Menu Close

PENJELASAN LENGKAP TENTANG PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS 

 LENGKAP PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS 

A. 1. HADIS MUTAWATIR

a. Menurut bahasa: kata “Mutawattir” adalah isim fi’ildari akar kata “Tawatara” artinya berturut-turut. Sedangkan menurut istilah: adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah bilngan rawi yang banyak, dimana secara kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta terhadap hadis tersebut.

b. Syarat-Syarat Hadis Mutawatir:

1. Periwayatan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra.Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain.

2. Jumlah-jumlah rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.

3. Sandaran hadis mereka adalah panca indera.

4. Mustahil menurut adat kebiasaan mereka sepakat untuk berdusta terhadap hadis tersebut

5. Adanya keseimbangan banyaknya jumlah rawi sejak dari generasi sahabat sampai generasi tabi’in dan sanadnya harus bersambung sampai kepad Rasullah.

c.Hukum Hadis Mutawatir:

hadis Mutawattir itu memberikan faidah pengetahuan yang pasti, artinya hadis tersebut benar-benar meyakinkan, manusia harus betul-betul membenarkan secara pasti, sama halnya dengan menyaksikan sendiri suat perkara. Maka seperti itulah kiranya gambaran nilai hadis Mutawattir.[1]

d. Macam-macam hadiis Mutawattir:

Hadis mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu Mutawatir Lafdzi, Mutawatir Maknawi, dan Mutawattir Amali.[2]

a.Mutawatir Lafdzi adalah suatu hadis yang lafadz serta maknanya bersifat mutawatir[3]

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُول[4]ُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

Seperti hadis: “Barangsiapa sengaja berdusta kepadaku maka hendaklah bersiap-siap menempati tempatNYA di Neraka.”

Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.

b. Mutawattir Maknawy: adalah suatu hadis yang maknanya bersifat mutawattir, bukan lafadznnya. Misalnya: hadis-hadis mengenai hal mengangkat tangan pada waktu sedang berdo’a, hadis semacam ini berjumlah sekitar seratus.  Semua hadis-hadis tersebut menerangkan hal mengangkat tangan ketika sedang berdo’a, akan tetapi terdapat dalam kasus yang berbeda-beda, masing-masing kasus tidak bersifat mutawattir. Jadi, ketentuan mutawattirnya dilihat dari segi jumlah bilangan jalannya.

c. Mutawattir Amali: adalah suatu hadis yang mudah dapat di ketahui kemutawattirannya, dan Nabi pernah melakukannya atau memerintahkannya.

Misalnya: kita melihat dimanapun itu, orang shalat dzuhur dengan jumlah empat raka’at dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang di perintah oleh islam. Dan, kita punya sangkan kuat bahwa, Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya atau pernah memerintahkannya demikian.3

e. Keberadaannya:

            Hadis-hadis mutawattir jumlahnya sangat terbatas, diantaranya hadis tentang mengusap dua sepatu, dan hadis tentang mengangkat tangan dalam shalat, dll.4

f. Sumber-sumber yang mengenai tentang hadis Mutawattir

            para ulama menaruh perhatiandalam mengumpulkan hadis-hadis Mutawattir, kemudian disusun dalam sebuah kitab khusus, agar menggampangkan orang-orang untuk mencarinya. Dianta kitab-kitab tersebut adalah:

a.       Al-azhar al-mutanatsirah fi al-akhbar al- mutawatirah, karya Imam As-Sayuty, tersusun dalam bab-perbab.

b.      Quthafu al-azhar, karya Imam As-Sayuty juga, sebuah kitab ringkasan dari kitab yang dahulu.

c.       Nadlamu al-mutanatsirah min al-hadis al-mutawatirah, karya Muhammad bi Ja’far al-Kitany.5[5]

A.2. HADIS AHAD

a. Menurut bahasa: 

 Kata “Ahad” bentuk jama’ dari kata “Ahada” yang berarti satu. Sedang arti hadis ahad   adalah hadis yang di riwayatkan oleh satu orang.

b. Menurut istilah:

Adalah suatu hadis yang tidak terkumpul syarat-syarat hadis Mutawattir padanya.

c. Hukum-hukum hadis Ahad:

hadis ahad memberikan yang bersifat nadhary (terlihat), yakni suatu yang berdiri di atas teori dan dalil-dalil. 

d. macam-macam hadis ahad bisa kita lihat dari segi jumlah dan jalan-jalannya, yaitu:

1. Hadis Masyhur. Yaitu, hadis yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih dalam tiap-tiap  tingkatan sanadnya selama tidak mencapai batas mutawattir. Adapun hadis Masyhur itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian yaitu: Al-Mustafidl (sinonim bagi hadis Masyhur), Musytafid (lebih khusus dari hadis Masyhur), dan hadis mustafidl (lebih umum daripada hadis Masyhur, yakni merupakan kebalikan pendapat yang kedua).

a. Masyhur bukan istilahi:

Maksudnya adalah suatu hadis yang dudah terkenal atau masyhur di kalangan kaum muslimin, dengan tanpa adanya persyaratan-persyaratan yang di pedomi, karenanya mencakup sebagai berikut: 1.) Suatu hadis yang hanya mempunyai satu sanad. 2.) Suatu hadis yang mempunyai lebih dari satu sanad. 3.) Suatu hadis yang pada dasarnya tidak mempunyai satu sanad.

e. Hukum hadis Masyhur:

            Baik hadis Masyhur istilahi atau Masyhur Ghairu Istilahi keduanya tidak bisa di sifati sebagai hadis shashih, akan tetapi diantaranya ada yang shahih dan ada pula yang hasan serta dhaifbahkan ada pula yang maudlu’. Sebaliknya bilamana hadis Masyhur istilahi itu shahih maka ia mempunyai keistimewaan kekuatan di bandingkan pada hadis Aziz dan Gharib.7[6]

f. Kitab-kitab yang terkenal (Masyhur) adalah:

            yang di maksud dengan kitab-kitab hadis Masyhur disini  adalah hadis-hadis yang Mashur di kalangan para manusia secara umum. Diantara kitab-kitab hadis seperti ini adalah: 

1.  Al-Maqasid Al-Hasanah Fima Istihara Ala Alsinati, karya As-Sachawy.

2. Kasyful Chafa’ Wa Muzail Ilbas Fima Istihara Min Al-Hadis Ala Alsinati Nas, karya Al-ajluny. 

3. Tamyizut Tayyib Min Al-Chabits Fima Yaduru Ala Alsinati Nas Min Al-Hadis, Karya Ibnu Al-Daiba’   As-Syaibani.6

2. Hadis Aziz

a. Definisi:

Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal dari  kata :’azza-ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata:’azza ya ‘azzu yang berarti kuat dan sangat.Disebut demikian karena hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang atau karena kuat dengan adanya sanad yang datang dari jalur lain.

Menurut Istilah hadis Aziz adalah hadis yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat.

Definisi diatas menunjukan bahwa pada tiap tingkatan sanad hadis aziz tidak kurang dari dua orang periwayat.Karena itu,jika pada salah satu tingkatan sanadnya terdapat tiga orang periwayat atau lebih,maka tetap dinamakan hadis aziz. Adapun contoh-contohnya adalah: 

Hadis yang diriwayatkan oleh Syaikhan dari hadis Anas dan Bukhary dari Hadis Abi Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak beriman salah seorang kamu sekalian hingga aku lebih dicintainya dari bapaknya dan anaknya dan manusia semuanya”.

b. Kitab-kitab yang paling Masyhur:

hingga kini belum ada di kalangan ulama yang menyusun kitab khusus memuat hadis-hadis Aziz. Karena, tidak adanya kemanfaatan yang penting menyusun kitab dalam masalah ini.

3. HADIS GHARIB

Menurut bahasa adalah, sifat musyabahah, dengan arti sendiri, atau jauh dari teman-teman dekat. Sedangkan menurut bahasa adalah: hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau satu orang perawi. Hadis yang demikian gharib karena ia seperti orang asing yang menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sisinya atau karena hadis tersebut jauh dari tingkat masyhur, terlebih lagi tingkat mutawattirnya.

Para ulama membagi hadis Gharib dan letak terjadinya ke ghariban menjadi beberapa bagian yang secara garis besarnya kembali kepada dua bagian.

a.  Gharib matnan wa isnada  (Hadis Gharib dari segi matan dan sanadnya) adalah: hadis yang tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad. Hadis ini dikalangan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, lalu darinya hanya di riwayatkan oleh Abu Zur’ah, lalu Abu Zur’ah hanya di riwayatkan oleh ‘Umara, lalu dari ‘Umarah hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail.

b. Gharib isnada la matnan (Hadis Gharib dari segi sanadnya, tidak dari segi matannya) adalah Hadis yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dan seorang rawi atau seorang sahabat atau daru sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur. Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:  “Matan hadis ini dinal dari Nabi SAW. Melalui banyak jalur”.

Adapun bentuk hadis Gharib lain yang telah kami singgung adalah sebagai berikut:

1) Gharib matnan la isnada, yakni hadis yang pada mulanya tunggal (Fardi) kemudian pada akhirnya menjadi masyhur. Hadis Gharib seperti ini merupakan bagian dari hadis Gharib isnadan wa matnan, sebabberbilangnya sanad hadis ini adalah setelah menyendiri.

2).  Gharib ba’dhul matni, yakni hadis yang sebagian rawinya menyendiri dengan tambahan redaksinya.

3). Gharib ba’dhus sanad, (Hadis Gharib sebagian sanadnya), seperti hadis yahya bi ayyub al-Ghafiri. Hadis Gharib yang demikian termasuk bagian hadis gharib isnadan la matnan.

Kedua jenis hadis gharib terakhir ini berkaitan erat dengan pengetahuan tentang penambahan hadis oleh rawi tsiqat.

Para ulama  telah menyusun beberapa kitab tentang masalah ini . Di antaranya adalah Ghara’ib Malik karya al-Daraquthni. Kitab-kitab ini memuat hadis-hadis gharib yang tidak terdapat dalam kitab al-Muwaththa.[7]

4. SHAHIH

            Definisi hadist sahih menurut para ulama adalah hadis yang bersambung sanadnya,yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith dari rawi yang lain(juga) adil dan dabith sampai akhir sanad,dan hadist itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).hadist sahih sebagi hadist yang telah diakui dan disepakati kebenaranya oleh para ahli hadist.8

, مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ

 عِلَّةٍ

Definisi diatas mengandung lima sifat yang harus dimiliki oleh suatu hadist,agar dapat di kategorikan  sebagai hadist sahih,yaitu:

            a. Bersambung sanadnya 

Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadist yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sanpai kepada pembicara yang pertama.konsekuensinya definisi ini tidak mencakup hadist mursal dan munqkhati dalam berbagai variasinya.

            b.keadilan para rawinya 

keasilan rawi merupakan faktor penentu bagi di terimanya suatu riwayat,karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertaqwa dan mengekangnnya dari berbuat ma’siat,dusta,dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) sesesoramg.

            c. kedhobitan para rawinya 

yang dimaksud dengan dhobit adalah bahwa rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik,dengan hafalanya yang kuat ataupun dengan kitabnya,kemudian ia mampu mengungkapkanya kembali ketika meriwayatkanya.persyaratan ini menghendaki agar seorang rawi tidak melalaikanya dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikanya.

            d. tidak rancu

kerancuan (syudzudz) adalah suaatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya.kondisi ini di anggap rancu karena apabila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya,baik dari segi kekuatan daya hafalnya atau jumlah mereka lebih banyak.Dan karena kerancuanya maka timbulah penilaian yang negatif terhadap periwayatan hadist yang bersangkutan.

            e. tidak ada cacat

maksudnya adalah bahwa hadist yang bersangkutan terbebas dari cacat kesahihanya.Yakni hadist itu terbebas dari sifat-sifat smar yang membuatnya cacat.Dengan kriteria ini maka definisi diatas tidak mencangkup hadist mualal bercacat.

Rasionalisasi kebenaran lima syarat tersebut sebagai ukuran kesahihan hadist adalah bahwa faktor kedilan dan kedhabitan rawi dapat menjamin keaslian hadist yang diriwayatkan seperti keadaanya ketika hadist itu di terima dari orang yang mengucapkanya.Bersambungnya sanad dengan para rawinya yang kondisinya demikian akan dapat menghindarkan tercemarnya hadist yang bersangkutan dalam perjalananya dari Rosulullah sampai rawi terakhir.Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keslian dan ketetapan hadist yang bersangkutan serta menunjukan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang mencurigakan.

Adapun perbedaan para ulama’ dalam menetapkan kesahihan suatu hadist itu tidak lain timbul dari salah satu faktor dibawah ini.

            1.perbedaan mereka dalam menentukan apakah suatu hadist telah memenuhi syarat-syarat kesahihan hadist yang telah di jelaskan dimuka,kemudian masing-masing ulama menentukanya sesuai denngan kesimpulan akhir ijtihadnya.

            2. perbedaan mereka dalam mewajibkan di penuhi atau tidak di penuhinya sebagian syarat kesahihan hadist. Misalnya hadist mursal,sebagian ulama menilainya sahih apabila syarat-syarat lainya telah terpenuhi sedangkan sebagian ulama’ yang lain mendhoi’ifkanya karena sanadnya tidak bersambung.contoh lain adalah mengenai di isyaratkanya hadist sahih itu bukan hadist ghorib.

Hadis Sahih terdapat dua bagian:

a.Hadits Shahih Lidzatihi

Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dimana memiliki semua syarat hadits shahih sebagaimana yang telah kita bahas diatas.

b. Hadits Shahih Lighoirihi

Hadits Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihi yang diriwayatkan dari jalur lain yang sama atau yang lebih kuat darinya, contohnya hadits yang derajatnya shahih lighoirihi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قاَلَ : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ “

“ Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah sesungguhnya rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan atas umatku pasti akanku perintahkan kepada mereka bersiwak ketika setiap shalat”(HR. Tirmidzi, Kitab Thaharah).

Sumber-Sumber Hadits Sahih

Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits sahih.Yang paling masyur di antaranya adalah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.Karena tingkat kemasyurannya begitu tinggi,maka orang yang tidak berilmu akan beranggapan bahwa kedua kitab ini telah mencakup seluruh hadits sahih.Kitab-kitab tersebut adalah al-muwaththa’,Sahih al-Bukhari,Sahih Muslim,Sahih ibnu khuzaimah dan Sahih ibnu Hibban.

1.      Al-Muwaththa’           

Kitab ini di susun oleh Imam Malik bin Anas,seorang faqih,mujtahid,pakar hadits nabawi,salah seorang pemuka imam umat Islam dan seorang fuqaha Madinah yang telah dijanjikan oleh Nabi saw.Imam Malik menyusun kitab ini atas petunjuk  khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk mengadakan pembukuan hadis.Beliau dalam beberapa tahun mengoreksinya dan memilih hal-hal yang paling sesuai dengan agama,sehingga kitab itu menjadi kitab yang paling sesuai dengan agama,sehingga kitab itu menjadi kitab paling sahih pada masanya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kitab al-Muwaththa’ adalah kitab tentang hadis sahih yang pertama kali disusun,karena kehati-hatian Imam Malik dalam memilih hadis-hadisnya.

Dengan demikian Imam al-Bukhari adalah orang yang pertama kali menyusun kitab yang memuat hadis-hadis sahih saja.Sanggahan ini dapat disanggah pula bahwa hadis-hadis yang dianggap tidak bersambung sanadnya itu telah dibuktikan bersambung oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Tahmid kecuali empat buah hadits dari kelompok balaghat.

Sebenarnya perbedaan pendapat dalam masalah ini dapat dikategorikan sebagai perbedaan ungkapan saja.Dengan kata lain al-Muwaththa’ adalah kitab sahih yang pertama kali muncul apabila dilihat dari segi kemutlakan cakupannya terhadap hadis sahih yakni mencakup hadis sahih dicampur dengan hadis-hadis yang tidak marfuk,baik ucapan para sahabat maupun ucapan para tabiin.

Adapun Jami’ al-Sahih karya Imam al-Bukhari adalah kitab yang disusun pertama kali yang khusus memuat hadis-hadis sahih karena al-Bukhari membedakan antara ucapan sahabat dan ucapan tabiin dan karenanya ia tidak menyatukan keduanya dengan hadis marfuk melainkan ia mencantumkannya sebagai judul bab.

2.      Al-Jami al-Shahih al-Bukhari

Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari al-Ju’fi.

Ia lahir pada 194 H di Khartank,suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa yang sama pada usia kanak-kanak kemudian menghafal hadis dari guru-gurunya di Bukhara.Dalam penyusunan kitabnya ini Imam al-Bukhari bermaksud mengungkap fikih hadis sahih dan menggali berbagai kesimpulan itu sebagai judul bab-babnya.Sebagai judul bab ia mencantumkan banyak ilmu yakni ayat-ayat Al-Quran,hadis-hadis,fatwa-fatwa sahabat dan Fatwa-fatwa tabiin.Oleh karena itu di kalangan ulama terkenal ungkapan ‘Fiqh al-Bukhari fi Tarajumihi”.

3.      Sahih Muslim

Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi.Lahir di kota Naisabur pada 206 H dan wafat di kota yang sama pada 261 H.

Ia adalah seorang imam agung dan dan disegani.Ia sangat antusias terhadap Sunah dan memeliharanya.Ia sangat hormat dan menghargai imamnya,al-Bukhari sehingga dalam suatu kesempatan ia berkata,”Biarkanlah aku mencium kakimu,hai imam muhadditsin dan dokter yang memberantas berbagai penyakit hadis.”

Kitab al-Musnad al-Sahih dan disebut pula al-Jami’ al-Sahih disusun dengan metode yang tidak dipakai oleh al-Bukhari dalam menyusun kitab Sahih-nya.Sementara itu al-Bukhari memotong-motong suatu hadis di beberapa tempat dan pada setia tempat ia sebutkan lagi sanadnya.

a.       Hukum-hukum hadis-hadis Sahihain

Seluruh hadis sahihain adalah sahih.Penilaian yang demikian berkaitan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang bersambung dan menggunakan bahasa periwayatan yang telah dikenal.

Ijmak pun menunjukkan kesahihan hadis-hadis kedua kitab tersebut.Oleh karena itu apabila dikatakan ‘’Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari’’ atau ‘’Muslim’’ maka hal ini cukup sebagai penilaian atas kesahihan hadis tersebut.Hadis-hadisnya tidak perlu diteliti kembali kesahihannya kecuali untuk pembuktian dan kepuasan.

Apabila dikatakan “muttafaq ‘alaih atau “muttafaq “ala shihhatihi” maka artinya bahwa hadis yang bersangkutan disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim bukan disepakati seluruh umat.

b.      Perbandingan Keutamaan Shahihain

Para ulama berbeda berpendapat kitab mana yang lebih unggul diantara kedua kitab Sahih ini.Lebih utama Sahih al-Bukhari atau Sahih al-Muslim.Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara dua kelompok di atas sangat ringan dan lebih banyak mengenai sistematika daripada yg menyangkut tema atau isi.

Al-Hafizh mengulas kelebihan Sahih al-Bukhari atas Sahih al-Muslim dalam tiga hal berikut.

1.Sehubungan dengan hadis mu’an’an,al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua orang rawi yang secara struktural sebagai guru dan murid agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung.Adapun muslim menganggap  cukup dengan bertemunya kedua rawi  dengan tidak adanya tadlis.

2.Al-Bukhari mengeluarkan hadis-hadis yang diterima dari para rawi tsiqat yang ter.masuk derajat pertama dan sangat tinggi tingkat hafalan dan keteguhannya.

3.Kritik terhadap hadis dan rawi al-Bukhari itu lebih sedikit daripada kritik terhadap hadis dan rawi muslim.

4.Sahih Ibnu Khuzaimah

Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhadits besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.ia dikenal sangat teliti sehingga dalam mensahihan hadits ia menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.

5.Sahih Ibnu Hibban

Kitab ini disusun oleh seorang imam dan muhadits al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti.Ia memberikan nama kitabnya dengan nama al-Taqasim wa al-Anwa.Kitab itu disusun dengan sistematika tersendiri tidak berdasarkan bab juga,tidak berdasarkan musnad dan sulit untuk diungkapkan.

4.      DHAIF

    Pengertian hadits dhaif secara bahasahadits dhaif berarti hadis yang lemah. Para ulama emiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW.Dugaan kuat mereka hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW.Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut:”” Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

 Macam-macam hadits dhaif

Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :

1)      Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

Contoh hadits mursal :

Artinya :

Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.

Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.

2)      Hadits Munqathi’

Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.

contoh hadits munqathi’ :

Artinya :

Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.

3)      Hadits Mu’dhal

Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.

Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :

Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.

Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.

4)      Hadits mu’allaq

Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :

Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :

Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.

Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.

b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi

Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

     6.MAUDHU’

Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .

Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.

“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.

Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:

a)      Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.

b)       adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )

c)       “Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.

2)      Hadits matruk atau hadits mathruh

Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.

3)      Hadits Munkar

Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :

Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”

Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.

4)      Hadits Mu’allal

Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :

Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

5)      Hadits mudraj

Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :

Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.

Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.

6)      Hadits Maqlub

Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.

Contoh :

Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.

7)         Hadits Syadz

Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :

“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.

KESIMPULAN

                        Hadis tidak dapat dipandang dari satu segi saja karena hadits banyak macamnya.Salah satunya yang yang dibahas dalam makalah ini yaitu kuantitas dan kualitas. 

DAFTAR PUSTAKA

        Nuruddin.’Ulumul Hadis.Bandung.PT Remaja Rosdakarya. 2012

[1] Mahmud al-Thahhan,Taysir,hlm.19.

[2] Dalam kitab al-Adab al-Mufarrad karya al-Bukhari,hlm 270

[3] Dalam kitab al-‘ilal,hlm 271

[4] ‘Ulum al-hadits,hlm 242

[5] Al-Allamah Ishaq ‘Azzuz,hlm 22-23

Mahmud al-Thahhan,Taysir hlm.23

[7] Ibid,hlm 28

8 Subhi al-Shalih,’Ulumal-Hadits,hlm 226

Sourche: bodohtapisemangat.blogspot.co.id

Leave a Reply