insurance) dan akan mendapatkan alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa nilai tunai atau pun klaim manfaat asuransi. Sedangkan tabarru adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life or general insurance).
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’qub, dengan memperhatikan maksud dan tujuan asuransi, maka dapatlah dikatan pembagian lebih lanjut sebagai berikut:
a. Asuransi ganti kerugian
Asuransi ganti kerugian dititik beratkan pada barang atau usaha yang menjadi pokok gantu kerugian. Maksud pertanggungan adalah untuk memberi ganti kerugian kepada nasabah yang menderita kerugian barang atau benda miliknya kerugian terjadi karena bencana atau bahaya terhadap pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa kemunduran dalam bentuk miliknya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh pihak yang bersangkutan. Pembayaran ganti kerugian itu bersifat tidak pasti, bukan saja mengenai besar kecilnya jumlah penggantian itu, tetapi juga mengenai waktunya. Sebab hal ini tergantung dari timbul tidaknya suatu kerugian.
Jenis asuransi ganti kerugian meliputi pertanggungan kebakaran, pengangkutan, pencurian, mobil dan segalanya.
b. Asuransi Sejumlah uang
Asuransi sejumlah uang dititik beratkan pada jumlah uang yang akan diberikan sebagai ganti kerugian. Tujuan kad ini adalah untuk membayar sejumlah uang kepada nasabah, pembayaran tidak tergantung kepada kejadian kerugian, melainkan pembayaran itu bersifat pasti. Asuransi ini dimaksudkan sebagai asuransi jiwa, asuransi bunga hidup dan sebagainya.
B. Dasar hukum asuransi syariah.
Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah. Asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nila-nilai yang dalam ajaran Islam, yaitu al Qur’an dan sunnah Rosul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodelogi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum islam.
Al Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti yang ada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi ( al-ta’min) secara nyata dalam al qur’an. Walaupun begitu al qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerjasama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa mendatang[1].
Ayat-ayat dalam Al Qur’an yang mengandung nilai dari asuransi syariah diantaranya:
Perintah Allah untuk saling berkerja sama
QS. Al Maidah :2
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”( QS. Al Baqarah:185)
Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat dengan mudah untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupannya dimasa yang akan datang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.
Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan
Allah SWT dalam Al Qur’an memerintahkan hambanya untuk sentiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok, karena itu sebagian dari kita dalam kaitan ini berusaha untuk menabung atau berasuransi.
“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr [59]: 18).
QS. Yusuf ayat:46-49
46. (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru): “Yusuf, Hai orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” 47. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. 48. kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. 49. kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur.”
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita suatu pelajaran yang luar biasa berharga, dalam peristiwa mimpi raja Mesir yang kemudian ditafsirkan oleh Nabi Yusuf dengan sangat akurat sebagai suatu perencanaan negara dalam menghadapi krisis pangan tujuh tahun mendatang. Kisah ini sebagai pelajaran untuk menyiapakan proteksi dari suatu ancaman ekonomi di masa mendatang.[2]
Firman Allah tentang Prinsip-prinsip bermuamalah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Maidah :1)
Hadits:
Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf).
Perintah untuk saling melindungi.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda: barang siapa yang menghilangkan kesulitan diniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan akherat”. HR Muslim.
“sesungguhnya orang yang beriman ialah barang siapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa manusia”. HR Ibnu Majah.
Hadist tentang menghindari resiko :
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW. Tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung bertawakal pada Allah SWT? Bersabda Rasulullah SAW.: Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakalah kepada Allah SWT.” (HR. At-Turmudzi)
C. SYARAT DAN RUKUN ASURANSI SYARIAH
Setiap terjadi transaksi harus melewati suatu akad yang mana merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri. Demikian pula halnya dalam asuransi, akad antara perusahaan harus jelas. Apakah akadnya jual beli ( aqd tabaduli ) atau akad tolong menolong ( aqd tafakuli ) atau akad lainnya. Syarat-syarat dalam transaksi adalah adanya pihak-pihak yang berakad, barang yang diakad dan harga.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama fiqih menyatakan rukun akad terdiri atas tiga hal: pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-‘aqd), pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain), dan obyek akad (al-ma’qud ‘alaih).
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu shigat ‘al-aqd (ijab qabul). Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad . Tetapi, termasuk syarat-syarat akad, karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi ang berada dalam akad itu sendiri. Sedangkan, pihak-pihak yang berakad dan objek akad di luar esensi akad.
Karena asuransi syariah menggunakan akad tijarah dan akad tabarru’ maka dalam menngikuti asuransi syariah ini harus memenuhi syarat dan rukun kedua akad tersebut terlebih dahulu.
D. Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru’.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a) hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b) cara dan waktu pembayaran premi;
c) jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru’.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.
Klaim
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru’, merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Prinsip-prinsip Asuransi Syariah
ü Tauhid
ü Keadilan
ü Tolong-menolong
ü Kerja sama
ü Amanah
ü Kerelaan
ü Larangan riba, maisir, dan gharar.
sumber:affgani