Menu Close

Zakat Perdagangan: Pengertian, Dalil, Waktu Mengeluarkan, Cara Menghitung Dan Contohnya Lengkap

Zakat Perdagangan: Pengertian, Dalil, Waktu Mengeluarkan, Cara Menghitung Dan Contohnya Lengkap
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sebagian besar ulama dari shahabat dan thabi’in begitu pun para fukaha di belakang mereka berpendapat, tentang wajibnya zakat pada barang-barang perniagaan. 
Dalil akan wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267).
Juga berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Baihaqi dari Samurah bin Jundub.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
“Wa ba’du, sesungguhnya Nabi saw. menyuruh kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami sediakan untuk perdagangan.”
Dan diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi dari Abu Dzar r.a., bahwa Nabi saw. bersabda:
فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ
“Wajib zakat pada: unta, kambing, sapi dan barang-barang rumah tangga.”
Syafi’i, Ahmad, Abu Ubeid, Daruquthni, Baihaqi dan Abdur Razzak meriwayatkan dari Abu Amir bin Ahmad yang diterimanya dari bapaknya, katanya:
“Saya menjual kulit dan alat-alat dari kulit, tiba-tiba lewat Umar bin Khattab r.a., maka katanya: ‘Keluarkan zakat hartamu’! ‘Ya Amirulmukminin’, ujarku, ‘ini hanya kulit’! Jawabnya: “Taksirlah berapa harganya, lalu keluarkan zakatnya’.”
1. Tentang Hukum Zakatnya Perniagaan
Kewajibannya sudah ijma’. Berkata pengarang buku Al-Mughni: “Kisah seperti ini (hadits di atas) amat terkenal dan tidak ada yang membantah. Maka itu merupakan ijma’.
Tidak Wajib. Sementara segolongan Zhahiriyah mengatakan: “Tidak wajib zakat pada harta perniagaan.”
Berkata Ibnu Rusyd:”Yang menjadi sebab pertikaian mereka, ialah mengenai diwajibkannya zakat dengan qiyas, begitu pun berselisihnya pendapat mereka tentang sah-tidaknya hadits Samurah dan Abu Dzaar.
Mengenai qiyas yang menjadi pegangan jumhur, ialah bahwa barang yang disediakan buat perniagaan itu merupakan harta yang dimaksudkannya supaya berkembang. Maka ia serupa dengan ketiga jenis yang disepakati wajib zakatnya, yakni tanaman, ternak dan emas perak.
Dan ada di dalam Al-Manar tercantum:
“Jumhur ulama Islam menyatakan wajibnya zakat barang-barang perniagaan. Tetapi tidak dijumpai keterangan tegas dri Kitab suci mau pun sunnah nabi, hanya mengenai itu ada riwayat yang saling menguatkan dengan pertimbanagan yang bersandar kepada nash, yaitu bahwa barang-barang perniagaan yang diperedarkan untuk mendapatkan keuntungan, merupakan mata uang yang tidak ada bedanya dengan uang emas dan perak yang merupakan harga atau nilainya. Kecuali bahwa nisab itu berubah dan bolak-balik di antara harga yaitu uang, dan yang dihargai yaitu barang.
Seandainya zakat perniagaan itu tidak wajib, tentulah semua atau sebagian besar saudagar-saudagar itu akan dapat memperdagangkan uang mereka dan mencari jalan agar nisab uang emas dan perak itu tidak pernah menjalani masa satu tahun, hingga mereka tidak perlu mengeluarkan zakatnya buat selama-lamanya.
Dan yang menjadi pokok pertimbangan dalam masalah ini, ialah bahwa Allah Ta’ala telah mewajibkan zakat pada harta orang kaya untuk membantu fakir miskin dan orang-orang yang sama nasibnya dengan mereka serta menggalang kepentingan umum. Sedang faedahnya bagi golongan yang kaya itu ialah membersihkan diri dari penyakit bakhil dan menghiasinya dengan rasa santun terhadap orang yang malang dan golongan-golongan yang berhak lainnya, serta membantu bangsa dan negara dalam menanggulangi semua kepentingan masyarakat. Terhadap fakir miskin dan lainnya, zakat akan merupakan uluran tangan yang akan menolong mereka menghadapi cobaan masa, di samping bahwa ia dapat membendung jalan ke arah bencana, bertumpuknya kekayaan dan tebatasnya pada beberapa gelintir manusia, yakni yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya tentang hikmah pembagian harta rampasan:
كَىۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡ‌ۚ 
Artinya:
“Agar peredarannya tidak terbatas di kalangan orang-orang kaya diantaramu saja.” (Al-Hasyr: 7).
Maka apakah masuk akal, bahwa para saudagar yang sebagian besar kekayaan bangsa boleh dikata di tangan mereka, akan berada di luar dan tidak termasuk dalam seluruh maksud tujuan agama ini?”
2. Kapan Dikatakan Barang Dagangan ?
Berkat pengarang Al-Mughni- juga dalam Al-Mukhadzdzab yang tidak berbeda maksudnya – :”Barang itu tidaklah dikatakan untuk dagang, kecuali dengan dua syarat:
Dimiliki secara nyata seperti dari jual-beli, perkawinan, khulu’ (tebusan), mendapat hibah atau pemberian, wasiat, rampasan perang, dan usaha-usaha halal, karna itu barang yang tidak wajib zakat dengan masuknya menjadi milik saja, tidaklah berlaku hanya dengan semata-mata niat seperti halnya puasa.Dan tidak menjadi soal, apakah dimiliki itu dengan pakai ganti atau tidak, karena nyatanya barang itu telah dimilikinya seperti halnya harta warisan.
Ketika memiliki itu diniatkan untuk dagang. Jika tidak demikian halnya maka ia tidaklah menjadi barang dagangan, karena asalnya ialah harta tetap, sedang perdagangan itu mendatang. Maka harta itu tak mungkin berubah dengan semata-mata niat. Tak ubahnya jika seseorang yang telah menetap meniatkan berjalan, belumlah berlaku baginya hukum pejalanan tanpa ia berbuat lebih dulu. Dan jika seseorang membeli barang untuk berdagang, tetapi diniatkannya untuk menjadi harta tetap, jadiilah ia sebagai harta tetap , dan gugurlah kewajiban berzakat daripadanya.
3. Cara Menzakatkan Barang Dagangan
Barang siapa memiliki barang-barang perniagaan yang banyaknya cukup satu nisab serta telah berjalan dalam masa satu tahun, hendaklah ia menaksir harganya pada akhir tahun itu lalu mengeluarkan zakatnya, yaitu 1/40 dari harga tersebut. Demikianlah harus dilakukan oleh saudagar itu terhadap perdagangannya setiap tahun. Dan tidak dihitung satu tahun, bila jumlah yang dimiliki tidak cukup satu nisab.[1].
Jadi sesandainya seorang saudagar memiliki barang dagangan yang nilainya tidak cukup satu nisab, kemudian masa berlalu dan barang tetap seperti demikian, lalu nilainya bertambah disebabkan berkembang, atau harganya naik hingga sampai satu nisab, atau dapat dijualnya dengan harga senisab, atau sementara itu ia beroleh barang lain atau uang hingga dengan itu tercapai nisab, maka perhitungan tahun dimulai dari saat itu, bukan dari waktu yang telah berlalu. Ini adalah pendapat Tsauri, Ahnaf, Syafi’i, Ishak, Abu Ubeid, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir.
Kemudian bila dalam perjalanan tahun nisab jadi berkurang, sedang pada awal dan akhirnya cukup, maka menurut Abu Hanifah, perhitungan tahun tidaklah terputus, karena itu membutuhkan diketahuinya harga pada setiap waktu guna mengetahui cukupnya nisab, sedang ini merupakan hal yang sulit.
Dan menurut golongan Hambali, jika dalam perjalanan tahun jumlahnya berkurang kemudian bertambah hingga penuh satu nisab, perhitungan tahun diperbarui kembali, karena terputus disebabkan berkurangnya tadi.
Contoh:
1. Pak Muhammad mulai membuka toko dengan modal 100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan Pak Muhammad sebagai berikut:
– Nilai barang dagangan = Rp.40.000.000
– Uang yang ada = Rp.10.000.000
– Piutang = Rp.10.000.000
– Utang = Rp.20.000.000 (yang jatuh tempo tahun 1433 H)
Rumus Perhitungan Zakat
nilai barang dagangan* + uang dagang yang ada + piutang yang diharapkan – utang yang jatuh tempo**.
= (Rp.40.000.000 + Rp.10.000.000 + Rp.10.000.000 – Rp.20.000.000) x 2,5%
= Rp.40.000.000 x 2,5%
= Rp.1.000.000
2. Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agro industri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. 
BESAR ZAKAT =[(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) – (Hutang + Kerugian)] x 2.5%
Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan yang harus dikeluarkan.
Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang).
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Leave a Reply