Pengertian Ilmu Sastra, Sejarah Ilmu Sastra, Obyek Ilmu Sastra, Tujuan Ilmu Sastra, Ruang Lingkup Kajian Ilmunya Sastra,
1. Pengertian Ilmu Sastra
Berbagai pengertian ilmu sastra telah dirumuskan secara sederhana dan luas oleh pakar sastra. Pengertian ilmu sastra secara sederhana dan luas itu dapat ditemukan dalam beberapa buku baik kamus, ensiklopedia maupun referensi sastra.
Istilah ilmu sastra dalam bahasa Inggris general literature atau literary study. Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra, telaah sastra.
Dalam Pengantar Ilmu Sastra: Teori Sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah. Ilmu sastra menyelidiki karya sastra secara ilmiah (1983: 11). Dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia, berpengertian bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991: 96). Dalam Kamus Sastra, Eneste berpengertian bahwa ilmu sastra
adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya karya sastra (1994: 47). Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, Hasanuddin mengemukakan bahwa ilmu sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah general literature meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra.
Dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki kesusastraan dengan berbagai masalahnya secara ilmiah (2003: 223). Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005 : 347).
Demikian perumusan pengertian ilmu sastra secara sederhana, yaitu ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Pengertian ilmu sastra secara luas dibeberkan di bawah.
Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan Rahmanto menuliskan pengertian sastra sebagai berikut. Ilmu sastra dalam bahasa Inggris general literature, meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra. Obyek ilmu sastra adalah unsur kesastraan yang menyebabkan sebuah ungkapan bahasa termasuk sastra. Di samping unsur-unsur bahasa (struktur, gaya, fungsi politik) faktor-faktor historiko pragmatik dan psikososial. Juga memainkan peranan (misalnya unsur rekaan dalam komunikasi bahasa, perkembangan antara pengertian sastra dan sebagainya).
Cabang-cabang ilmu sastra dapat dibedakan menurut sifat dan lingkup sebuah obyek serta sifat metode (kognitif, cara pengetahuan) yang digunakan. Mengenai cara pengetahuan dapat dibedakan ilmu sastra teoretis dan terapan, yaitu teori sastra (jugadisebut ilmu sastra umum) dan pengkajian teks. Mengenai sifat
dan obyek yang diteliti dapat dibedakan kritik sastra (yang meneliti sastra teks) dan sejarah sastra serta ilmu sastra perbandingan (1985: 125).
Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk mengurai tentang ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks tersebut berfungsi dalam masyarakat (1989: 2).
Ilmu sastra umum merupakan sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan
(1989: 2).
Dari berbagai uraian pengertian di atas rumusan ilmu sastra sebagai berikut.
1. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah.
2. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah.
3. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala sastra.
4. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak
menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan.
2. Sejarah Ilmu Sastra
Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan sastra berusaha merumuskan pengertian-pengertian umum. Ia ingin tahu sifat-sifat yang merupakan ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula kaidah-kaidah serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks – teks sastra, Luxemburg, dkk (1989: 2 – 3).
Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra tidak hanya menekuni kaidahkaidah, sistem-sistem serta modul-modul. Seorang peneliti sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya-karya sastra masing-masing, (Luxemburg, dkk 1989:3).
Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu
(1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain. Misalnya sosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra.
Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong sastra dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang jelas.
Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk Indonesia.
Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan. Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi yang cermat.
Berdasarkan keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak membiarkan terus berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu yang sejajar dengan ilmu lainnya.
Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu yang eksis.
Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaannya pada perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan obyek-obyek kajian ilmu lainnya.
Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan, diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya terdapat unsur fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement.
Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah, hipotesis terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.
Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.
3. Obyek Ilmu Sastra
Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif, bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak mungkin bicara ilmu sastra.
Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1).
Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.
Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya.
Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah hasil perkerjaan yang memerlukan keterampilan sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain.
Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama.
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu.
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan
dua hanya merupakan pengantar (sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan logika puisi yang disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua berupa isi maka disebut syair.
Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa. Tetapi masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun berbunyi gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam tersunyian, sedikit saja usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja dirasakan berbunyi.
Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.
Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh imajinasinya.
Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial, interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar kenyataannya lebih dominan.
Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai keindahan yang berbeda. Saat Siti Norbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya menjadi lain seandainya novel itu diterbitkan sekarang.
Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra.
Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka hasilnya bukan karya sastra.
4. Tujuan Ilmu Sastra
Ilmu sastra telaah karya sastra secara ilmiah. Ilmu sastra membahas esensi ilmu sastra, sejarah dan perkembangan ilmu sastra, metode ilmiah sastra, yang harus dikembangkan ilmuwan atau calon ilmuwan sastra. Tujuan ilmu sastra sebagai berikut:
1. Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari sifat solipsistik mengganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2. Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan sastra.
Kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan sastra modern menerapkan suatu metode ilmiah tanpa
memperhatikan struktur ilmu sastra. Satu sikap yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok dengan struktur ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana berpikir bukan hakikat ilmu sastra.
3. Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis – rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid metode tersebut.
5. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sastra
Ilmu sastra mempunyai ruang lingkup kajian sebagai
berikut.
1. Esensi ilmu sastra.
2. Teori sastra cabang ilmu sastra.
3. Sejarah sastra cabang ilmu sastra.
4. Kritik sastra cabang ilmu sastra.
5. Sastra perbandingan cabang ilmu sastra.
6. Sosiologi sastra cabang ilmu sastra.
7. Psikologi sastra cabang ilmu sastra.
8. Antropologi sastra cabang ilmu sastra.
Source: http://jemssequel.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-ilmu-sastra-sejarah-ilmu.html?m=1