Teori Arsitektur Terlengkap 99% Untuk Mahasiswa Teknik
Teori Arsitektur
Selama ini dikenal tiga khasanah teori yang diakui ada dalam dunia arsitektur.
1. teori tentang arsitektur (theory about architecture) bersifat memaparkan tentang what is architecture menurut posisi teoritis arsitek dan paradigma yang dianutnya.
2. teori di dalam arsitektur (theory in architecture) berupa teori “apa saja” yang digunakan oleh para arsitek dalam praktik profesionalnya.
3. teori arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom atau teori gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika.
Teori arsitektur jenis ketiga ini.
sebenarnya lebih tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya
academic sense daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan
muncul dari adanya theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari
paradigma arsitektur yang dianut seorang pencetus teori.
Dalam pemahaman dunia akademik, suatu teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni eksplanatif, prediktif,
dan kontrol. Teori dengan pengertian semacam itu umumnya berlaku bagi teori – teori dalam ilmu
(scientific theories), namun tidak berlaku dalam dunia arsitektur. Teori dalam dunia arsitektur bersifat
unscientific, spekulatif, subyektif, terkait dengan eksplanasi konsep desain, merupakan tuntunan
praktik, atau iluminasi tentang suatu desain arsitektur. Teori dalam arsitektur tidak mampu memberikan
jaminan keberhasilan prediksi seperti halnya teori dari khasanah ilmu. Dengan demikian, arsitektur
hanya akan mendukung status quo, menciptakan yang lama dalam situasi baru, maka tidak mampu
menjadi sarana emansipatori kehidupan manusia. Oleh karenanya, arsitektur tidak dapat lagi
menggunakan teori tradisional atau bersifat spekulatif saja karena tidaklah memadai untuk praktek
arsitektur kini dan masa depan.
Arsitektur hingga kini telah semakin terlibat di dalam kehidupan masyarakat, bahkan menjadi
sarana bagi penyelesaian problematika kehidupan manusia, maka sudah selayaknya tidak hanya
menggunakan teori – teori yang bersifat spekulatif, melainkan perlu dilandasi dengan nilai – nilai etis.
Arsitektur semestinya mampu menjadi sarana emansipatori manusia, yakni pembebasan dari
kealamiahan manusia maupun dari rintangan yang dibuatnya sendiri. Hal itu berarti, arsitektur yang
mau menjadi sarana emansipatori manusia hendaknya selalu berada di dalam diskursus tanpa henti
dengan pengalaman praktik (dimensi empiris) maupun dengan teori – teori (dimensi transenden). Dunia
arsitektur harus menyadari bahwa kebenaran yang telah ditemukan (dibekukan menjadi teori)
sebenarnya bersifat tentatif, dan hanya dengan refleksi dua kutub, maka kebenaran sejati makin
menampakkan diri. Arsitektur perlu belajar dari pemikiran Juergen Habermas, menjadi arsitektur yang
kritis karena hendak bersifat emansipatoris. Arsitektur semestinya tidak semata – mata berada di dalam
paradigma ilmu – ilmu empiris – analitis, atau ilmu – ilmu historis – hermeneutis, sebaiknya juga
dilandasi paradigma ilmu – ilmu tindakan yang berkepentingan emansipatoris.
Implikasinya, teori – teori dalam dunia arsitektur hendaknya selalu berada dalam kondisi dinamis,
senantiasa direfleksikan terhadap cita – cita etis dan emansipatori manusia karena teori yang berubah
menjadi ideologi atau mitos akan memutlakkan kebenaran – kebenaran ideologis serta menolak
pemikiran – pemikiran kritis. Teori semacam itu potensial menjadi pembatas gerak bagi kelestarian
kehidupan. Teori arsitektur meskipun berkembang di dalam sejarah arsitektur, dialektika teori – praksis,
dan di dalam kritikisme, sebenarnya menjadi bagian dari sejarah perkembangan ilmu – ilmu.
Arsitektur berkembang tidak di dalam ruang hampa, melainkan ada di dalam konteks kehidupan
masyarakat. Seperti pada ilmu – ilmu lain, keadaannya selalu berkaitan dengan dinamika kehidupan
masyarakat. Hal itu berarti terdapat hubungan timbal balik antara arsitektur dengan kehidupan
masyarakat. Arsitektur dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat, demikian pula sebaliknya. Dengan
demikian, arsitektur kadang menjadi obyek dan kadang juga menjadi subyek dalam konteks hubungan
timbal balik itu. Sebagai subyek, seringkali arsitektur memiliki peran menentukan perubahan
masyarakat, melalui karakteristik obyek – obyek arsitektur yang muncul, baik berupa bangunan,
maupun tata ruang luar pada berbagai tingkat keadaan (skala).
perancang (arsitek) berada di dalam ketegangan diantara dua kutub, yakni kutub ideal dan kutub
kehidupan nyata.
DISKURSUS TEORI – TEORI ARSITEKTUR
Selama ini diskursus teori arsitektur berputar – putar pada teori atas dasar pandangan positivistis.
yang melihat arsitektur sebagai kenyataan empiris. Ada sebagian teori yang bersifat subyektif
(manifesto) mengandung sifat – sifat emansipatoris, sebagian lainnya tidak berdasarkan cita – cita dan
nilai – nilai etis.
Dalam dunia arsitektur dikenal tiga khasanah teori yang diakui ada. Pertama, teori tentang
arsitektur (theory about architecture) bersifat memaparkan tentang what is architecture menurut posisi
teoritis arsitek dan paradigma yang dianutnya. Kedua, teori di dalam arsitektur (theory in architecture)
berupa teori “apa saja” yang digunakan oleh para arsitek dalam praktik profesionalnya. Ketiga, teori
arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom atau teori
gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika. Teori arsitektur jenis ketiga ini sebenarnya lebih
tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya academic sense
daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan muncul dari adanya
theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari paradigma arsitektur
yang dianut seorang pencetus teori.
Menurut pemahaman dunia akademik, suatu teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni eksplanatif,
prediktif, dan kontrol. Teori dengan pengertian semacam itu umumnya berlaku bagi teori – teori dalam
ilmu (scientific theories), namun tidak berlaku dalam dunia arsitektur. Teori dalam dunia arsitektur
bersifat unscientific, spekulatif, subyektif, terkait dengan eksplanasi konsep desain, merupakan
tuntunan praktik, atau iluminasi tentang suatu desain arsitektur. Teori dalam arsitektur tidak mampu
memberikan jaminan keberhasilan prediksi seperti halnya teori dari khasanah ilmu. Dengan demikian,
arsitektur hanya akan mendukung status quo, menciptakan yang lama dalam situasi baru, maka tidak
mampu menjadi sarana emansipatori kehidupan manusia. Oleh karenanya, arsitektur tidak dapat lagi
menggunakan teori tradisional atau bersifat spekulatif saja karena tidaklah memadai untuk praktek
arsitektur untuk kini dan masa depan.
TEORI KRITIS
Teori kritis muncul di kalangan ilmuwan sosial di Frankfurt (Jerman), merupakan kritik terhadap
perkembangan masyarakat dengan maksud membebaskan manusia dari belenggu budaya teknokrat
modern (Magnis-Suseno, 1992:160). Teori kritis tidak hanya bersifat kontemplatif, melainkan juga
bermaksud mengubah, membebaskan manusia dari belenggu yang dibuatnya sendiri, ingin
mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia (ibid. 162).
Teori kritis pada dasarnya merupakan usaha pencerahan (Magnis-Suseno, 1992: 165), yakni
bermaksud menciptakan kesadaran kritis terhadap “kemajuan – kemajuan” kehidupan manusia. Teori
kritis hendak menyingkap kemajuan semu yang berkembang, misalnya : rasionalisasi dari akal budi
obyektif ke akal budi instrumentalis menghasilkan irasionalitas karena akal budi kehilangan otonomi dan
menjadi alat belaka (Sindhunata, 1982:121).
Teori Kritis “awal” (era Horkheimer) merupakan koreksi terhadap teori Karl Marx tentang perubahan
masyarakat. Teori Karl Marx yang bersifat obyektif tentang perubahan masyarakat merupakan deskripsi
hukum – hukum obyektif yang menentukan perkembangan masyarakat (Magnis-Suseno, 1992: 164).
Menurut para cendekiawan Frankfurt, teori Marx telah jatuh ke dalam jebakan kontemplatif, padahal
semula bermaksud emansipatoris (ibid. 164). Teori Marx telah membeku menjadi teori kontemplatif,
yang hanya mendiskripsikan fakta – fakta obyektif, maka tidak lagi bersifat emansipatoris. Marx jatuh ke
dalam salah paham positivistik terhadap teorinya sendiri (ibid.164).
Teori kritis “awal” tersebut telah gagal menjadi teori yang emansipatoris karena bertolak dari
pengandaian – pengandaian dari teori yang ditolaknya (teori Marx yang berdasarkan paradigma
manusia kerja). Habermas membaharui teori kritis, dengan titik tolak paradigma manusia adalah
makhluk yang berinteraksi (paradigma komunikasi) masyarakat komunikasi terbuka bebas tekanan.
Menurut Habermas, kerja merupakan salah satu tindakan dasar manusia dan disamping bekerja
manusia masih melakukan tindakan dasar lain yakni interaksi (Magnis-Suseno, 1992:171). Bekerja
merupakan tindakan manusia terhadap alam sedangkan interaksi merupakan hubungan manusia
dengan manusia lain.