Menu Close

Sejarah Perkembangan dan Masuknya Islam di China Terlengkap

Pendahuluan
China adalah sebuah negeri yang sangat unik, memiliki kebudayaan dan peradaban tertua di dunia. Di balik kemegahan dan keajaiban Great Wall (Tembok Rakasasa), kekaisaran China menyimpan jutaan rahasia tentang sejarah dan peradaban Islam, mulai dari Dinasti Tang, Dinasti Sung, Dinasti Yuan, Dinasti Ming hingga Dinasti Manchu. Pada mulanya Islam di China dibawa melalui dua jalur oleh Para saudagar Arab dan Persia, yakni jalur darat dan jalur laut. Jalur penghubung dagang utama ketiga wilayah tersebut belakangan lebih terkenal dengan “Silk Road” (Jalur Sutra) di wilayah barat China.
Berdasarkan informasi beberapa sumber, salah seorang pemuka muslim yang terkenal dalam proses penyebaran Islam di China yaitu Sa’ad bin Abi Waqas melalui “Jalur Sutra” lebih kurang pada abad keempat dan kelima Hijriah. Sa’ad memperoleh penghormatan yang sangat spesial terutama dari Yung Wei, yang ketika itu menjabat sebagai Kaisar pada Dinasti Tang. Sejak saat itu, Islam mulai tumbuh di wilayah tersebut. Dinasti demi dinasti pun terus berganti, sampai akhirnya China berubah menjadi sebuah Republik dengan rezim komunis berkuasa di wilayah itu, yang kemudian terkenal dengan sebutan RRC (Republik Rakyat China). Kendatipun begitu, semangat yang dimiliki oleh minoritas muslim di kawasan itu tak pernah pudar sampai sekarang. Islam, yang diperkenalkan oleh para saudagar yang taat dan cerdas (Arab dan Persia) berabad-abad yang silam, benar-benar telah mengurat-akar dan berpengaruh besar dalam berbagai sendi kehidupan muslim di negeri “Tirai Bambu” tersebut, tidak hanya dalam pemikiran, namun juga dalam sistem nilai dan norma bagi masyarakat muslim di China hari ini. Disadari ataupun tidak, rakyat China telah banyak sekali mengadopsi berbagai ilmu pengetahuan Islam dari masa ke masa.
Adapun sebelum dakwah Islam sampai ke negeri China, yaitu pada masa klasik, negeri ini merupakan negara yang maju dan berbudaya, apalagi ketika dinasti tang berkuasa. Maka tak heran kalau ada sebuah hadits mengatakan, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China.” Adapun kepercayaan atau agama yang dianut sebelum Islam datang ke China antara lain : (1) Kong Hu Cu atau Konfusiasisme (mulai dikenal 531 SM), (2) Agama Tao atau Taoisme yang dibawa oleh Lao Tzu (640 SM)[1], dan yang terakhir berkembang adalah agama Budha yang mulai berkembang secara merata pada masa dinasti Sui dan Tang.
Masuknya Islam ke China
Agama Islam telah hadir di China lebih dari 1400 tahun yang lampau. Dalam hal ini terdapat beberapa teori mengenai kedatangan Islam di China. Teori yang pertama yang tertulis dalam kitab sejarah China, yang berjudul Chiu T’hang Shu diceritakan Cina pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab). Orang-orang Ta Shih ini, merupakan duta dari Tan mi mo ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (Khalifah Utsman bin Affan). Pada masa ini Khalifah Utsman bin Affan menugaskan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk membawa ajaran Illahi ke daratan China (Konon, Sa’ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M, dan kuburannya dikenal sebagai Geys’ Mazars). Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Sejak saat itu Islam dikenal dan mulai tersebar di berbagai wilayah di Cina. Tidak hanya itu, khalifah-khalifah Islam lainnya juga sering mengirim delegasi ke Cina untuk mengajarkan Agama Islam kepada orang-orang Islam Cina seperti halnya yang dilakukan Harun Al Rosyid (A-Lun), Abu Abbas (Abo-Loba) dan Abu Dja’far (A-pu-cha-fo) dalam riwayat Dinasti Tang. Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam menulis, pada tahun 674M-675M, Cina kedatangan salah seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina, Muawiyah melakukan observasi di tanah Jawa, yaitu dengan mendatangi kerajaan Kalingga. Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa Dinasti Umayyah ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa Dinasti Abbasiyah dikirim sebanyak 18 duta.[2]
Teori yang kedua mengatakan Islam masuk ke China melalui Jalur perkawinan, di mana kalau diperhatikan wajah-wajah mereka sangat mirip dengan wajah orang Arab, Parsi, Turki, Uzbekistan, Afganistan dan ada yang kelihatan seperti orang Pakistan. Perkawinan di antara bangsa tersebut telah membantu mempercepat perkembangan dan penerimaan Islam di kalangan masyarakat China.[3]
Teori ketiga adalah melaui jalur perdangangan Lada. Jalur ini dipergunakan oleh saudagar Arab yang melakukan perdagangan melalui laut. Salah satu kesan akan kedatangan para pedagang tersebut adalah berdirinya mesjid-mesjid lama di Guangzhou. Begitu pula dengan peninggalan batu nisan yang telah berukir dengan kaligrafi Arab yang indah yang bisa didapatkan di lokasi itu.[4]
Perkembangan Islam dalam masa lima dinasti
Perlu diketahui bahwa mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam di China adalah Hanafi.[5] Dan gambaran perkembangan peradaban umat Islam pada masa-masa dinasti dapat dikatakan cukup variatif, berikut akan dibahas perkembangan Islam dalam 5 dinasti.
Dinasti Tang (618-907 M) masa keemasan
Dinasti Tang di Tiongkok dibagun oleh Li Yuan, yang dipanggil Kaisar Tai Tsu (618-626 M). Pada masa Kaisar inilah Nabi besar Muhammad SAW. (570-632 M) mengucapkan sabda yang terkenal itu, yang berbunyi: Uthlubul ‘ilma wa-lau bilshini” (Tuntutlah ilmu walau ke negeri China).[6] Adapun perkembangan dan kondisi umat Islam di China pada masa ini, dapat dikatakan hanya sebatas hubungan diplomatik dan perdagangan, karena fase ini merupakan fase awal masuknya Islam ke daratan China. Selama masa dinasti Tang, orang Islam hidup makmur dan dihormati, bahkan kekaisaranpun memberikan perlakuan hak istimewa terhadap para pedagang muslim.[7] Pada dinasti ini ada peninggalan sebuah masjid dengan menara cemerlang di Kanton, menandakan bahwa orang muslim di China pada waktu itu diberi kebebasan hidup dan beribadah.[8]
Dinasti Sung (960 – 1279 M)
Hubungan diplomatik antara kekhalifahan Islam dan kaisar China pada masa ini terus digalakkan. Selain itu pada masa ini umat Islam masuk dalam pemerintahan kekaisaran China. Tercatat Muhammad Kamaluddin pernah diangkat sebagai panglima tentara dan menulis buku mengenai ilmu menggambar.[9]
Dinasti Yuan (1279 – 1368 M) bangsa Mongol
Setelah hancurnya dinasti Sung, negeri ini dikuasai oleh bangsa Mongol dengan mendirikan dinasti Yuan. Pada masa inilah migrasi umat Islam ke wilayah China terjadi dengan pesat bahkan sampai ke pedalaman China, yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Banyak orang Islam menduduki posisi politik pemerintahan, sampai pada posisi yang sangat penting di dinasti tersebut.[10] Dalam bidang astronomi, seorang tokoh muslim Djamal Addin membangun observatorium yang berpusat di Peking. Dalam bidang militer Ismail dan Alauddin berhasil menciptakan meriam untuk peperangan yang disebut dengan Hui-Hui Canon. Pada masa inilah, dalam lawatannya Ibnu Batutah memuji negeri China sebagai negeri yang luas dan makmur, “China adalah negeri yang paling aman dan paling sesuai di dunia bagi para musafir.”[11]
Dinasti Ming (1368 – 1644) masa keemasan
Beberapa kemajuan peradaban umat Islam pada masa dinasti Ming adalah:
Akulturasi dan Asimilasi. Proses panjang akulturasi dua kebudayaan terlihat mewarnai dinasti ini, nampak dari berkembangnya porselen dengan hiasan ukiran Arab, makam, kaligrafi China dan sebagainya. Dalam hal asimilasi, contohnya proses dimana setelah orang Islam menikah dengan wanita Han berganti nama, misalnya Khalid menjadi Kha, Abdullah menjadi Lah, Daud menjadi Dah, Sa’ad menjadi Sa.[12] Seperti itu juga berlaku pada pakaian, sampai sekarang yang banyak dipakai orang Islam dinamakan baju koko berasal dari China bukan dari arab
Gerakan keagamaan. Munculnya gerakan tasawuf/ sufi dan aliran sekte keagamaan. Adapun gerakan tasawuf yang berkembang adalah tarekat Qodiriyah, Naqsabandiyah, Jahariyah dan Khufiyah. Dan yang berkembang pesat adalah tarekat Naqsabandiyah di Xinjiang. Kebijakan-kebijakan saat itu sangat menguntungkan umat Islam, dan umat Islam pun loyal dengan idnasti Ming, ini dibuktikan pada masa pendudukan bangsa asing Manchu, umat Islam terus-menerus memimpin pemberontakan.[13]
Dalam bidang pendidikan dan sains terjadi penerjemahan buku ilmu pasti dan astronomi dari bahasa arab ke China dan juga penerjemahan al-quran dalam bahasa china, setidaknya pada pemerintahan Zhung Xiang kaisar terakhir dinasti Ming.[14] Pendapat lain datang dari Tien Ying Ma, penterjemahan al-Quran kedalam bahasa China benar-benar telah selesai pada tahun 1927 oleh Mr. Lee Tiek Tsing.[15] Dalam bidang astronomi, berhasil membangun observatorium untuk mengamati peredaran bintang dan planet. Menurut Sachiko Murata, ada dua tokoh sufi yang sangat berperan dalam alam pikiran umat Islam China yaitu Wang Tai Yu dan Liu Chih. Karya utama Wang Tai Yu adalah Cheng Chiao Chen Ch’huan (tafsir hakiki tentang ajaran sejati), Ch’ing Chen Ta hsuan (Ajaran agung yang suci dan hakiki) dan His Chen Cheng Ta (Jawaban yang benar tentang kebenaran sejati.[16]
Dinasti Ch’ing (1644 – 1912 M) bangsa Manchu
Pada masa ini tidak ada perkembangan yang berarti dan jusrtu ketertindasan dan pemberontakan, karena orang Islam ditekan dan dijadikan musuh dinasti Ch’ing, yang mana dinasti ini adalah orang asing yang menduduki China setelah dinasti ming berhasil dikalahkannya.[17]
Era baru di China (Republik Tiongkok)
Sekarang ini, kaum komunis telah benar-benar menyempurnakan pengawasannya terhadap China Muslim, mereka telah menghapuskan waqaf yang telah diwariskan kepada mesjid-mesjid dan kelembagaan agama lainnya sepenjang zaman. Harta waqaf adalah sokoguru bagi praktek keagamaan di Tiongkok dan negara Islam lainnya. Islam sangat goncang akibat tindakan ini dan itu berpengaruh besar dalam tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat Muslim di negeri itu. Mereka menggantikan huruf Arab pada masyarakat Sinkiang dan Kansu menjadi huruf Cyrilik. Orang tentu saja dapat membayangkan atas dua perkara yang menjadi objek komunis tersebut. Demikian pula dengan pajak untuk membiayai sekolah-sekolah muslim sama sekali telah dihapus oleh komunis ini, serta dalam bidang kehidupan sosial pun, kaum muslimin dipaksa hidup dalam satu kondisi di mana mereka tak dapat mengelakkan untuk memakan daging babi, yang telah berabad-abad lamanya ditinggalkan. Memang setelah 1975 pemerintah China mengukuhkan hak minoritas untuk mengembangkan kebudayaan mereka dalam framwork negara China. Warga muslim direhabilitasi sepenuhnya dan diijinkan kembali mendirikan sekolah, membuka restoran dan menyelenggarakan aktivitas agama, tetapi ini semua tetap terkekang karena pemerintah China menghendaki integrasi muslim ke administrasi lokal dan tetap memperdaya kekuatan muslim di China.[18] Inilah sekilas kondisi Islam hari ini di negeri Tirai Bambu. Mengenai hal ini, ada sebuah artikel yang terbit pada tanggal 28 Desember 1956 dalam harian Kwangming, kesimpulan dari tulisan tersebut, artinya adalah:” kurangnya perhatian pemerintah terhadap Umat Islam yang ada di wilayah itu, dan penulis sendiri tidak sependapat dengan pandangan bahwa kaum komunis akan berhasil dalam usaha mereka untuk membinasakan Islam di Tiongkok”.[19]
Tokoh yang terkenal dalam peradaban Muslim di China
Zheng He (Laksamana Haji Muhammad Cheng Ho, 1371 – 1435 M).
Misinya adalah mengunjungi berbagai negara di dunia, dan selalu meninggalkan pengikut untuk menyebarkan Islam pada daerah yang ia kunjungi, di aceh sempat memberikan kenangan berupa lonceng besar sebagai tanda persahabatan, termasuk Semarang dan Malaka yang ia berdakwah di sana. Anehnya orang non muslim China memuja-muja cheng ho yang merupakan seorang pendakwah yang luar biasa.[20]
Wang Daiyu (1584-1670 M). Beliau telah menciptakan teori membela Islam dengan membedakan dengan budaya China. Beliau sangat mahir dalam bidang pengetahuan klasik China dan beliau telah menyebarkan inti ajaran Islam dalam masyarakat sekitar China. Pemikiran beliau telah banyak sekali mempengaruhi masyarakat Islam sepanjang sejarah. Adapaun karya-karya beliau di antaranya adalah: True Explanation on The Right Religion (Islam), High Learning in Qing Zhen (Islam).
Yusuf Ma Zhu (1640-1711 M). Beliau dilahirkan di daerah Yunnan. Karya beliau yang paling terkenal adalah Direction in Islam yang berkaitan dengan sejarah Islam, falsafah dan undang-undang serta menitik beratkan bahwa Islam haruslah difahami dengan mengenali sifat-sifat Allah sebagai landasan utama ilmu pengetahuan. Beliau juga mencetuskan prinsip-prinsip Islam sebagai suatu yang amat penting dalam memperbaiki tatanan sosial yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.
Liu Zhi (1665-1745 M). Cendekiawan yang satu ini dilahirkan di Nanjing. Pengetahuannya yang mendalam telah memberi reputasi yang tinggi dalam masyarakat China Muslim. Hasil karya akademiknya yang terkemuka adalah Tian Fang Jian Li (Etika dalam Islam), karyanya ini merupakan satu-satunya karya yang telah dikumpulkan dalam ensiklopedi (Si Ku Quan shu) dan punya tingkatan rujukan yang tinggi pada zaman Dinasti Qing. Ia juga telah diakui oleh para cendekiawan China tradisional sebagai cendekiawan yang sangat membanggakan dalam rangka memahami perspektif Islam yang lebih mendalam.
Yusuf Ma Dexin (1794-1874 M). Beliau sangat terkenal karena kefasihan dan kemahiran dalam berbahasa, khususnya bahasa Arab dan Parsi serta memiliki pengetahuan Islam yang sangat mendalam. Ia telah melakukan penerjemahan Al- Qur’an ke dalam bahasa Tionghoa dan juga menulis berbagai jenis buku mengenai Islam dalam bahasa Arab dan Parsi. Adapun karya-karya beliau di antaranya adalah: The True Revealed Scripture (merupakan sebagian dari kitab penerjemahan Al-Qur’an yang awal), Nahawu wa Saierfu (dalam teks-teks bahasa Arab), Universal Description, dan Huan Yu Shu Yao (mengenai maklumat kalender Islam dan lain sebagainya)
Kelompok Muslim Hui dan Uighur
Dua kaum minoritas Islam utama di Republik Rakyat Cina adalah masyarakat Uighur dan Hui. Keduanya mengikuti Islam aliran Sunna, yang dipadu dengan beberapa aliran Sufi Asia Tengah. Orang Uighur merupakan sebuah suku-bangsa Turki yang aslinya datang dari daerah Gunung Altai, di utara Mongolia sebelah barat. Setelah memerintah Mongolia dari awal abad ke-8 sampai pertengahan abad ke-9 M, mereka pindah ke Turkistan Timur (Cin. Xinjiang ). Sejak itu mereka telah menjadi kelompok kesukuan yang terbesar di daerah itu dan mereka berbicara dalam bahasa Turki mereka sendiri. Akan tetapi, orang Uighur bukanlah masyarakat bersatu. Seperti di masa lampau, pengenal mereka utamanya adalah kota-kota oase yang mereka tempati. Istilah “Uighur” yang digunakan untuk mengacu pada mereka sebetulnya baru digunakan sejak akhir abad ke-19 untuk mempersatukan perlawanan mereka terhadap Wangsa Qing Manchu.[21]
Secara keseluruhan, masyarakat Uighur merupakan orang-orang berperangai lemah lembut dan santai. Mereka tidak melihat kerja sebagai suatu kebajikan sendiri dan mereka juga menghargai kenikmatan hidup. Tingkat pengetahuan dan laku Islam mereka terbilang rendah, dan gaya mesjid-mesjid dan adat-istiadat mereka Asia Tengah. Orang-orang yang tinggal di bagian tengah dan utara Xinjiang sekarang telah mengalami pen-Cina-an yang cukup kuat. Rata-rata, hanya orang-orang lanjut usia saja yang pergi ibadah ke mesjid-masjid, yang keadaannya tak terawat baik. Islam lebih kuat di antara orang Uighur di Xinjiang sebelah selatan tempat sejumlah kecil orang Han juga tinggal. Ibadah Islam di sana lebih tradisional dibanding di daerah yang mutlak ditinggali oleh orang Hui saja.[22]
Orang Hui berasal dari suku-suku bangsa yang beragam, utamanya Arab, Persia, Asia Tengah, dan Mongol. Mereka tinggal di seluruh wilayah Cina. Mereka aslinya datang sebagai pedagang dan prajurit wajib-militer. Gelombang kedatangan mereka dimulai sejak pertengahan abad ke-7. Pada pertengahan abad ke-14, mereka dipaksa untuk kawin-campur dengan orang Cina Han. Alhasil, mereka berbahasa Cina dan adat-istiadat dan mesjid-mesjid mereka semuanya bergaya Cina. Kaum minoritas Muslim Cina lainnya secara turun-temurun mengecam penyesuaian laku Islam yang dilakukan orang Hui dengan cara hidup orang Han.[23]
Secara umum, orang Hui tidak memiliki sikap santai gaya Asia Timur Tengah/Asia Tengah terhadap hidup. Dalam hal cita-cita yang berapi-api terhadap perdagangan dan uang, mereka sama dengan orang Cina. Seperti orang Tibet, mereka menenteng dan gesit sekali dalam memainkan pisau. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar.[24]
Penutup
Umat Islam di China telah sangat lama dan mengakar, walaupun ketika China berubah menjadi negara komunis, Islam ditekan dengan sangat berat, tetap saja Islam tidak pernah punah sampai hari ini. Berbagai perkembangan peradaban juga bisa di raih umat Islam China sampai hari ini. Gerakan tasawuf dan ilmu pengetahuan juga berkembang, bahkan sampai penerjemahan berbagai ilmu pasti dan astronomi pun sudah dilakukan oleh umat muslim China, terlebih juga penerjemahan al-quran ke bahasa mereka.
Yang perlu diingat bahwa sejarah telah mencatat tidak ada satupun agama yang mampu dimusnahkan ataupun ditumpaskan oleh kekuatan senjata atau pengejaran manapun di dunia ini.
sumber: baitulgaul

Leave a Reply