Pengertian Ilmu Kalam Dan Ruang Lingkupnya Lengkap
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalama dalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
Adapun Ruang Lingkup Pembahasan dari Teology Islam (Ilmu Kalam) itu adalah :
1. Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
• Dzat Tuhan
• Nama dan sifat Tuhan
• Perbuatan Tuhan.
2. Annubuwwaat yaitu masalah kenabiyan
• Masalah kenabian membicarakan :
• Kemukjizatan nabi-nabi
• Nabi-nabi terakhir
3. Assam’iyyaat yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
• Masalah azab kubur
• Neraka
• Surga
Ruang lingkup Ilmu Kalam
• Ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Alquran itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
o Persoalan Qodimiyah Kalamullah
o Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
o Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq
• Ilmu Ushuluddin Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT, itu Esa Shifa, Esa Af’al dll. Atau yang membahas pokok-pokok Agama.
• Ilmu Tauhid Sebab penamaan Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas masalah keesaan Allah SWT, adalah salah satu bagian yaitu I’tiqodun biannallahata’ala waahidada laasyariikalah,
• Teologi Islam Karena teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu alqoid
Sejarah Ilmu Kalam berdasarkan Politis
Latar belakang berdirinya ilmu kalam secara politis adalah dipicu oleh persoalan-pesoalan Politik yang tumbuh dan muncul mengenai peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berakibat atas penolakan Mu’awiyah dengan diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, setelah wafatnya Usman bin Affan. Maka terjadilah perang Siffin sebagai akibat terjadinya ketegangang antara kubu Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib atas kekhilafahannya, maka dari pada itu tercetuslah keputusan terakhir atau tahkim (arbitrase). Yang dimaksud dengan arbitrase adalah tawaran yang diusulkan untuk memecah pasukan pada kubu Ali bin Abi Thalib menjadi dua bagian, yaitu Pertama, adalah kelompok pendukung Ali yang disebut Syi’ah dan Kedua, adalah kelompok yang menolak ke khilafahan Ali yang disebut Khawarij.
Beberapa firqoh ilmu kalam
Firqoh Khawarij : merupakan golongan yang keluar dari golongan Ali, menentang golongan Ali dan Muawiyyah. Ajaran mereka adalah mereka yang melakukan dosa baik besar maupun kecil mereka dihukumi kafir, dan yang berhak mendudukuki jabatan khalifah itu bukan hanya orang orang kafir.
Firqoh Murji’ah :merupakan golongan yang timbul pada saat terjadinya pertikaian anatara Ali, khawarij dengan golongan muawiyyah, golongan ini bersifat netral tidak memihak salah satu golongan ini. Ajaran mereka yaitu orang yang melakukan dosa baik besar maupun kecil tidak dihukumi kafir tidak juga mukmin melainkan dikembalikan kepada Allah SWT pada hari kiamat
Firqoh Jabariyah : merupakan golongan yang timbul bersamaan dengan firqoh Qodariyyah yaitu timbul karena menentang kebijakan politik bani umayyah yang dianggap kejam. Ajaran mereka yaitu apapun yang dilakukan manusia baik dan buruk adalah terpaksa karena semua yang mengatur apa yang dilakukan manusia hanyalah Allah SWT. Jadi mansia tidak tahu apa-apa.
Firqoh Qodariyah : sama halnya dengan firqoh Jabariyah timbulnya golongan ini karena peretentangan terhadap kebijakan bani umayah yang sangat kejam. Ajaran mereka yaitu Allah itu adil maka Allah SWT akan menghukum orang orang yang berbuat jahat dan memberi kebaikan kepada orang –orang yang berbuat baik. Manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri dan memilih perbuatan yang baik ataupun buruk. Jika Allah menentukan terlebih dahulu nasib kita maka Allah itu dzalim.
Konsep ketuhanan muktajilah
Ketika Hasan masih berpikir, Washil bin ‘Atha’ ( 80-132 H / 699-749 M ) menyela seraya berkata,” Saya tidak menganggap pelaku dosa besar sebagai mukmin yang sesungguhnya dan begitu pun ia belum menjadi kafir dalam pengertian sesungguhnya. Menurut saya, ia berada di antara dua posisi,(almanjilatu bainal manjilataini), bukan mukmin dan bukan pula kafir.”
Kemudian mereka terpecah manjadi dua cabang:
1. Cabang bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Washil bin Atho’. Amr bin Ubaid, Usman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syaham, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Aljubaa’i dan yang lai-lainnya.
2. Cabang baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abi Duaad, tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abu Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Konsep Tuhan Dalam Aliran Asy’ariyah
Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).”
Konsep Keadilan Allah
Masalah keadilan Allah juga menjadi pembahasan yang banyak mendapat perhatian umat Islam. Kata “keadilan” berasal dari bahasa Arab: العدل , yaitu bentuk mas}dar dari عدل, يعدل عدلا . Persoalan keadilan Allah muncul karena Muktazilah
menjadikannya sebagai salah satu dari ajarannya. Mereka menyebut golongannya sebagai ahl al-‘adl, yaitu yang mempertahankan keadilan Allah. Abdul Jabba>r mengatakan, bahwa maksud Allah berlaku adil ialah semua perbuatan-Nya bersifat baik. Ia tidak berbuat jahat, dan tidak melalaikan atau melupakan kewajiban-Nya
Berkaitan dengan pendapat di atas, Muktazilah berpendapat bahwa semua perbuatan yang timbul dari Allah dan berhubungan dengan insan mukallaf ditentukan berdasarkan kemaslahatan manusia. Sementara, Asy’ariyyah cenderung memahami keadilan Allah dari segi Allah sebagai pemilik dan penguasa alam semesta, mengatur kerajaan yang dimiliki-Nya menurut kehendak-Nya.Dengan demikian, Allah yang adil menurut mereka adalah Allah yang berkuasa mutlak di dalam mengatur dan menghisab hamba-hamba-Nya.
Dalam diskursus mengenai keadilan Allah di atas, Muktazilah mengatakan bahwa semua perbuatan Allah berdasarkan atas hikmah dan tujuan. Sesuatu perbuatan tanpa tujuan adalah bodoh dan main-main. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna, kalau berbuat sesuatu, mesti mempunyai tujuan, baik untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain. Demikian pula Allah, juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena Allah Maha Suci daripada sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, maka perbuatan-perbuatan Allah adalah untuk kepentingan mawjūd lain, selain Allah.
Muktazilah juga berpandangan, bahwa Allah tidak menghendaki kejahatan, tetapi menghendaki kebaikan buat hamba-hamba-Nya dan buat seluruh alam. Segala perbuatan bersifat baik dan terbaik. Ajaran itu dikenal dengan nama al-S}ala>h wa al-As}lah Berdasarkan pendapat di atas, Muktazilah mensucikan Allah daripada perbuatan yang buruk karena dalam perbuatan manusia ada perbuatan buruk, maka manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan mereka, bukan Allah. Berdasarkan pendapat itulah Muktazilah memandang manusia bertanggungjawab penuh terhadap perbuatannya. Dengan demikian keadilan Allah bagi Muktazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati-Nya, seperti al-S}alah wa al-As}lah di atas. Allah berkewajiban membuat yang terbaik bagi manusia, dalam pandangan Muktazilah, mengandung arti yang luas sekali. Termasuk di dalamnya mengirim para Rasul, para Nabi, dan memberikan manusia daya untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Al-Asy’ariyyah, seperti yang digambarkan al-Syihrista>ni>, memahami keadilan Allah sebagai pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimilikinya, dan menggunakannya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Paling tidak itulah yang terkandung dalam pengertian adil menurut al-Asy’arii yaitu al-T}as}arruf fi> al-Mulk ‘ala> Muqtad}a> al-Masyi>ah wa al-‘ilmi.
Berdasarkan pengertian itu dapat pula dikatakan, bahwa keadilan dalam pandangan al-Asy’ariyyah adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Ketidakadilan adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap milik orang lain. Oleh karena alam dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam pandangan manusia tidak adil.
Dengan demikian Allah tetap adil walaupun Dia memasukkan orang Mukmin ke dalam Neraka atau memasukkan orang kafir ke dalam Syurga. Dengan kata lain, walaupun perbuatan Allah berdasarkan pada akal sehat, perbuatan Allah adalah keadilan-Nya. Oleh karena itu, jika Allah menambah beban yang telah ada pada manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-Asy’ariyyah, Dia tetap adil. Bahkan Ia tetap adil walaupun memasukkan semua orang, baik yang jahat ataupun yang taat dan banyak amalnya ke dalam syurga. Dari realitas ini, dapat disimpulkan bahwa menurut al-Asy’ariyyah, Allah bartindak sebagai seorang ‘Raja’ yang berkuasa mutlak, tetapi bagi kaum Muktazilah Allah bartindak secara konstitusional.
Oleh karena itu, Allah menurut al-Asy’ari, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, sungguhpun hal sedemikian itu, menurut pandangan manusia, adalah tidak adil. Allah tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, karena di atas Allah tidak ada undang-undang atau hukum, maka perbuatan Allah tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dari kondisi objektif ini, dapat dipahami bahwa, Allah tidak dapat dikatakan bersifat tidak adil. Ketidak adilan boleh timbul jika seseorang melanggar hak orang lain, atau jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu. Dan perbuatan yang demikian itu tidak mungkin ada pada Allah. Jadi, bagi al-Asy’ari, semua perbuatan Allah adalah adil.
Allah adalah adil menjadikan seseorang beriman, dan akan tetap dikatakan adil jika Allah menjadi seseorang itu kafir. Allah, menurut al-Asy’ari, boleh saja menyakiti anak-anak kecil di hari kemudian, boleh menjatuhkan hukuman bagi orang mukmin dan memasukkan orang kafir ke dalam syurga. Sekiranya ini dilakukan Allah, menurut al-Asy’ari, Allah tidaklah berbuat salah. Allah tetap masih bersifat adil.
Tetapi, Allah, menurut al-Asy’ari, tidak akan berbuat demikian, karena Ia mengatakan hanya akan menyiksa orang-orang kafir saja; dan Allah pasti tidak berbohong atas apa yang telah disampaikan-Nya.Allah juga tidak bersifat zalim meskipun Ia menciptakan kezaliman, karena Allah menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim.(af/rol)