Armed forces are employed not only for war and the threat of war, whether for purposes of aggression or defense. Throughout history they have had other political and social functions as well. Peter Paret, Understanding War, 1993
PENGANTAR
- Amalgamasi TNI dengan mantan KNIL.
- Melakukan reedukasi prajurit TNI
- Pengiriman calon perwira untuk dididik di pendidikan militer di negeri Belanda
Reedukasi dan pendidikan calon perwira disepakati diselenggarakan oleh Misi Militer Belanda (MMB) selama tiga tahun. Realisasi dari keinginan ini sudah didukung oleh tokoh-tokoh besar terutama Drs. Moh Hatta yang memimpin delegasi RI ke KMB, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Koordinator Keamanan Dalam Negeri, Kolonel T.B. Simatupang, Kolonel Subiyakto, Komodor Suryadarma dan Kolonel Nasution. Para kolonel ini yang tamatan akademi militer menginginkan standar baru bagi APRIS, yaitu modern dan profesional. Keinginan mereka didukung oleh beberapa partai politik yang dipelopori oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketiga, pokok tawaran tersebut, menjadi Program Kabinet RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta, antara lain:
“Mengusahakan reorganisasi KNIL dan pembentukan APRIS dan
pengembalian tentara Belanda ke negerinya dengan waktu yang
selekas-lekasnya (Deppen, 1970, hal.11)”.
Kepelikan lain yang dihadapi pimpinan APRIS adalah timbulnya gangguan keamanan di daerah-daerah, yang berupa pemberontakan yang motivasinya berbeda-beda. Wilayah RIS tercabik-cabik oleh perang saudara. Keamanan merupakan persoalan tertinggi bagi RIS. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks tersebut KSAP Simatupang, menyerahkan penyelesaiannya kepada para Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara, sebagai pelaksana operasional.
ANTARA GAGASAN DAN KENYATAAN
“Yang diterima sebagai anggauta APRIS ialah warga negara RIS, bekas Angkatan Perang Republik Indonesia dan warga negara RIS, bekas anggauta Angkatan Darat yang disusun oleh/atau di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan warga negara bekas anggauta dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda…………..”
(Disjarah A.D. Sejarah TNI-AD, 6, 1982, hal.103).
Konsolidasi kepemimpinan pada tingkat markas besar berhasil diselesaikan. Nasution “menarik” beberapa perwira kharismatis di daerah ke Markas Besar, antara lain Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Sungkono. Memutasi perwira bukan perkara yang mudah pada saat itu. Pertimbangannya termasuk politis dan ideologis. Beberapa perwira kharismatis yang dinilai “berwarna merah” diantaranya para Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Suadi, Sudiarto, di non-job kan. Semula mereka adalah komandan brigade yang kharismatis, termasuk pula Letnan Kolonel Kahar Mudzakkar mantan Kepala Staf Brigade 16 (Seberang), (Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanuddin, 1972, hal.39).
Peristiwa peleburan mantan KNIL ke APRIS, di Negara Indonesia Timur (NIT) ternyata berkembang menjadi masalah serius. Para pemimpin NIT berpendapat bahwa APRIS adalah kesatuan militer yang berdiri sendiri disuatu negara bagian. Pendapat ini sebenarnya mengingkari keputusan hasil konferensi Inter Indonesia bulan Juli 1949.
“APRIS adalah Angkatan Perang Nasional, Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi APRIS”. (Disjarah A.D. 6, 1983, hal.100)
- Keamanan di NIT menjadi tanggung jawab pemerintah NIT, apabila tidak mampu APRIS dari TNI akan di minta
- Pemerintah RIS tidak akan membentuk Gubernur Militer di NIT, tapi dibentuk Komisi Militer dan Teritorial Indonesia Timur (KMIT), yang dipimpin Ir.Putuhena dengan 21 anggota APRIS (TNI).
Mereka mengadakan perjanjian yang dinamakan Kawi Pact di daerah Wlingi. Aktivitas Brigade ini mempengaruhi rakyat sekitar yang antara lain didukung oleh Batalyon Sabarudin. Puncak dari aksi Gerakan Pembela Proklamasi adalah memproklamasikan Pemerintah Demokrasi Rakyat Indonesia, di Blimbing. Mereka menganggap RI yang dipimpin Soekarno Hatta telah menyerah. Tan Malaka diangkat sebagai Presiden dan Letkol Warrouw sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabarudin yang terkenal kejam diangkat sebagai Panglima Besar. Setelah peristiwa itu anak buah Warrouw dan Sabarudin melakukan aksi-aksi yang dianggap melampaui batas. Mayor Banurejo Komandan KDM Kediri diculik dan dibunuh di daerah Kalipare (Malang Selatan).
Kompi Tenges melucuti satu peleton CPM (Haryono) di desa Kluncing dan satu peleton dari Depot Batalyon (Nailun Hamam). Peristiwa ini oleh Mayor Muchlas Rowi, Komandan KDM Malang Selatan dilaporkan kepada komandan Brigade/ Wehrkreise Dr. Soedjono. Dengan “catatan” atas “prestasi” itulah KSAD, memerintahkan batalyon-batalyon dari Brigade 16 (Lama) kembali ke daerah asal di Sulawesi. (M.Muchlas Rowi, Catatan, 2000, hal.39). Keberangkatan Brigade ini ke Sulawesi, telah mengurangi beban pulau Jawa, dan setidak-tidaknya memotong pengaruh jaringan politik kelompok Tan Malaka yang masih kuat di Jawa Timur dan di Jawa Barat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh.
Berita datangnya Brigade Warrouw, disambut oleh Andi Azis bersama kesatuannya yang berkekuatan 800 orang dengan letusan senjata pada 5 April 1950, sehingga brigade memindahkan tempat debarkasinya. Penduduk kota Makassar diliputi suasana panik.
Sementara pada Kementerian Pertahanan telah terbentuk Pos Komando pengendalian yang memantau kondisi keamanan di Indonesia bagian Timur. Tugas posko ini antara lain mempersiapkan satu pasukan expedisi yang sewaktu-waktu diberangkatkan ke Indonesia Timur. Pasukan yang dipersiapkan berkekuatan tiga brigade. Satu brigade dari Siliwangi (Letkol Kosasih), satu brigade dari Brawijaya (Letkol Sokowati), satu brigade dari Diponegoro (Letkol Soeharto) dan satu batalyon dari Brigade 16 (lama) yaitu Batalyon Andi Mattalatta. Setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Andi Azis, Kolonel Kawilarang ditunjuk sebagai Panglimanya dan Letkol Sentot Iskandar Dinata sebagai Kepala Staf. Kolonel Kawilarang ditunjuk karena memiliki kharisma yang tinggi dan disegani oleh kelompok KNIL.
Pasukan expedisi diberangkatkan secara bertahap. Angkatan Udara membawah perintahkan satu pesawat B-25 (pembom) dan pesawat angkut Dakota. AL membawah perintahkan Korvet Hang Tuah. Pada tanggal 26 April 1950 sebagai pasukan berada diperairan Sulawesi Selatan dan sebagian telah mendarat (A.H. Nasution, II, 1983).
Di dalam suasana kacau, Jaksa Agung NIT Dr. Mr Chr Soumokil meninggalkan Makassar menuju ke Ambon dengan pesawat militer Belanda. Pada 25 April 1950, Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan.
Jalan damai yang ditawarkan oleh pemerintah kepada tokoh-tokoh yang menamakan diri pendiri RMS, KSAD memerintahkan kepada Panglima Komando Expedisi Indonesia Timur, untuk merebut dan menduduki Ambon. Panglima Komando Expedisi meminta bantuan perkuatan kepada KSAD dan para Panglima Divisi. Panglima Divisi II/Diponegoro Kol. Gatot Subroto memerintahkan Batalyon Suradji, mantan Brigade Slamet Riyadi, Batalyon Sutarno, Batalyon Yusmin yang ketiganya bekas anak buah Brigade 6 (Sudiarto). Batalyon–batalyon ini oleh KSAD dan panglima divisinya masih di “kategorikan” ber-ideologi merah. Dua orang perwira mantan komandannya yaitu, Slamet Riyadi dan Soediarto di-non job-kan. Mereka berdua bergabung dengan bekas anak buahnya tanpa surat perintah mengikuti pasukan yang berangkat menuju Ambon setelah gagal menghadap Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Oleh Panglima Kawilarang, Slamet Riyadi ditugasi sebagai Komandan Grup. Dengan meletusnya peristiwa pemberontakan bersenjata di Indonesia bagian Timur, setidaktidaknya satu divisi di keluarkan dari pulau Jawa. Kemudian menyusul beberapa batalyon yang diindikasi sebagai kelompok Murba dan Darul Islam ditugaskan ke luar Jawa, seperti batalyon Abdullah, dan beberapa batalyon mantan Hizbullah. Sebaliknya beberapa batalyon dari Sumatra dimasukkan ke Jawa dengan maksud untuk dilucuti dan dibubarkan dengan cara lain seperti Batalyon Pagarruyung dari Sumatra Tengah, Batalyon Bejo dan Batalyon Malau dari Tapanuli.
REAKSI PARTAI-PARTAI POLITIK
“Di tahun 1951 kita usahakan menyusun
suatu kebijaksanaan (rencana strategi) yang bermaksud dalam tempo lima
tahun telah diletakkan dasar-dasar teknis yang layak untuk memberikan
alat modal yang ditempa dan ditumbuhkan oleh pemerintah kearah suatu
tujuan yang akan ditetapkan”yaitu:
- Penyelesaian perang saudara
- Penciptaan suatu missi organisasi TNI dan Staf dan tempat-tempat pendidikan sebagai pangkal untuk membangun Angkatan Perang yang layak (A.H. Nasution,Tjatatan, 1955, hal.7)
Konflik internal APRIS yang sejak awal karena adanya perbedaan pendapat dalam menanggapi keputusan KMB mengenai pembangunan militer baru yang mengkristal menjadi dua kelompok pendapat, yang masing-masing didukung oleh partai politik dan tokoh nasional, disadari oleh Nasution. Kondisi ini oleh Nasution disebut sebagai “bombom waktu” antara kita sendiri (A.H. Nasution, MPT, II, 1983, hal.295-296). Nasution memilih jalan tengah untuk meredakan konflik setelah berhasil melakukan konsolidasi organisasi.
Sebagai anggota Gabungan Kepala-kepala Staf (GKS), tanpa sepengetahuan KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang, Nasution membentuk Panitya B yang bertugas merumuskan kejiwaan TNI sebagaimana yang dituntut oleh kelompok penentangnya. Karena ia berpendapat kredo kejiwaan bagi TNI yang berasal-usul dari tentara revolusi merupakan tuntutan kebutuhan, tidak cukup hanya dengan Sumpah Prajurit. Karena Sumpah Prajurit hanya pedoman keprajuritan (profesional) bukan pedoman kepejuangan (kredo) TNI. Pimpinan panitya ini diserahkan kepada Kolonel Bambang Supeno yang menjabat sebagai inspektur infanteri dan tokoh yang paling gigih menentang keputusan KMB. Ia penentang keras reedukasi yang dilakukan oleh Misi Militer Belanda (MMB). Bahkan ia mempersyaratkan para perwira yang akan atau setelah tamat SSKAD model MMB wajib mengikuti pelatihan di lembaga yang dibentuknya bernama Chandradimuka. Tujuannya untuk membekali dan memperkuat semangat patriotisme TNI. Setiap Angkatan diminta mengirimkan seorang utusan sebagai anggota panitya.
Panitya B ini bekerjasama dengan tokoh partai dan cendekiawan (Insinyur Sakirman, Drs. Moh. Ali, Prof. Dr. Purbotjoroko) berhasil merumuskan kredo (Creed) kepejuangan dan identitas Angkatan Perang RI. Kredo ini terdiri atas 7 pokok yang diberi nama Sapta Marga. Tatkala panitya melapor kepada KSAP Simatupang, ia sama sekali tidak mengerti apa artinya marga itu. Pada 5 Oktober 1952 kredo Sapta Marga disahkan dan wajib dibacakan pada setiap upacara sebagai internalisasinya. Bagi Nasution dengan lahirnya Sapta Marga ini dijadikan jembatan untuk mempertemukan dua kelompok pendapat yang bertentangan satu sama lain, yaitu suatu APRI modern dan profesional yang berjiwa patriot. Sekalipun Sapta Marga sudah terrumuskan, konflik internal dalam APRI memanas kembali karena “intervensi” wakil-wakil partai politik yang ada di parlemen.
“Biarpun kita begitu disibukkan oleh
tugas-tugas pemulihan keamanan dalam negeri, namun ditingkat atas TNI
telah ramai persoalan ini . (AH Nasution, MPT, II, 1983, hal. 304)
“ Hendaknya ditiadakan
pertikaian-pertikaian soal-soal lokal, soal propinsi sendiri, soal
partai, soal boikot, soal menentukan penghargaan, soal kursi, soal
pemilu, soal pidato dan upacara yang sampai kini meminta tenaga dan
fikiran kita yang terbanyak dari kita.” (AH Nasution, MPT II, 1983 hal.
308-309).
“Dinegara-negara yang rakyatnya berkuasa, maka tentara itu berpolitik yaitu menganut politik yang dianut oleh rakyat dan mereka senantiasa berdiri di fihak rakyat…. tidak mungkin disuruh memusuhi rakyat karena kemauan beberapa orang saja. Tentara di Indonesia pun berpolitik. Dengan peristiwa Kolonel Nasution turut mempersoalkan politk baru-baru ini (desember 1950) ternyata tentara di Indonesia pun tentara itu tidak suka disuruh tidak berpolitik.(AH Nasution, MPT II, 1983, hal 313.)
Peristiwa ini berakibat pembatalan rencana strategis 5 tahun Angkatan Darat yang memuat dasar-dasar teknis dengan modal warisan perjuangan untuk penyelesaian perang saudara dan penciptaan organisasi TNI, yang disusun pada masa kabinet Sukiman (April 1951-1952). Sejak itu menurut Nasution militer (Angkatan Darat) hanya memiliki kebijaksanaan terbatas pada pemeliharaan (pengelolaan) angkatan yang bersifat rutin. (AH Nasution, Tjatatan, 1955, hal. 7).
Konfrontasi antara Angkatan Darat dan parlemen serta partai-partai politik masih berlanjut. Namun, Angkatan Perang masih memiliki wewenang SOB yang didalam organisasi SOB itu ada Staf K (Keamanan) yang dipimpin oleh KSAP TB Simatupang. Dengan wewenang ini aktivitas partai-partai politik di daerah bisa dihambat sekalipun bukan di tingkat parlemen.
DAFTAR SUMBER
- Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, Jakarta, 1982.
- Departemen Penerangan RI, Susunan dan Progaram Kabinet Republik Indonesia 1945-1970, Jakarta, 1970.
- DisjarahTNI-AD, Sejarah TNI AD, VI, 1945-1973, Bandung, 1982.
- Muchlas Rowi, M. Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Pemahaman, Jakarta, 2000.
- Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II, Jakarta, 1983.
- Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid III, Jakarta, 1983.
- Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanudin, Makassar, 1972.
- Saleh A. Djamhari, Memoar Jendral TNI (Pur) Soemitro, Jakarta, 1998.
- Simatupang, T.B. Laporan dari Banaran, Jakarta, 1961.
- Simatupang, T.B. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, Jakarta, 1981.
- Suhario Padmodiwiryo, Memoar Hario Kecik, Jakarta, 1995.