Menu Close

Sejarah Perkembangan Islam di Iran Terlengkap

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jika dilakukan penyelidikan terhadap proses masuknya bangsa Iran ke dalam Islam[1] akan didapati bahwa bangsa ini memang siap untuk menerima kebenaran dari manapun juga. Selain itu ada faktor pendukung yaitu ketidakpuasan mereka terhadap penguasa Sasanian dan agama yang mereka anut. Perang berkepanjangan antara kerajaan Persia dan Romawi, juga kemiskinan yang merata dan kemewahan para penguasa ikut menjadi alasan bagi bangsa Iran untuk tidak membela pasukan Persia dalam perangnya melawan pasukan muslim. Di zaman kekuasaan Sasanian, kemasyarakatan dibangun atas dasar sistem kasta tertutup.[2] Sistem ini adalah warisan dari zaman dinasti Hakhamanesh dan Ashkan.

Sejarah berdirinya Iran tidak terlepas dari kerajaan Safawi yang pernah jaya terutama di abad pertengahan.[3] Kerajaan Safawi inilah, termasuk yang berperan dominan dalam menghidupkan dan menyebarkan paham Syi’ah, sehingga sampai sekarang basis utama mazhab Sy’iah, adalah di Iran.

         Iran adalah sebuah Negara Republik Islam yang jumlah penduduknya mencapai 43 juta di mana 98 % beragama Islam. Di antara warga Islam Iran, sekitar 8 % adalah Sunni sedang sekitar 92 % adalah pengikut Syi’ah Dua Belas Imam.[4] Pada tahun 1979, sebuah Repulusi Iran yang di pimpin Ayatullah Khomaeni mendirikan sebuah Republik Islam teokratis sehingga nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran. Sejarah ini, bermula dari kemenangan oposisi Ayatullah Khomeini[5]sebagai tokoh revolusioner dan tokoh Sy’iah. Dengan demikian, berbicara tentang Iran dan perkembangan Islam di negara tersebut, tidak terlepas dari sejarah kaum Syi’ah. Hal seperti ini dipahami, bahwa perkembangan mazhab Syi’ah di Iran di satu sisi adalah perkembangan Islam itu sendiri. 

 Dari uraian di atas, sangat menarik untuk dikaji dan dicermati lebih lanjut tentang sejarah perkembangan Islam di Iran, baik sebelum masa revolusi, maupun sesudahnya. Yang jelasnya bahwa, corak dan perjalanan Islam di Iran penting sekali ditelusuri dalam rangka mengetahui eksistensi Islam di negara tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1.       Bagaimana kondisi Iran sebelum Revolusi?

2.       Bagaimana perkembangan Islam di Iran pasca revolusi?

II. PEMBAHASAN

A. Kondisi Iran Sebelum Revolusi

Peradaban awal utama yang terjadi pada daerah yang sekarang menjadi negara Iran, adalah peradaban kaum Elarnit, yang telah bermukim di daerah Barat Daya Iran sejak tahun 3000 SM. Pada tahun 1500 SM suku Arya mulai bermigrasi ke Iran. Suku utama dari bangsa Arya, suku Persia dan suku Medes, bermukim di Iran. Satu kelompok bermukim di daerah Barat Laut dan mendirikan kerajaan Media. Kelompok yang lain hidup di Iran Selatan, daerah yang kemudian oleh orang Yunani disebut sebagai Persis-vang menja­di asal kata nama Persia. Bagaimanapun juga, baik suku bangsa Medes maupun suku bangsa Persia menyebut tanah air mereka yang baru sebagai Iran, yang berarti “tanah bangsa Arya”.[6]

Pada tahun 600 SM suku Medes telah menjadi penguasa Persia. Sekitar tahun 550 SM bangsa Persia yang dipimpin oleh Cyrus menggulingkan kerajaan Medes dan membentuk dinasti mereka sendiri (Kerajaan Achaemenid). Pada tahun 539 SM, masih dalara periode pemerintahan Cyrus; Babylonia, Palestina, Syria dan seluruh wilayah Asia Kecil hingga ke Mesir telah menjadi bagian dari Kerajaan Achaemenid. Daerah kekuasaan kerajaan ini membentang ke arah barat hingga ke wilayah yang sekarang disebut Libya, ke arah timur hingga yang sekarang disebut seba­gai Pakistan, dari Teluk Oman di Selatan hingga Laut Aral di Utara. Lembah Indus juga merupakan bagian dari Kerajaan Achaemenid. Seni budaya Achaemenid memberikan pengaruh pada India, dan bahkan kemu­dian dinasti Maurya di India dan pemimpinnya Asoka sangat terimbas dengan pengaruh Achaemenid. Namun pada pada tahun 1331 SM Alexander dari Ma­cedonia menaklukkan kerajaan tersebut.[7]Penaklukan keseluruhan kerajaan Achaemenid oleh Alexander dianggap sebagai sebuah tragedi besar oleh bangsa Iran ketika itu. Demikian seterusnya yang pada akhirnya orang Persia kembali memerintah Persia, dan mendirikan kerajaan Ikhaniyah. Demikian seterusnya dan sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa masa-masa selanjutnya berdiri Kerajaan Safawi. Sejak berdirinya Kerajaan Safawi, daratan tinggi dan kawasan sekitar Iran dikuasainya.

Dapat dipahami bahwa Kerajaan Safawi adalah penganut paham Syi’ah, praktis bahwa sejak itu negeri Iran menjadi negara Syi’ah. Dalam hal ini, Iran menjadi negara Syi’ah Itsna Asyariah. Pada periode Safawi, ulama tampil sebagai kekuatan sosial penting. Namun setelah kerajaan ini runtuh, tahun 1722, berdiri lagi Dinasti Zand meskipun tidak lama (1750-1779), yang kemudian digantikan Dinasti Qajar (1785-1925), dan di mana itu kekuasaan ulama kian penting pada era Qajar.[8] Setelah Qajar, berdiri rezim Pahlawiyah, dan pada akhir abad ke-19, ulama menjadi pelaku utama dalam gerakan dan lembaga sosial negeri ini yang pada gilirannya terbentuklah Republik Iran.

Sejak masa lalu sampai berdirinya Kerajaan Safawi, Iran dikenal dengan nama Persia, dan dalam sejarah dikatakan bahwa pada tahun 1935 berubah nama menjadi Iran.[9]Kemudian setelah terjadi revolusi tahun 1979 sebagaimana data di atas berganti nama menjadi Republik Islam Iran, yakni Islamic Republik of Iran, atau al-Jumhuria al-Islamia Iran, dan bila diperhatikan peta dunia, peta tersebut menunjukkan bahwa Iran menjadi negara terbesar kedua di Timur Tengah setelah Saudi Arabia.

Berdirinya Iran tentu juga dimulai dengan sejarah yang panjang, di mana terjadi pergolakan antara negara (penguasa) dengan ulama. Antara tahun 1992 dan 1905, sekalipun sebagian ulama menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Qajar, namun peran ulama tidaklah signifikan. Sebab ketika itu, kerajaan bisa dikatakan dibawa kendali Rusia. Pengkaburan antara pemerintahan konstitusional dan instusi keagamaan terjadi. Saat itu, instituusi Islam di pemerintahan merupakan perwakilan yang tidak berkuasa mutlak. Dengan begitu, mengantarkan ulama membentuk sebuah koalisi dengan kalangan liberal, dan kaum pedagang untuk menentang Kerajaan Qajar.[10] Akhirnya pada tahun 1906 dilaksanakan sidang keanggotaan konstituante,[11] dan keanggotaan tersebut telah mencerminkan sebuah koalisi antara kalangan ulama, pedagang, dan kelompok liberal, menciptakan konstitusi yang secara resmi berlaku sampai tahun 1979. Konstitusi baru tersebut mendudukkan Sang Shah di bawah parlemen Parlementer, dan menyatakan secara tegas Islam sebagai agama Resmi Iran. Hal inilah yang kemudian menuntut pemerintah untuk memberlakukan syariat Islam, dan membentuk komite (majelis) ulama yang bertugas mengevaluasi komformitas perundangan baru dengan hukum Islam.

 Pada awal abad ke-19, ulama telah memiliki peran yang dianggap signifikan dalam pemerintahan Iran. Revolusi Konstitusi Iran terjadi tahun 1905-1906 ini berhasil mengakhiri kekuasaan absolut raja, hal ini disebabkan oleh timbulnya protes dari para pedagang dan kaum ulama terhadap menguatnya pengaruh barat,[12] munculnya tuntutan atas dirombaknya tradisional dan terjadinya fragmentasi di kalangan penguasa Qajar sendiri.[13] Revolusi Konstitusional ini merupakan hasil suatu persekutuan antara kaum pedagang Bazaar, ulama, cendekiawan, bangsawan pemilik tanah dan sejumlah kepala suku. Mereka kemudian terwakili di dalam Majelis (parlemen), sebuah badan yang dibentuk setelah terjadinya Revolusi ini, dan ikut menjalankan roda pemerintahan bersama raja.[14]

Namun pada akhirnya, pada tahun 1907 dan 1908, Shah menggunakan Brigade Cossak untuk membubarkan parlemen, dan akhirnya pada tahun 1909-1911 ulama terpecah, dan cita-cita mewujudkan pemberlakukan syariat Islam belum terwujud sepenuhnya, apalagi ketika itu, Rusia kembali mencampuri urusan dalam negeri Iran. Demikian seterusnya, hingga terjadi perang dunia I, maka antara tahun 1911 sampai tahun 1925, Rusia menguasai Iran bagian Utara, dan Inggris menguasai Iran bagian Selatan.[15]Sejak itu , Iran mengalami kemunduran dan pada gilirannya Shah turun tahta, yang selanjutnya diambil alih oleh  Shah Resa Pahlevi (Rezim Pahlawiah), dengan pemerintahan yang otoriter dibawa kendali Rusia dan Inggris.[16] Di saat itu, terjadilah westernisasi kultural, dan menjinakkan kekuataan ulama.

Pada akhir 1920-an Reza Shah, seorang perwira militer, merebut kekuasaan dan mendirikan Dinasti Pahlevi. Terimbas oleh langkah rekan sezamannya di Turki, Mustafa Kemal (Ataturk),[17] dia memusatkan perhatiannya pada moderenisasi dan pembentukan pemerintahan terpusat yang kuat.mengandalkan angkatan bersenjata dan birokrasi modern.[18] Berbeda dengan Ataturk, Shah tidak menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan, tetapi hanya membatasi dan mengontrol mereka.[19]

Sejak itu Iran mengalami proses pembentukan negara bangsa[20] yang serupa dengan proses yang berlangsung di Turki dan sejumlah negara lain. negara menjadi motor perkembangan ekonomi serta perkembangan kebudayaan menurut model Barat. Namun berbeda dengan Turki golongan menengah menjadi kelas penopang utama bagi rezim Pahlevi. Selain itu Shah juga mengembangkan angkatan bersenjata baru yang lebih kuat. Banyak ulama yang mendukung pengambil alihan kekuasaan oleh Reza Shah guna memulihkan monarki yang kuat untuk meredam pengaruh asing.[21]

Tampilnya Shah Reza sebagai penguasa Iran, mengatasi oposisi elite agama, dia membentuk pemerintahan sekuler, dan sekolah-sekolah menjadi sekuler, pengawasan pemerintah terhadap sekolah agama ketat, dan subsidi untuk pendidikan agama dikurangi. Sampai pada akhirnya ketika terjadi perang dunia II tahun 1939, Iran menyatakan kenetralannya, tidak berpihak. Namun tetapi sekutu ingin menggunakan jalan kereta Trans-Iranian Railway untuk mengirimkan peralatan perang dari Inggris kepada Rusia di bawah Stalin. Bagaimanapun juga, Reza Shah pada titik tertentu di bawah tekanan Jerman-Hitler. Di akhir tahun 1930 lebih dari separuh perdagangan luar negeri Iran adalah dengan Jerman yang menyediakan mayoritas permesinan untuk pro­gram industrialisasi Iran. Selanjutnya tahun 1941 imperialis Inggris dan Rusia-Stalin menginvasi Iran. Mereka memaksa Shah Reza untuk mengundurkan diri, menempatkan putranya Muhammad Reza Pahlevi se­bagai penggantinya. Shah yang baru mengijinkan mereka untuk menggunakan rel kereta api tersebut dan menempatkan pasukannya di Iran hingga perang selesai.[22]

Kehadiran pasukan perang imperialis Inggris di Iran selama masa pertempuran mendorong timbulnya gerakan massa. Di dalam majelis (parlemen) suatu kelompok nasionalis di bawah pimpinan Mossadeq me­nuntut diakhirinya kontrol Inggris atas industri minyak. Pada tahun 1951 majelis menyepakati suara untuk mena­sionalisasi industri minyak, tetapi Perdana Menteri menolak untuk mengimplementasikannya. Dia kemu­dian dipecat dan digantikan oleh Mossadeq. Menyadari bahaya akan kebijakannya yang anti-imperialis, maka pada tanggal 16 Agustus 1953 CIA melancarkan kudeta terhadap Mossadeq. Pada tanggal 19 Agustus Shah kern­bali berkuasa. Sekali lagi pada tahun 1960-1961krisis politik dan ekonomi kembali mengemuka, ketika pemilihan majelis dimanipulasi besar-besaran. Kekacauan politik dan eko­nomi menimbulkan sebuah pemogokan umum yang secara brutal ditindas dengan pertolongan agen polisi rahasia yang kejam, Savak. Shah memperkenalkan apa yang disebut dengan program “Revolusi Putih,” pro­gram reformasi agraria yang dikombinasikan dengan langkah-langkah pendidikan dan kesehatan. Dari tahun 1963-73 secara politik dan ekonomi Iran relatif stabil. Shah mencoba menggunakan dana untuk merubah Iran dalam semalam menjadi apa yang dia gambarkan sebagai negara adidaya kelima di dunia. Dengan ilusi ini dalam pikirannya, dia merayakan ulang tahun ke 2.500 pendirian pertama kerajaan Persia pertama oleh Cyrus pada tahun 550 SM. di tahun 1971. Akan tetapi, penghasilan minyak segera diikuti dengan inflasi yang pesat, migrasi masal ke daerah perkotaan, minimnya perumahan dengan infrastruktur yang tidak mencukupi serta jenjang pendapatan yang semakin melebar. Kondisi ini memicu kekecewaan yang mendalam di antara para buruh, kaum petani dan kelas menengah yang termuntahkan dalam sebuah ledakan gerakan masa revolusioner. Pemogokan umum yang dilakukan kaum pekerja melumpuhkan sistem. Akan tetapi karena kebijakan yang diambil oleh Partai Tudeh (Partai Komunis) dianggap salah, revolusi tersebut dibajak oleh para fundamentalis.

Pada puncak gerakan itu, Khomeini sedang ber­ada di Perancis, di mana dia memperoleh dukungan dari golongan pemerintah di Perancis, yang melihatnya sebagai sarana untuk membelokkan revolusi itu dari relnya. Singkat sejarah, transisi kepemimpinan dari Syah Muhammad Reza Pahlevi, digantikan oleh gerakan revolusi Islam pimpinan Ayatullah Rohullah Khomeini pada tahun 1979. Namun di tahun yang sama bulan Nopember pemerintahan-nya sempat vakum, sebab Syah diizinkan masuk ke Amerika dan mendapat perlindungan dari Presiden Ronald Reagen.[23]Amerika yang telah menjadi negara Adikuasa ketika itu menekan Iran, dan menginginkan agar Syah kembali berkuasa di Iran. 

Suasana seperti yang disebutkan di atas, menyebabkan pendukung Khomeini bergerilanya dan pada akhirnya mereka berhasil memberikan kekuasaan besar kepada walih faqih, ahli hukum kepala wilayat/negara, Imam Khomeini. Pada tahun 1980, sampai memasuki tahun 1981, para pendukung Khomeini mengusai lembaga penting negara, dan ketika terjadi pemilihan presiden dan parlemen pada juni 1981, mereka menguasakan sepenuhnya kepada Komeini. Di sinilah mulai Iran memasuki masa revolusi besar-besaran, dan mengundangkan misi religius Syi’ah, di Republik Islam Iran.

B. Perkembangan Islam di Iran Pasca Revolusi

Membahas masalah Islam di Iran dan sejarahnya, sudah barang tentu difokuskan pada sejarah perkembangan Islam di negara tersebut terutama setelah/pasca revolusi, sebab pra revolusi secara eksplisit telah disinggung dalam uraian terdahulu, dari tahun 2700 SM sampai memasuki tahun 1979 sebagaimana yang telah dikemukakan. Dengan demikian, bahasan berikut dimulai sejak tahun 1979, sampai masa sekarang, sebagai masa yang dikenal pasca revolusi Iran.[24]

Sejak awal Revolusi Islam, pemerintah Iran telah mencanangkan program perang melawan buta huruf. Terkait hal ini, Bapak Pendiri Revolusi Islam, Imam Khomeini menugaskan dibentuknya Lembaga Kebangkitan Melek Huruf. Upaya kontinyu dan tak kenal lelah lembaga ini berhasil menurunkan secara drastis angka buta huruf. Sebelum Revolusi Islam, angka buta huruf di Iran mencapai 50 persen, namun pasca Revolusi angka ini berhasil ditekan menjadi 10 persen. Prestasi cemerlang Lembaga Kebangkitan Melek Huruf ini bahkan berkali-kali mendapat pujian dan penghargaan dari lembaga-lembaga internasional, termasuk Unesco.

Revolusi Islam Iran telah memberikan karunia, berkah dan keberhasilan yang begitu berharga bagi rakyat Iran. Revolusi ini telah menghadiahkan nilai-nilai luhur seperti  tuntutan kemerdekaan, kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemandirian. Nilai-nilai inilah yang mendorong rakyat Iran untuk terus berjuang memutus ketergantungan di bidang ekonomi, politik, dan budaya asing serta mewujudkan keadilan ekonomi dan kemajuan iptek.[25]

Angin Revolusi yang dihembuskan Barat nampaknya menimbulkan adanya upaya pembenahan di dunia Islam, serta upaya perjuangan yang membebaskan diri dari kekuasaan kolonial, membentuk dan mengembangkan negara bangsa yang merdeka dengan segala tekanan dan permasalahan modernisasi. Menurut Jhon L. Esposito, pengaruh moderenisasi tersebut banyak memberikan tekanan terhadap perubahan sistem politik negara-negara muslim terutama pada awal abad keduapuluh.[26]

Masalah utama dari perubahan ini adalah bagaimana menerapkan konsep dan struktur Islam kedalam realitas sosial politik moderen yang notabene merupakan pengaruh Barat.[27]Upaya semacam ini mengambil berbagai bentuk. Upaya-upaya intelektual untuk membangun suatu moderenisme Islam berakar dalam karya-karya tokoh semacam Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India, Ali Syari’ati dan Imam Khomeini di Iran dan beberapa pemikir lainnya. Selain itu, terjadi pula penyesuaian–penyesuaian penting dalam struktur-struktur kelembagaan Islam di beberapa negara muslim di kawasan-kawasan Islam yang telah ada.

Islam senantiasa menekankan perlunya menuntut ilmu. Ada banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang mengajak kaum muslimin untuk menuntut ilmu di manapun dan kapanpun. Ajakan ini disikapi secara serius oleh pemerintah dan rakyat Iran. Pada tahap awal, pemerintah Republik Islam Iran berusaha membukan peluang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat untuk bisa mengenyam pendidikan formal, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pasal 30 UUD Republik Islam Iran menyatakan, “Pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan dan pengajaran gratis bagi seluruh rakyat hingga akhir tingkat pendidikan menengah dan mengembangkan pendidikan tinggi secara gratis pula hingga semampunya”.

Ayatullah Khomeini sebagai Tokoh yang berhasil merekayasa keruntuhan monarkhi Persia, dan menjadikan Iran sebagai negara yang bermartabat (wilayah al-faqih)[28] dengan melembagakan ideologis atas gagasan-gagasan politik Syi’ah.[29]Dengan demikian bahwa, perkembangan Syi’ah di Iran merupakan petanda perkembangan Islam di Iran. Sebab qanun (undang-undang) yang diberlakukan pasca revolusi, adalah berdasar pada mazhab Syi’ah.

 Penduduk Iran (tahun 2000) jumlahnya 159.051.000 jiwa, 93% adalah masyarakat muslim Syi’ah, dan 5% Sunni, selebihnya 2% agama lain.[30] Demikian dominannya populasi Syi’ah, sehingga bisa juga dikatakan bahwa Iranadalah negara Islam Syi’ah yang secara yuridis formal dan faktual menjalankan undang-undang kenegaraan berdasarkan ijtihad dengan sebutan Wilāyat al-Faqīh.[31] Peran dan tanggung jawab Wilāyat al-Faqīh ini dapat tergambar dalam petikan Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran tentang kepemimpinan negara, bab I pasal 5 :

Selama masa ketidakhadiran Imam yang kedua belas (semoga Allah mempercepat kedatangannya), dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan umat merupakan tanggung jawab faqih yang adil dan taqwa, mengenal jaman, pemberani, giat dan berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas umat sebagai Pemimpin mereka. Apabila faqih seperti itu tidak mempunyai mayoritas semacam itu, suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha’ yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang tanggung jawab itu.[32]

Munawir Syadzali  menjelaskan bahwa ketika muslim Iran memasuki masa revolusi, tampaknya pemerintahan Islam Iran sebagai perpaduan  antara dua konsepsi modern dan Imamiyah, maka seperti halnya di negara-negara lain, di Iran sekarang terdapat lembaga- eksekutif, legislatif, dan sebagainya. Ada presiden/ kepala negara dan kabinet, ada pula Departemen, Dewan Perwakilan Rakyat dan anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, tetapi di atas lembaga-lembaga itu semua terdapat seorang ilmuan agama yang memiliki kata akhir, dan di mana perlu, dapat menolak untuk menyetujui keputusan atau kebijaksanaan yang diambil oleh lembaga-lembaga tersebut.[33]

Demikian pula Ira M. Lapidus menyatakan bahwa revolusi Islam Iran melahirkan konfigurasi yang khas antara negara Iran dan Institusi Islam, bahkan ia merupakan sebuah peristiwa besar dalam seluruh sejarah masyarakat Islam. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan antara negara Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung selama sekitar 200 tahun.[34] Meskipun demikian, pola hubungan ulama-negara dalam sejarah Iran terutama setelah memasuki abad ke-19, tepatnya sesaat revolusi Iran terjadi paham Syi’ah telah menjadi bagian penting bagi ulama Iran, dan umat Islam Iran. Dengan demikian, revolusi Iran tidak dapat dikatakan sebuah oposisi agama yang bersifat inheran terhadap otoritas negara, melainkan harus dipahami sebagai respon terhadap beberapa situasi spesifik.

Masyarakat dunia Islam, menganggap bahwa Revolusi Iran merupakan kejadian yang secara simbolis penting. Revolusi Iran memperlihat-kan bahwa rezim sekular yang dipengaruhi oleh Barat dapat ditumbangkan oleh kekuataan oposisi yang diorganisasi oleh para pembaharu Islam. Karena kaum revivalis Islam mendengungkan perubahan seperti itu sejak akhir abad ke-19, namun tanpa sukses, revolusi mampu memberikan daya dorong baru bagi perjuangan mereka dan memicu munculnya aktivitas fundamentalisme Islam dari Maroko hingga Asia Tenggara.

Negara Iran menjadi pusat Perhatian masyarakat dunia  pasca Revolusi  di mana  umat Islam Iran langsung bersentuhan dengan konplik. Hal itu dipahami dengan terjadinya krisis teluk pertama di mana pada Bulan September 1980, Irak menginvasi Iran dan pecah perang balas-membalas yang berlumuran darah hingga tahun 1988. Konplik terjadi delapan tahun lamanya, sementara bangsa-bangsa muslim telah berulangkali menghimbau kedua negara tersebut rujuk.

Pasca perang teluk, masyarakat muslim Iran kembali berkabung nasional tepatnya pada tanggal 3 Juni 1989 oleh karena Khomeini meninggal. Sebagai pemimpin spiritual tertinggi Iran, ia digantikan oleh Ayatullah Ali Khomeini. Di bawah kepemimpinannya, para ulama dilibatkan, dan mereka melakukan perubahan (reformasi) kehidupan sosial dari corak kebebasan Barat menjadi perilaku kehidupan masyarakat muslim. Dari sini kemudian berlanjut babakan signifikan perkembangan sejarah Islam di Iran, sampai saat ini.

Pemerintahan Islam Iran, saat ini mengkonsepsikan bahwa semua urusan agama harus berpegang pada imam, sebagaimana kaum sunni mengembalikan seluruh persoalan agama pada Alquran dan Sunnah, atau ajaran Nabi saw. Bagi umat Islam Iran menyakini bahwa manusia sepanjang masa tidak pernah sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam.

Dengan konsep pemerintahan Iran yang demikian, masyarakat muslim Iran bangkit melawan penindasan itu yang dipimpin oleh seorang alim yang kharismatis, seorang mujtahid yang wara’, zuhud dan sekaligus filosof Muslim yang ahli irfan: Ayatullah Ruhullah al-Musawi al-Khomeini. Kekuatan apa yang melatar belakangi masyarakat muslim Iransehingga begitu gigih mereka dalam melawan setiap gagasan sekularisasi dan westernisasi, dan berhasrat untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup mereka dalam segala aspek kehidupannya. Bagaimana pula keyakinan mereka tentang khilafah dan imamah dalam kerangka kenegaraan pasca tergulingnya Syah Iran itu sebagaimana yang telah disinggung. Seakan belum selesai terjawab, muncul fenomena kedua yang tak kalah pentingnya, yaitu tergulingnya Saddam Husein dari singgasana kekuasaannya di Irak, bahkan nyawanya terenggut dengan putusan hukum mati dari majlis hakim. Irak dengan pemimpinnya yang semula ketika berkuasa didukung sepenuhnya oleh negara Arab dan negara sekutu, dengan dukungan per-senjataan modern, termasuk senjata kimia, dengan menghabiskan dana milyaran dollar dalam perangnya selama delapan tahun melawan Iran.  Padahal Iran baru setahun melewati masa revolusinya terlepas dari hegemoni negara-negara Barat. Dunia seakan terkejut bahwa negeri Iran sebagai pemeluk mazhab Syi’ah (mazhab Ja’fari, atau Syi’ah Imamiyah). Mereka tinggal di sekitar makam-makam suci Imam-imam mereka yang antara lain terletak di Najaf dan Karbala, Irak. Pemeluk mazhab itu tidak lain adalah orang-orang yang sejak dahulu kala percaya bahwa ahlul bait Nabi saw adalah panutan dan pembimbing spiritual yang tak akan pernah menyimpang dari kebenaran sebagai pedoman kehidupan.

III. PENUTUP

Dari analisis yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.    Iran termasuk negara tua di dunia, ia merupakan wilayah peninggalan Kerajaan Safawi-Persia. Kerajaan ini dikenal sebagai penyiar mazhab Syi’ah, dan karena itu maka masyarakat muslim Iran sampai saat sekarang dominan berpaham mazhab Syi’ah. Setelah revolusi tahun 1979, negara Iran diproklamirkan sebagai Republik Islam Iran, atau Islamic Republik of Iran, atau al-Jumhuria al-Islamia IranNegara inimerupakan negara terbesar kedua di Timur Tengah setelah Saudi Arabia.

2.  Pada tahun 2000 setelah  diadakaan sensus maka, penduduk Iran yang jumlahnya 159.051.000 jiwa, 93% adalah masyarakat muslim Syi’ah, dan 5% Sunni, selebihnya 2% penganut agama lain. Berkenaan dengan itulah, Sejarah perkembangan Islam di Iran, tidak terlepas dari sejarah perkembangan mazhab Syi’ah dan eksistensinya sebagai mazhab resmi negara. Adapun tokoh penting dalam sejarah perkembangan Islam di Iran sejak awal mula berdirinya sebagai negara republik adalah Ayatullah Khomeini yang telah berhasil memimpin Iran dan sebagai wilayah al-faqih. Pemerintahannya merupakan perpaduan antara dua konsepsi, modern dan Imamiyah.

Catatan admin:
Materi diatas hanya untuk pengetahuan kita saja, mengenai soal akidah, kita harus berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Hadits,

DAFTAR PUSTAKA

Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, jilid VI. Oxford: Oxford Univercity Press, 1995.

———. dan Jhon O. Voll. Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek. terj. Rahmani Astuti. Bandung: Penerbit Mizan, 1999

Gayo, Iwan (ed). Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara Baru. Cet. VI; Jakarta: Dipayana, 2000.

Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. terj. Ghufron A. Mas’udi. Ensiklopedi Islam: Ringkas. Edisi 1. Cet. 3; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Holt, P. M. dkk, The Cambrigde History of Islam, vol 1. Cambridge: University Press, 1980.

Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Undang-Undang Dasar Iran, Pasal 5 bab I.

Lapidus, M. Ira. A. History of Islamic Societes diterjemahkan Ghufran A. Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Umat Islam, jilid II dan III Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

Lewis, Bernard. The Political Language of Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bahasa Politik Islam. Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Meuleman dan Johan Hendrik. Dinamika Abad Ke-20 dalam “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam”. Jilid 6. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1985.

Noah, Webster’s Now Twentieth Century Dictionary. Cet. III; London: William   Publisher man, 1980.

Siddiqie, Nuruzzaman. Syi’ah dan Thawarij dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Sihbudi, Riza. “Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi” dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 2. Jakarta: 1991

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pe-mikiran.  Cet. III; Jakarta: UI Pres, 1991.

Thahir, Adjib. Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Dunia Islam. Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Yatim, Badri. Sejarah dan Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pres, 1993.

Zayar, “Revolusi Iran Sejarah Hari Depannya” dalam In Defence of Marxism. http// www. Marxism.com.Iran_History.

[1]Islam masuk ke wilayah Iran, yang saat itu masih merupakan Kekaisaran Persia, melalui Perang Qadisiyyah, pada tahun 637. Kaum muslim waktu itu dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian pada 641, kaum muslim berhasil menaklukkan seluruh Kekaisaran Persiameialui Perang Nihawan, dan mengislamkan seluruh penduduknya. Pada masa Dinasti Abbasiyah, seluruh wilayah Persia juga masuk ke dalam kekuasaannya.

[2] Menurut sistem ini, pendidikan dan hak kepemilikan hanya ada di tangan para aristokrat. Sedangkan rakyat umum selain dibebani kewajiban membayar pajak yang tinggi juga harus menyiapkan orang-orang untuk dikirim ke medan perang. Kezaliman dan kebobrokan di tengah para penguasa Sasanian telah mengakibatkan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan di tengah bangsa Iran saat itu. Karena itu dengan masuknya Islam ke negeri ini, bangsa Iran dengan tangan terbuka menyambutnya, dan dalam waktu yang relatif singkat Islam berkembang dengan pesat di negeri Persia.

[3]Abad pertengahan dalam sejarah Islam, adalah kurun waktu antara tahun 1500-1800 M, di mana di masa tersebut terdapat tiga kerajaan besar yakni Kerjaraan Turki Utsmani, Kerajaan Safawi Persia dan Kerajaan Mughal India. Lebih lanjut lihat P. M. Holt, dkk, The Cambrigde History of Islam, vol 1 (Cambridge: University Press, 1980), h. 18. Lihat juga dengan Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I (Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1985), h. 56-58.

[4] Penjelasan lebih lanjut lihat Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, terj. Ghufron A. Mas’udi, Ensiklopedi Islam: Ringkas, Edisi 1, (Cet. 3; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 172.

[5]Uraian lebih lanjut tentang riwayat hidup Khomeini, lihat Nuruzzaman Siddiqie, Syi’ah dan Thawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985), h. 34-37.

[6]Zayar, “Revolusi Iran Sejarah Hari Depannya” dalam In Defence of Marxism. http// www. Marxism.com.Iran_History, h. 1

[7]Zayar, “Revolusi Iran Sejarah Hari Depannya” dalam In Defence of Marxism. http// www. Marxism.com.Iran_History., h. 2.

[8]Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk, (Bandung: Penerbit Mizan, t.th), h. 330

[9]Iwan Gayo (ed), Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara Baru (Cet. VI; Jakarta: Dipayana, 2000), h. 485.

[10]Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h. 41-42.

[11]Keanggotaan konstitusi tersebut, 26% dari kalangan tokoh artisan (pengrajin), 15% dari pedagang dan 20% dari kalangan ulama. Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 43.

[12]Selama gerakan sosial yang dikenal sebagai gerakan Konstitusi 1905, banyak ulama masa ini memperingatkan Dinasti Qajar dengan istilah zulm (menindas keadilan Imam Ghaib). Parapedagang umumnya cemas dengan arus barang-barang asingdan kemudahan yang diberikan kepada pihak asing untuk menjual barang-barang mereka di Iran akibatnya banyak yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan akibat wiraswastawan Eropa. dalam Shahrugh Akhavi, entri “ Iran ”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h.330

[13]Riza Sihbudi, Revolusi Iran: Sebuah Pandangan Sosiologi Politik, dalam buku The State and Revolution in Iran  karya Hossein Bashiriyah (London & Canberra : Croom Helm, 1984), h. 203 dalam Jurnal Ilmu Politik 2, 1986, h. 112-115.

[14]Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 6

[15] Lihat Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 45

[16] Terjadinya sejumlah pemberontakan-pemberontakan lokal yang di sebabkan oleh tekanan yang terus menerus dari para gubernur lokal, para intelektual moderen dan Ulama, dinasti ini diambang keruntuhan, Iran nyaris terbelah oleh Rusia dan Inggris, dalam keadaan ini pada tahun 1921 pemimpin Brigade Cossack Reza Shah Pahlevi berhasil melakukan kudeta menggulingkan kekuasaan raja terakhir dinasti Qajar. Lihat dalam Shahrugh Akhavi, entri “ Iran ”, dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h.329-337

[17]Mustafa Kemal Ataturk, merupakan penggagas moderenisme di Turki disebut juga bapak pendiri Republik Turki, melakukan serangkaian pembaharuan politik dan moderenisasi politik dengan berupaya mendirikan sebuah negara bangsa yang modern yang cenderung ke demokrasi sosial yaitu gagasan yang berasal dari Eropa reformasi yang dicangkokan pada Turki merdeka melalui dua konsep komplementer: semangat kontemporer dan Nasionalisme. Lihat M. Naim Turfan, entri “ Mustafa Kemal Ataturk ”, dalam Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,  h.217-219

[18]Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h.68-69

[19]Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, h. 69

[20]Pembentukan negara bangsa di Iranmerupakan imbas dari beberapa revolusi yang terjadi di Barat. Seperti yang di kemukakan Ira M. Lapidus, bahwa revolusi Perancis dan revolusi Amerika sama-sama mengakibatkan perubahan besar di bidang politik dan kecakapan bernegara. Mereka membidani kelahiran negara kebangsaan moderen yang dibangun berdasarkan persamaan dan partisipasi relatif warga negara, kekentalan identifikasi penduduk dengan kultural politik, nasional. mereka juga memprakarsai pembentukan institusi parlemen yang memungkinkan penyebarluasan perwakilan politik, dan struktur negara yang menggabungkan penggunaan kekuasaan dan kepentingan otonomi earga dan kebebasan politik masing-masing warga negara. Lihat Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h.6

[21]Meuleman dan Johan Hendrik, Dinamika Abad Ke-20, dalam “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” Jilid 6, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 30

[22]Zayar, “Revolusi Iran Sejarah Hari Depannya” dalam In Defence of Marxism. http// www. Marxism.com.Iran_History, h. 4.

[23]John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h. 334-335.

[24]Zayar, “Revolusi Iran Sejarah Hari Depannya” dalam In Defence of Marxism. http// www. Marxism.com.Iran_History,  h. 17.

[25]Lihat dalam makalah Duta Besar Republik Islam Iran, Pikiran dan Pandangan Politik Imam Khomeini, makalah Seminar Nasional akhir tahun, Iran, Islam, dan Barat, tanggal 23 Desember 2006, Yogyakarta.

[26]Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, h. 2-3

[27]Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, h.4

[28]Istilah Wilayatul Faqih ini berarti pemerintahan berdasarkan faqih, yang di dasarkan pada prinsip imamah dalam ajaran Syi’ah. konsep ini merupakan konsep yang ditawarkan oleh Imam Khomeini, sebenarnya gagasan ini sudah lama ada namun kembali dipopulerkan oleh Khomeini

[29]Bernard Lewis, The Political Languange of Islam diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi dengan judul, Bahasa Politik Islam (Cet. I; Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), h.81

[30]Iwan Gayo, (ed), Buku Pintar Seri Senior Plus 20 Negara Baru, h. 484. Bandingkan dengan John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, h. 329.

[31]Lihat Riza Sihbudi, Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 2, ( Jakarta : 1991), h. 31

[32]Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Undang-Undang Dasar, Pasal 5 bab I.

[33]Munawir Syadzali, Islam dan Tata negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Cet. III; Jakarta: UI Pres, 1991), h. 216

[34]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 61.

Sumber: http://abiavisha.blogspot.co.id/2015/06/perkembangan-islam-di-iran.html?m=1

Leave a Reply