muslim chechnya
Chechnya terletak di pegunungan Kaukasus, yang luas wilayahnya hanya 6.000 mil persegi, atau lebih kecil dari negara Wales, Eropa. Penduduknya yang mayoritas muslim – tak lebih dari satu juta jiwa, terbiasa hidup dalam tekanan, sejak jaman kekuasaan Tsar, dan terutama setelah lahirnya Uni Soviet. Bermula tahun 1920-an, penguasa Soviet melancarkan pemberangusan sistematis terhadap lembaga-lembaga keagamaan, khususnya agama Islam. Namun sepanjang sejarah yang penuh tekanan itu, keberagamaan warga Chechnya tak pernah tanggal, bahkan kian menguat. Tentu saja, korban kekejaman rejim Soviet bertebaran di mana-mana.
Dan sejak perang berkecamuk pasca deklarasi kemerdekaan Chechnya, 2 November 1991, sudah lebih 100 ribu nyawa – kebanyakan warga sipil tak berdosa, melayang. Tercatat 11 ribu tentara tewas, sedangkan pihak Rusia mengklaim telah membunuh 13 ribu gerilyawan Chechnya, sejak berlangsung operasi yang mereka namakan kampanye anti teroris. Kini pemerintahan Vladimir Putin menempatkan 80 ribu tentaranya di Chechnya, untuk menghadapi gerilyawan mujahiddin yang jumlahnya berkisar antara 1.500 hingga 5.000 saja.
Rusia juga mengklaim bahwa kini 850 ribu warga masih tinggal di Chechnya, meskipun sejumlah organisasi kemanusiaan menyangsikan angka tersebut, dan menurut mereka hanya 250 ribuan yang masih menetap. Sedangkan sebagian besarnya, mengungsi ke berbagai negara penampung seperti Turki, dan terutama negara-negara tetangga. Di Republik Ingushetia saja kini terdapat 147 ribu pengungsi Chechnya, dan di negeri-negeri kecil pecahan Soviet sekitar 200 ribuan.
Apa pun tujuannya, perang adalah tragedi kemanusiaan yang selalu menyisakan kisah duka dan nestapa. Ibukota Chechnya, Grozny, dan kota-kota lain luluh lantak dibombardir senjata berat artileri dan pesawat pembom Rusia. Kehidupan sosial ekonomi pun lumpuh total. Selain gerilyawan mujahiddin, hanya warga sipil yang nekad – atau karena tak memiliki pilihan lain, yang mau bertahan di Chechnya.
Ada juga drama lain dalam perang Chechnya, yakni masuk Islamnya sejumlah tentara Rusia, dan mereka kemudian menjadi pejuang gigih bersama mujahiddin. Salah satunya adalah tentara Rusia yang kemudian menganti namanya dengan Abdul Rahman. Beberapa hari sejak ikrar keislamannya, pertengahan tahun 2000, Abdul Rahman melancarkan aksi bom syahid, dengan menabrakkan truk bermuatan bahan peledak ke salah satu pos penjagaan Rusia di distrik Cheroreche di Grozny. Puluhan tentara Rusia tewas.
Fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar warga Rusia kian frustrasi atas kebijakan pemerintahnya melancarkan perang dengan Chechnya. Runtuhnya ekonomi Rusia adalah alasan utama mereka mendesak penghentian perang. Belum lagi rasa aman yang kian susut, menyusul aksi bom syahid atau penyanderaan – seperti yang berlangsung di gedung teater Moskow atau rumah sakit Budyonnovsk (lihat Tiga Bersaudara Menantang Rusia), yang menewaskan ratusan warga Rusia. Sedangkan presiden Putin sendiri tak mampu memenuhi janjinya, bahwa ia akan mengambil tindakan paripurna untuk segera menuntaskan konflik.
Kondisi angkatan perang Rusia di Chechnya juga kian memburuk. Praktek korupsi dan suap merajalela di antara para perwira militer, sementara banyak pasukan di lapangan secara diam-diam berbisnis senjata dan sebagian lain berbisnis kayu – salah satu komoditas penting Chechnya. Banyak pula tentara yang desersi, pulang ke Rusia. Jika ketahuan, pemerintah segera mengirimkannya kembali ke Chechnya, untuk berperang selama 6 bulan. Bila tugas itu tak tuntas – boleh jadi karena terluka, pemerintah akan menagih kompensasi lain.
Mujahiddin
Kalangan mujahiddin sendiri tak memiliki kepemimpinan terpusat. Mereka menyebar dalam unit-unit kecil yang berbasis agama, kabilah, dan aliran politik tertentu. Masing-masing kelompok biasanya terdiri dari 50 hingga 150 pasukan, dipimpin seorang komandan – seperti kelompok Resimen Islam pimpinan Movsar Barayev. Tak jelas berapa jumlah kelompok gerilyawan mujahiddin Chechnya. Jika merujuk jumlah suku saja, di Chechnya setidaknya terdapat 150 teip (klan) yang tersebar di berbagai wilayah.
Presiden terpilih Chechnya, sekaligus komandan sebuah kelompok gerilyawan bersenjata, Aslan Maskhadov, tak pernah berhasil menghimpun kelompok gerilyawan dalam satu kesatuan. Selain kelompok Maskhadov dan keluarga Barayev, ada lagi sejumlah faksi gerilyawan yang cukup disegani dan menjadi target utama Rusia. Salah satunya adalah kelompok Emil Khattab yang bermazhab Wahabi, dan gigih mengupayakan pendirian negara Islam Chechnya. Maret lalu Khattab tewas setelah menghirup racun yang dipasang dalam kertas surat oleh Agen Keamanan Federal Rusia (FSB). Khattab kini digantikan Abu Walid, yang bersekutu dengan komandan gerilyawan lokal, Doku Umarov, dan melancarkan perlawanan di kawasan Barat Chechnya.
Tokoh lain adalah Shamil Basayev, yang dituding Rusia sebagai arsitek sejumlah aksi penyanderaan dan serangan terhadap Dagestan, tahun 1999. Basayev kini lebih banyak bertindak di belakang layar, setelah dua kakinya diamputasi, tahun 2000 lalu, akibat perjuangan di medan laga. Ruslan Gelayev (38 tahun), juga masuk daftar perburuan Rusia. Gelayev bersama pasukannya pernah melancarkan perlawanan spektakuler sepanjang perbatasan wilayah Georgia dan Ingushetia, September lalu.
Faktor Islam
Apapun motif aksi para pemimpin gerilyawan itu, mereka selalu mengangkat Islam sebagai panji perjuangan. Islam sangat ampuh mengangkat moral para gerilyawan melawan Rusia. Lebih lagi karena dalam sejarah panjangnya, kekuasaan Tsar dan rejim komunis Uni Soviet kerap menindas kehidupan beragama di Chechnya.
Itulah sebabnya presiden pertama Chechnya, Dzhokhar Dudaev, pun menggaungkan panji Islam dalam perlawanan menghadapi Rusia, tak lama setelah deklarasi kemerdekaan Chechnya. Dudaev juga mengidentikkan dirinya sebagai pengikut setia kelompok tarekat Kunta-Khadzhi yang sangat terkenal. Padahal sebelumnya Dudaev adalah Komandan Divisi Pembom Strategis, yang turut melancarkan serangan ke Estonia (1988), dan Afganistan di masa pendudukan Uni Soviet.
Dalam sejarah Islam, Chechnya sebetulnya berbeda dengan kawasan Bukhara, Volga atau Daghestan yang menjadi pusat perkembangan kebudayaan Islam – di kawasan-kawasan tersebut lahir, misalnya, ahli hadis Imam Bukhari dan filosof Ibnu Sina. Di jaman Uni Soviet, sejumlah ulama terkenal juga muncul di Makhachkala, ibukota Daghestan, bukan di Grozny.
Islam memang datang lebih belakangan ke Chechnya (ada yang menyebut abad ke-16, ada juga abad ke-18) ketimbang Daghestan. Ia datang secara perlahan dari tenggara pegunungan Kaukasus menuju baratdaya, Chechnya, jauh hari setelah penyebarannya di Azerbaijan, Asia Tengah atau Tatarstan.
Setibanya di Chechnya, Islam segera berbaur dengan tradisi lokal, melalui jalur sufisme. Di sini kemudian berkembang sejumlah tarekat, terutama Naqshabandiyah dan Qadiriyah. Salah satu kelompok tarekat yang hingga kini mengakar kuat, dikembangkan oleh Syekh Kunta-Khadzhi Kishiev pada abad ke-19. Inti ajaran Kunta-Khadzhi adalah egalitarinisme, penolakan terhadap hirarki, dan anti kekerasan.
Namun perjuangan di kancah politik juga dilancarkan sejumlah tokoh Islam, antara lain Syeikh Ushurma yang dijuluki Syekh Mansur. Perjuangan politik berbasis keagamaan Syekh Mansur melawan kekuasaan Tsar tak cuma di Chechnya, tapi juga merambat ke kawasan Daghestan dan Azerbaijan (1785-1791). Setelah era Syekh Mansur, muncullah Imam Shamil pada abad ke-19, penulis kitab yang cukup terkenal, Gazavat (peperangan), untuk menggugah perjuangan muslim. Shamil kerap berlawanan dengan Kunta-Khadzhi yang mengedepankan ajaran anti kekerasan.
Kini, boleh jadi ajaran Gazavat Imam Shamil dan sosok Syekh Mansur lebih berpengaruh di tengah perjuangan warga Chechnya melawan kekejaman tentara Rusia, hingga mereka menggapai kemerdekaan penuh. Dan jika tetap melancarkan pendudukan, tentu Rusia harus mengingat kembali peringatan dari Jenderal Yermolov Kurtz: “Bangsa Chechnya tak kan pernah mau diajak kompromi!”(af/negeriislamchehnya)